Ahmad Inung
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI
Tokoh-tokoh besar visioner di masa lalu telah menyadari jika peradaban tidak mungkin dapat dibangun hanya dengan kekuatan militer dan penambangan emas. Rezim militer bisa saja melakukan ekspansi, menaklukkan kekuasaan politik, dan mengendalikannya untuk jangka waktu tertentu. Namun, kekuatan militer pun mampu merusak dan menghancurkan sebuah peradaban.
Emas, yang digunakan untuk meningkatkan perniagaan dan memperluas diplomasi— bisa saja digunakan untuk membangun istana, menciptakan karya seni megah sebagai cerminan kemewahan dan status sosial—akan tetap menjadi onggokan batu yang tidak bermakna di tangan orang-orang yang tidak mengerti bagaimana memanfaatkannya. Ada faktor lain yang sangat penting dalam membangun peradaban, yaitu ilmu. Kesadaran inilah yang akhirnya membuat sejumlah penguasa besar membangun imperium dengan mengembangkan perpustakaan besar di samping istana-istana megah.
Kisah Raja Sulaiman tentu sangat terkenal di kalangan Muslim. Ada sebuah hadits yang mengisahkan penguasa Yerusalem ini diberi tiga pilihan oleh Tuhan. Tiga pilihan itu adalah harta, tahta kerajaan dan ilmu. Raja Sulaiman, yang juga seorang Nabi keturunan Daud ini pun akhirnya memilih ilmu. Dengan ilmu itulah Raja Sulaiman akhirnya mendapatkan harta dan tahta. Perpustakaan Klasik hingga Platform Digital Sejarah perpustakaan awal lahir dari kepentingan untuk menyimpan berbagai teks-teks dokumen politik dan ekonomi.
Perannya lebih sebagai pusat dokumentasi administrasi kerajaan. Namun, secara perlahan kesadaran tumbuh bahwa perpustakaan tidak sekadar administrasi. Ia punya peran penting yang difungsikan sebagai pusat penelitian dan pengembangan pengetahuan. Termasuk diantaranya sebagai rujukan dalam setiap pengambilan kebijakan atau keputusan penting yang bakal diambil. Manuskrip-manuskrip kerajaan ditulis ulang, dan pada perkembangan berikutnya mulai terbuka untuk publik.
Perpustakaan tertua dalam lembar catatan sejarah adalah Perpustakaan Ashurbanipal. Perpustakaan ini dibangun oleh Raja Ashurbanipal (668-627 SM) dari Assyria (sekarang masuk wilayah Irak dan Turki). Lokasi perpustakaan persis berada di Nineveh, yang saat ini bagian dari wilayah Irak.
Sekalipun para ahli sejarah menyebut bahwa di berbagai ujung tempat lain ada aktivitas perpustakaan, namun Perpustakaan Ashurbanipal diyakini sebagai perpustakaan tertua di dunia, dalam pengertian sebagaimana istilah “perpustakaan” kita gunakan saat ini. Perpustakaan Ashurbanipal menyimpan koleksi sekitar 30.000 tabula (bayangkan saja seperti koleksi buku dalam perpustaakaan saat ini) yang disusun berdasarkan disiplin keilmuannya. Koleksi Perpustakaan Ashurbanipal ini terdiri atas dokumen hukum, kesusasteraan, astronomi, ketuhanan, sejarah, pengobatan, bahasa, dan agama.
Di dunia Islam, perpustakaan Baitul Hikmah menjadi icon dari kebesaran peradaban Ilam di bidang ilmu pengetahuan. Bagdad menjadi salah satu pusat pendidikan dan kebudayaan dunia saat itu. Perpustakaan ini didirikan awal abad ke-9 oleh Harun al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah. Perpustakaan ini memiliki koleksi literatur dari Persia, India, dan tentunya bongkahan-bongkahan dari peradaban Yunani. Berbagai koleksi disiplin keilmuan, antara lain: matematika, sains, pengobatan, dan filsafat tertampung di sini.
Koleksi manuskrip di Perpustaakaan Baitul Hikmah menjadi magnet bagi para sarjana klasik untuk mempalajari dan menerjemahkannya ke dalam Bahasa Arab. Diantara para ilmuan itu adalah al-Kindi dan al-Khawarizmi, matematikawan terbesar bergelar Bapak Aljabar. Dari sini, apa yang disebut sebagai kejayaan peradaban Islam dibangun. Lalu, bagaimana dengan perpustakaan Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) saat ini? Sebagai institusi yang menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan, dan memberikan sumbangsih signifikan terhadap peradaban kemanusiaan, perpustakaan PTKIN sudah selayaknya dibangun dan dikelola secara profesional. Dan itu tidak ada opsi lain untuk mengelak!
Mungkin saat ini kita bisa menyisihkan riang-semarak karena sudah ada 38 perpustakaan yang dikelola PTKIN berhasil memperoleh penilaian yang sangat memuaskan alias akreditasi A dari Perpustakaan Nasional RI. Pencapaian ini tentu bukan perkara gampang mengingat mereka harus memenuhi standar tertinggi dalam pengelolaan perpustakaan. Prasyarat pengakreditasian harus melewati sembilan level komponen utama, yakni: koleksi, sarana dan prasarana, pelayanan, sumber daya manusia, penyelenggaraan, pengelolaan, inovasi dan kreativitas, tingkat kegemaran membaca, dan indeks pembangunan literasi masyarakat. Tantangan terkini tentu bukan perihal enteng. Terlebih, platform-platform digital telah disesaki beragam informasi, sekalipun sering kali luput dari verifikasi keabsahan dan nilai-nilai akurasi.
Kompleksitas ini harus ditangkap sebagai value perpustakaan. Perannya harus meningkat! Tak sekadar pengarsipan dengan ragam jutaan koleksi buku, tetapi keberadaannya menjadi penyeimbang sumber-sumber bacaan yang terkurasi dengan baik dan tentunya terpercaya dengan mengembangkan diri sebagai pusat pembaruan. Dari sini, kita bisa meyakini bahwa perpustakaan akan tetap berdiri tegak sebagai pusat pengetahuan dan penelitian sekalipun produk-produk digital terus membanjiri pandangan mata.
Sumber: https://arina.id/mozaik/ar-oCwyZ/perpustakaan-dan-peradaban-manusia-berpikir
Add new comment