Mahkamah Konstitusi (MK) resmi menerima permohonan gugatan terkait Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 yang diajukan oleh Muhammad Fadhil Arief, Bupati Kabupaten Batang Hari, dan Rahmad Hasrofi, Ketua DPRD Kabupaten Batang Hari. Gugatan ini tercatat dalam Perkara Nomor 166/PUU-XXII/2024 dan kini memasuki fase penting, yakni penilaian awal oleh Majelis Hakim.
Kuasa hukum pemohon, Dr. Vernandus Hamonangan, SH., MH., menegaskan bahwa permohonan tersebut telah diterima oleh MK.
“Kami tinggal menunggu perkembangan sidang berikutnya. Apakah Mahkamah memandang bukti yang ada sudah cukup untuk diputuskan, atau memerlukan proses pembuktian lanjutan dengan menghadirkan pihak DPR untuk memberikan keterangan,” ujar Monang, begitu ia akrab disapa.
Sidang perbaikan permohonan untuk pengujian materiil Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2024 tentang Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu berlangsung pada Selasa (17/12/2024) di Ruang Sidang Pleno Lantai 2 Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat.
Sidang yang sedianya dijadwalkan pukul 13.30 WIB mengalami perubahan waktu menjadi pukul 15.00 WIB. Perubahan ini disampaikan melalui surat resmi MK bernomor 79.166/PUU/PAN.MK/PJS/12/2024 tertanggal 16 Desember 2024 yang ditujukan kepada kuasa hukum pemohon, Vernandus Hamonangan, dkk
Sidang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat, didampingi dua anggota hakim konstitusi, yaitu M. Guntur Hamzah dan Ridwan Mansyur. Proses persidangan juga didukung oleh Panitera Pengganti Rahmadiani Putri Nilasari.
Permohonan ini menyoroti dua poin utama:
- Penulisan Nama Kabupaten yang Keliru
- UU No. 37 Tahun 2024 menggunakan frasa "Kabupaten Batanghari" (ditulis menyambung) yang seharusnya "Kabupaten Batang Hari" (ditulis terpisah).
- Kesalahan ini dianggap menimbulkan permasalahan administratif yang berdampak pada verifikasi dokumen, pengelolaan arsip, hingga penyesuaian di berbagai instansi vertikal seperti Kejaksaan Negeri, Polres, dan Badan Narkotika Nasional.
- Penyesuaian tersebut memerlukan biaya tambahan dan tenaga ekstra, yang dikhawatirkan menghambat pembangunan daerah.
- Ketidaksesuaian Tanggal Pembentukan Kabupaten
- Pasal 2 UU No. 37 Tahun 2024 menetapkan tanggal pembentukan 29 Maret 1956 berdasarkan UU No. 12 Tahun 1956.
- Menurut pemohon, tanggal tersebut tidak akurat. Fakta historis menunjukkan bahwa Kabupaten Batang Hari resmi dibentuk pada 1 Desember 1948, berdasarkan Peraturan Komisaris Pemerintah Pusat di Bukittinggi tertanggal 30 November 1948.
“Perubahan nama dan kesalahan penetapan tanggal ini bukan sekadar administratif, melainkan juga mengganggu tradisi dan identitas budaya masyarakat Batang Hari,” tegas Monang.
Pada sidang pendahuluan Rabu, 4 Desember 2024, MK memberikan arahan kepada pemohon untuk memperkuat kedudukan hukum sebagai Bupati dan Ketua DPRD dengan melampirkan persetujuan dari Gubernur Jambi atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Selain itu, MK meminta penjelasan lebih mendalam terkait kerugian konstitusional yang dialami akibat berlakunya UU tersebut.
Kini, dengan diterimanya permohonan ini, langkah awal menuju proses pembuktian telah terbuka. MK memiliki dua opsi di sidang lanjutan:
- Memutuskan perkara jika bukti yang ada sudah dinilai cukup.
- Memanggil pihak DPR untuk didengar keterangannya dalam proses pembuktian lebih lanjut.
Monang menegaskan, kliennya, dalam hal ini Bupati Batang Hari, hanya ingin memastikan keakuratan sejarah dan efektivitas administrasi.
“Klien kami tidak ingin kesalahan ini berlarut-larut. Ini bukan hanya soal nama, tapi soal efisiensi pemerintahan dan kehormatan terhadap sejarah kami,” ujarnya.
Dengan permohonan gugatan yang telah diterima, proses di Mahkamah Konstitusi kini memasuki fase krusial. Apakah MK akan segera memutuskan perkara ini atau membuka ruang pembuktian tambahan? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah nama “Kabupaten Batang Hari” dapat dikembalikan seperti semula sesuai fakta sejarah dan tradisi yang ada.
Mahkamah Konstitusi, sebagai penjaga konstitusi dan keadilan, kini dihadapkan pada tanggung jawab untuk memastikan bahwa hukum tidak hanya bersifat formal, tetapi juga menghormati nilai-nilai lokal dan identitas budaya yang diwariskan oleh sejarah. "Batang Hari bukan sekadar nama, tapi simbol sejarah dan jati diri masyarakatnya," ujar salah satu tokoh masyarakat.
Panggung sidang MK kini menjadi harapan bagi masyarakat Kabupaten Batang Hari, bahwa keadilan tidak hanya soal aturan, tetapi juga soal penghormatan terhadap tradisi dan sejarah.(*)
Comments
Dalam ejaan yang di…
Dalam ejaan yang di sempurnakan nama tempat harus satu kata..jika tidak timbul penasiran berbeda..
Yang kedua jika suatu undang undang sudah terbit undang undang terbaru ,secara hukum itu yang di pakai..itu menurut pendapat saya.
Setuju dg UU yg baru. Untuk…
Setuju dg UU yg baru. Untuk nomenklatur jika menyesuaikan ejaan memang yg benar adalah menyatu “Batanghari” bukan dipisah seperti saat ini.
Add new comment