JAKARTA – Aksi teror terhadap kebebasan pers kembali terjadi, kali ini menyasar jurnalis Tempo dan keluarganya. Serangan tidak hanya menyentuh ruang redaksi, tapi merembet ke ranah privat keluarga jurnalis, menunjukkan pola yang sistematis dan semakin brutal. Teror ini bahkan disertai peretasan, intimidasi, dan ancaman serius.
Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), Erick Tanjung, menegaskan bahwa ancaman yang dialami oleh Tempo bukanlah hal sepele, melainkan serangan serius terhadap demokrasi dan kebebasan pers. Menurutnya, pelaku merasa memiliki impunitas hukum, yang membuat mereka berani melakukan teror secara terbuka dan terus-menerus.
“Ini bukan hanya serangan terhadap jurnalis, tapi juga terhadap nilai-nilai demokrasi. Bahkan kini menyasar keluarga. Ibu dari Chica (Francisca Christy Rosana), salah satu jurnalis Tempo, juga menjadi korban. WhatsApp-nya diretas, ia diancam, dan ini bukan main-main,” ujar Erick saat tampil dalam program Sapa Indonesia Malam, Minggu (23/3/2025).
Chica sendiri merupakan pengisi program investigatif populer “Bocor Alus” di Tempo. Ia mengalami berbagai bentuk serangan digital, mulai dari doksing, hingga upaya peretasan akun media sosial pribadi.
“Ini sudah masuk kategori teror terstruktur. Kami melihat ini dilakukan dengan rencana dan strategi. Mereka tidak hanya ingin membungkam media, tapi juga membuat jurnalis ketakutan hingga ke ranah keluarga,” tegas Erick.
Serangan terhadap kebebasan pers ini tak bisa dilepaskan dari konteks meningkatnya represi terhadap media kritis. Mulai dari peretasan situs berita, doxing jurnalis, hingga intimidasi fisik dan digital. Menurut KKJ, pelaku kemungkinan besar bukan sekadar "aktor lapangan", tetapi ada struktur perintah di belakangnya yang masih belum terungkap.
Teror terhadap Chica dan keluarganya terjadi setelah muncul laporan-laporan investigatif yang membuka praktik korupsi dan skandal di lembaga negara dan aparat.
“Kalau ini dibiarkan, satu per satu jurnalis bisa jadi target. Hari ini Tempo, besok siapa? Tidak boleh ada pembiaran,” lanjut Erick.
Sementara itu, penasehat ahli Kapolri, Aryanto Sutadi, dalam pernyataannya meminta para saksi, terutama dari internal redaksi Tempo, untuk proaktif memberikan informasi kepada penyidik.
"Kasus ini harus dituntaskan. Bukan hanya siapa yang mengantarkan pesan ancaman, tapi siapa yang menyuruh. Siapa dalang di balik ini semua. Kita tidak ingin kasus seperti ini jadi preseden buruk dalam penegakan hukum," kata Aryanto.
Ia juga berharap rekaman CCTV dan bukti digital lainnya bisa dimanfaatkan untuk mengungkap identitas pelaku.
Diketahui, Bareskrim Polri sudah melakukan olah TKP di kantor redaksi Tempo pada Minggu (23/3). Penyidik juga telah mulai memeriksa jejak digital yang diduga digunakan pelaku dalam aksi teror dan peretasan.
Serangan terhadap Tempo langsung memicu solidaritas dari komunitas jurnalis dan masyarakat sipil. Sejumlah organisasi pers seperti AJI, LBH Pers, IJTI, dan PWI menyerukan agar aparat kepolisian menindak tegas pelaku dan melindungi para jurnalis.
"Kami mendesak aparat untuk tidak hanya berhenti pada pelaku lapangan. Harus ada pengungkapan terhadap siapa pemberi perintah. Ini persoalan serius,” kata Ketua AJI Jakarta dalam pernyataan resminya.
Serangan terhadap jurnalis adalah serangan terhadap demokrasi. Ketika ruang redaksi diserang, ketika keluarga jurnalis diintimidasi, maka yang terancam bukan hanya profesi wartawan, tapi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar dan jujur.
Saatnya negara hadir, tidak diam, dan memastikan bahwa impunitas tidak menjadi norma baru. Publik menunggu, bukan hanya pengusutan tuntas, tapi juga perlindungan menyeluruh bagi insan pers.
“Jika negara membiarkan teror ini, maka negara sedang membuka pintu menuju era pembungkaman. Hari ini Tempo, besok bisa siapa saja.”(*)
Add new comment