Popularitas vs Politik Uang: Apa yang Benar-Benar Membuat Kandidat Menang di Pilkada?

WIB
IST


Dr. Jafar Ahmad

Akademisi dan Peneliti Idea Institute Indonesia

Setiap Pilkada, publik disuguhi pemandangan yang sama: perebutan perhatian, janji-janji manis, dan sesekali, uang beredar pada “serangan fajar”. Ada dua strategi paling menonjol, yakni popularitas dan politik uang. Mana yang benar-benar efektif memenangkan suara? Apakah popularitas cukup? Ataukah politik uang tetap jadi jurus pamungkas? Atau bagaimana kalau keduanya bergabung?

Popularitas: Modal Sosial yang Kuat
Popularitas selalu menjadi kartu utama. Ketika seorang kandidat dikenal, ia punya modal sosial yang bisa dimanfaatkan. Teori modal sosial dari Pierre Bourdieu menjelaskan, popularitas memberi akses ke jejaring sosial yang luas dan membangun kepercayaan publik (Bourdieu, 1986).

Pemilih lebih mudah terhubung dengan sosok yang mereka kenal dan percaya. Bukan hanya itu. Teori identitas sosial menjelaskan bahwa pemilih cenderung memilih kandidat yang punya kedekatan emosional atau berbagi identitas dengan mereka (Tajfel, 1979). Inilah yang membuat popularitas menjadi kunci penting dalam menggerakkan elektabilitas.

Pemilih tidak hanya memilih karena kandidat dikenal, tapi juga karena mereka merasa punya ikatan sosial atau budaya dengan kandidat tersebut.
Tapi, popularitas tak cukup jika tak disertai program nyata. Pemilih kini makin kritis. Kandidat yang hanya mengandalkan nama besar tanpa program konkret akan mudah kehilangan dukungan.

Politik Uang: Cepat, Tapi Rapuh
Ketika popularitas tak cukup, beberapa kandidat memilih jalan pintas: politik uang. Ya, politik uang bisa efektif. Pemilih di beberapa daerah lebih peduli dengan insentif langsung daripada janji yang tak jelas. Teori pilihan rasional menjelaskan hal ini.

Pemilih, sebagai aktor rasional, sering memilih berdasarkan keuntungan material yang mereka terima (Downs, 1957). Namun, ada masalah besar. Politik uang hanya menghasilkan dukungan sementara. Pemilih yang memilih karena diberi uang biasanya tidak setia. Begitu insentif berhenti, dukungan pun hilang. Teori clientelism menyebut hubungan ini sebagai transaksi politik sementara, tanpa ikatan jangka panjang (Scott, 1972). Ini artinya, politik uang menciptakan elektabilitas yang rapuh.

Lebih parah lagi, politik uang merusak kepercayaan publik. Demokrasi seharusnya soal integritas, bukan transaksi uang. Jika dibiarkan, politik uang hanya akan menghancurkan kredibilitas sistem politik.

Mana yang Lebih Efektif?
Popularitas memberi kandidat basis dukungan yang lebih loyal dan stabil. Kandidat yang populer, dengan rekam jejak baik, tak perlu selalu bergantung pada uang untuk menggerakkan pemilih. Elektabilitas mereka dibangun di atas kepercayaan dan hubungan emosional.

Sebaliknya, politik uang hanya menghasilkan elektabilitas jangka pendek. Memang, dalam kondisi tertentu, politik uang bisa efektif untuk mendulang suara cepat. Namun, loyalitas yang dibangun dari insentif material sangat lemah. Saat uang berhenti, pemilih pun pergi. Dalam jangka panjang, popularitas yang didukung kinerja nyata lebih efektif.

Masa Depan Tanpa Politik Uang
Tidak mudah mencapai masa depan itu. Sepanjang pendapatan harian masyarakat kita masih bisa dibayar oleh kandidiat, sepanjang itu pula politik uang akan bekerja. Masa depan politik Indonesia harus bergerak ke arah yang lebih bersih.

Pemilih harus makin sadar, bahwa memilih pemimpin tidak bisa hanya karena uang. Kita butuh pemimpin yang kredibel, yang berani mengandalkan rekam jejak dan ide-ide besar, bukan amplop berisi uang. Popularitas yang didukung integritas akan membangun elektabilitas yang lebih kuat.

Politik uang mungkin bisa memenangkan pertempuran, tapi popularitas yang dibangun dari kinerja nyata akan memenangkan perang.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.