DEBAT: JANTUNG DEMOKRASI

WIB
IST

Dr. Jafar Ahmad, S.Ag., M.Si.
Dosen IAIN Kerinci

Debat adalah nyawa demokrasi. Ia tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik untuk menarik suara pemilih, tetapi lebih dari itu, debat adalah cara membangun masyarakat yang terbuka, kritis, dan terbiasa berdialog. Demokrasi tanpa debat hanya ritual kosong tanpa makna. Dalam debat, publik belajar tentang pentingnya mendengar, memahami perbedaan, dan menerima kritik tanpa perlu merasa terancam. Kritik bukan ancaman. Kritik adalah ujian integritas.

Pemimpin yang alergi terhadap kritik, takut disalahkan, atau mudah terbawa perasaan saat diserang, tidak layak menjadi pemimpin. Amartya Sen (1999) dalam Development as Freedom menekankan bahwa demokrasi membutuhkan ruang untuk dialog yang terbuka dan jujur. Tanpa dialog, demokrasi kehilangan ruhnya. Kritik, bahkan kritik yang keras, adalah bahan bakar untuk perbaikan. Lebih dari itu, debat mempertegas batas antara pemimpin yang sejati dengan pemimpin yang palsu. Pemimpin bukanlah Tuhan. Mereka tidak memiliki wahyu yang harus diikuti tanpa pertanyaan. Max Weber (1978) dalam Economy and Society mengingatkan bahwa otoritas rasional adalah bentuk kekuasaan yang muncul dari kepercayaan, bukan paksaan. Pemimpin adalah manusia biasa yang diberi mandat oleh rakyat untuk melayani, bukan untuk menguasai. Dengan kekuasaan, mereka bertugas memastikan kesejahteraan dan keadilan bagi semua warga.

Namun, debat bukan tanpa risiko. Serangan personal, fitnah, dan cacian sering muncul. Ini adalah bagian dari kebebasan berbicara yang menjadi dasar demokrasi. Pemimpin yang sejati tidak kabur dari debat. Mereka berdiri tegak, menjawab tuduhan, dan meluruskan fitnah dengan bukti dan argumen. Dalam hal ini, John Stuart Mill (1859) dalam On Liberty menyatakan bahwa kebebasan berbicara, termasuk kritik yang keras, adalah fondasi dari kemajuan masyarakat. Tanpa kritik, pemikiran menjadi stagnan, dan tanpa debat, demokrasi tidak bisa tumbuh.

Lebih jauh, debat juga menjadi cermin bagi masyarakat. Debat adalah ruang pendidikan politik bagi publik. Melalui debat, masyarakat belajar menilai gagasan, membedakan mana kritik yang relevan dan mana yang hanya serangan emosional. Ini penting dalam membangun demokrasi yang matang, di mana warga tidak hanya menjadi pengikut, tetapi juga pengawas yang kritis.

Pada akhirnya, debat adalah jantung demokrasi. Tanpa debat, kekuasaan cenderung absolut. Tanpa kritik, pemimpin berisiko menjadi tiran kecil. Sebagaimana diingatkan oleh Jürgen Habermas (1984) dalam The Theory of Communicative Action, demokrasi hanya akan hidup jika ada ruang publik yang memungkinkan dialog rasional. Maka, budaya debat harus dijaga dan diperkuat.

Debat bukan hanya instrumen politik. Ia adalah proses memanusiakan manusia. Demokrasi tanpa debat adalah demokrasi yang rapuh. Pemimpin yang takut pada debat bukanlah pemimpin demokrasi, melainkan benih tirani yang sedang tumbuh. Mari jadikan debat sebagai tradisi yang melekat dalam demokrasi kita, sebagai pengingat bahwa kekuasaan bukanlah alat untuk menguasai, melainkan tanggung jawab untuk melayani. Jadi, kalau kamu sedang menonton debat, lihatlah calon mana yang paling tidak “baper” dalam debat. Itulah pemimpinmu yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi. Begitu!(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.