Politik, Kebencian, dan Akal Sehat: Kembalinya Hobbes Dalam Arena Kontemporer

WIB
Ilustrasi Jambi Link

Dr. Jafar Ahmad

Dosen IAIN Kerinci

Pendiri Lembaga Penelitian Idea Institute

“Pilkada lagi panas, Bang” jawaban teman saya. Sebelumnya saya tanyakan tentang kabar politik di Jambi. Memang, politik sering kali dipahami sebagai kompetisi, tetapi di balik layar, ia adalah pertarungan yang jauh lebih mendalam. Dalam politik, kita tidak hanya melihat adu gagasan atau visi pembangunan, tetapi sering kali menyaksikan "pertarungan" yang mengarah pada penghancuran lawan. Kebencian yang menyelimuti arena ini sering kali mengalahkan akal sehat, mengubah kontestasi politik menjadi arena permainan kotor yang menyingkirkan lawan dengan berbagai cara, termasuk menggunakan hukum sebagai senjata.

Fenomena ini bukanlah hal baru. Sejarah memperlihatkan bahwa politik selalu membawa elemen konflik, dan terkadang konflik tersebut mengarah pada penggunaan cara-cara yang tidak sehat. Para pemikir klasik seperti Thomas Hobbes pernah mengingatkan kita tentang sifat dasar manusia yang berkompetisi untuk kekuasaan, yang hanya bisa dikendalikan oleh kekuatan besar yang ia sebut sebagai Leviathan. Menariknya, Hobbes sendiri memahami bahwa Leviathan ini bisa terlihat kejam, tetapi baginya, kekuatan tersebut diperlukan untuk menekan konflik yang lebih besar. Dalam dunia politik modern, kita menyaksikan bagaimana pemimpin-pemimpin kuat muncul dengan kekuatan Leviathan untuk "menjinakkan" lawan-lawannya, sekalipun mereka harus menggunakan kekuatan besar yang bisa dianggap tidak demokratis. Beberapa negara besar saat ini, menggunakan sebagian pemikiran Hobbes itu: China, Rusia, Singapura, dan negara-negara sejenis. Dalam perjalanan sejarah, wajah Leviathan itu berbeda-beda. Ada yang baik dan tidak sedikit yang bengis.

Menurut David Runciman, dalam bukunya Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond, politik memang sarat dengan kemunafikan. Runciman berpendapat bahwa sering kali politisi menggunakan retorika moral untuk menutupi kebijakan atau tindakan yang jauh dari moralitas (Runciman, 2008). Kebencian dalam politik sering kali memicu tindakan yang melampaui batas, di mana para politisi saling "mematikan" bukan hanya melalui debat, tetapi juga menggunakan jalur hukum yang memanipulasi kesalahan kecil menjadi hukuman besar. Di sisi lain, kejahatan besar yang dilakukan oleh aktor-aktor kuat sering kali lolos dari jeratan hukum karena hubungan kekuasaan yang tidak seimbang.

Politik Adu Domba: Skandal dan Tuduhan Miring

Dalam beberapa tahun terakhir, kita sering melihat praktik politik yang menyeret reputasi lawan dengan tuduhan-tuduhan yang tidak selalu terkait langsung dengan tugas publik mereka. Tuduhan skandal seperti keterlibatan dalam narkoba, prostitusi, atau perselingkuhan bukan lagi sekadar isu pribadi, tetapi menjadi alat untuk mematikan citra moral lawan di mata publik. Contoh kasus politisi yang saling melapor dengan tuduhan terlibat narkoba, prostitusi, atau skandal perselingkuhan bukanlah hal baru. Taktik ini sering kali digunakan untuk menghancurkan kredibilitas dan moral lawan, meski tidak jarang para pengadu itu sendiri terlibat dalam skandal serupa.

Misalnya, kita melihat beberapa kali di Indonesia maupun di negara lain, politisi tertentu dilaporkan terlibat dalam jaringan prostitusi atau penyalahgunaan narkoba. Pada akhirnya, tuduhan ini lebih sering menjadi alat untuk mempermalukan, bukan untuk menegakkan hukum secara adil. Hal ini terjadi, bukan karena tidak adanya dasar hukum, tetapi karena tujuan utamanya bukan menegakkan keadilan, melainkan menjatuhkan citra lawan dan memanfaatkan moralitas sebagai senjata politik.

Meskipun benar bahwa setiap kejahatan harus diusut, kita harus sadar bahwa metode ini sering kali memiliki efek berbalik. Semakin kuat serangan yang dilancarkan dengan cara-cara ini, semakin besar kemungkinan bahwa pada masa depan, serangan serupa akan dialamatkan kembali kepada mereka yang menggunakannya. Ini bukan hanya masalah moralitas politik, tetapi juga masalah ketegangan yang terus-menerus di dalam demokrasi. Ketika jalur hukum digunakan sebagai senjata politik, akal sehat dan kepentingan publik sering kali terpinggirkan.

Siklus Politik dan Karma Politik

Kebencian dalam politik sering kali memicu penggunaan strategi yang curang dan berbahaya. Dalam pengamatan saya, semakin intens penggunaan pendekatan ini, semakin besar risiko bahwa strategi ini akan berbalik dan menghantam para pengguna di kemudian hari. Karma politik adalah fenomena yang nyata, di mana mereka yang menggunakan cara-cara kotor untuk menjatuhkan lawan akan menghadapi konsekuensi serupa ketika lawan politik mereka memiliki kesempatan untuk membalas. Ini adalah siklus yang terus berputar, memerangkap politisi dalam permainan yang tidak ada akhirnya. Mungkin inilah yang menjadi alasan mengapa Hobbes melihat perlunya Leviathan untuk mengendalikan konflik ini. Namun, jika kita ingin menghentikan siklus balas dendam politik ini, kita harus mulai mengedepankan akal sehat dan etika politik yang sehat, bukan kebencian yang menghancurkan. Karena pada akhirnya, politik yang dibangun atas dasar kebencian dan pertarungan curang hanya akan memproduksi lebih banyak kebencian dan kerusakan.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.