Pilkada 2024 – Keputusan Injury Time yang Mengguncang Peta Politik Indonesia

WIB
Ilustrasi Jambi Link

Dr Jafar Ahmad

Akademisi dan Peneliti Idea Institute Indonesia


Hanya beberapa hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah untuk Pilkada 2024 dimulai, Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan bom waktu: sebuah keputusan injury time yang mengejutkan dan mengubah permainan. Seperti dalam sepak bola, ketika gol tercipta di detik-detik terakhir, keputusan MK yang tiba-tiba merombak aturan ambang batas dan usia pencalonan telah mengguncang panggung politik Indonesia. Apa yang tadinya sudah terasa “pasti,” mendadak menjadi tak pasti. Drama politik Indonesia kembali menyajikan babak baru yang penuh kejutan, mengundang tawa sinis sekaligus cemas.

Keputusan ini, yang memperbolehkan partai dengan dukungan minimal 7.5% untuk mengusung calon, telah mengguncang peta politik lokal. Partai-partai kecil yang biasanya dipinggirkan dalam permainan besar tiba-tiba mendapat angin segar untuk menantang dominasi partai besar. Para calon yang tadinya merasa aman dengan dukungan solid, kini harus berpikir dua kali—bukan hanya soal strategi, tetapi juga soal kelangsungan hidup politik mereka.

Seperti yang dikatakan Marcus Mietzner, peneliti politik Asia Tenggara di Australian National University, “Keputusan semacam ini menunjukkan betapa belum matangnya sistem politik kita. Perubahan mendadak dari lembaga-lembaga hukum di menit-menit terakhir dapat menghancurkan kepercayaan publik terhadap proses demokrasi” (Marcus Mietzner, Southeast Asia Politics and Governance).

Bayangkan: peta Pilkada Jakarta, yang selama ini dikuasai oleh tokoh-tokoh besar dan partai-partai mapan, kini dipenuhi oleh kemungkinan munculnya calon-calon baru dari partai-partai kecil. Keputusan MK ini tak ubahnya seperti hujan meteor yang menghancurkan prediksi para analis politik. Tapi apakah kita siap menghadapi kejutan-kejutan tak terduga ini?

Keputusan injury time ini mungkin juga menjadi simbol betapa politik kita lebih sering ditentukan oleh “big men” daripada sistem yang stabil. Seperti kata Janine Beichman dari Columbia University, “Dalam demokrasi yang matang, aturan main harus jelas dan stabil. Ketika perubahan dilakukan secara mendadak, warga negara akan merasa terasing dan kehilangan kepercayaan pada sistem” (Janine Beichman, Political Shifts in Southeast Asia). Seolah menari di tepi jurang, kita sekali lagi dihadapkan pada situasi di mana prediksi politik menjadi seperti tebak-tebakan tanpa aturan pasti.

Namun, ada sisi positif yang mengejutkan dari semua kekacauan ini: waktu yang sangat sempit membuat calon-calon kepala daerah hampir tidak punya ruang untuk memainkan politik identitas. Di Indonesia, Pilkada sering kali menjadi ajang di mana isu-isu identitas dieksploitasi untuk meraih dukungan.

Agama, etnis, dan sentimen sektarian menjadi senjata ampuh yang dapat memecah belah masyarakat. Tetapi dengan waktu yang terbatas, politik identitas seakan dipaksa “rehat sejenak.” “Dalam situasi seperti ini, potensi eksploitasi politik identitas berkurang drastis,” kata Thomas Pepinsky, seorang profesor di Cornell University yang mempelajari politik identitas di Asia Tenggara (Thomas Pepinsky, Identity Politics in Southeast Asia). Mungkin, ini adalah berkah terselubung dari kekacauan yang diciptakan oleh keputusan dadakan MK.

Tetapi, jangan terburu-buru menarik napas lega. Perubahan aturan yang tiba-tiba tetap memperlihatkan kelemahan besar dalam sistem politik kita. Meredith Weiss dari University at Albany, SUNY, menegaskan bahwa “demokrasi yang sehat memerlukan aturan main yang stabil dan dapat diprediksi. Ketika institusi dapat mengubah regulasi kapan saja, itu menunjukkan bahwa sistem kita masih jauh dari stabilitas yang diperlukan untuk menjaga keadilan dalam proses demokrasi” (Meredith Weiss, Democratic Erosion in Southeast Asia).

Pilkada 2024 telah menunjukkan kepada kita bahwa sistem politik Indonesia masih rapuh dan penuh kejutan. Para calon kepala daerah dan partai-partai politik harus terus bersiap menghadapi perubahan yang tak terduga, sementara rakyat Indonesia kembali bertahan menghadapi ketidakpastian yang berlarut-larut. Apakah kita harus bersyukur karena berhasil menahan gejolak politik identitas, atau menyesal karena sistem kita masih begitu kacau?

Satu hal yang jelas: selama sistem kita terus memberikan ruang bagi keputusan injury time, kita semua harus bersiap untuk menghadapi rollercoaster politik yang tidak hanya mengguncang elite, tetapi juga menguji daya tahan kita sebagai bangsa. Pilkada ini adalah cerminan dari demokrasi yang terus berkembang—kadang dengan langkah besar, tetapi sering kali juga dengan lompatan yang terasa lebih seperti loncatan tanpa arahan.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.