Sebuah kajian eksaminasi yang mendalam terhadap putusan perkara tindak pidana korupsi dengan terdakwa Mardani H. Maming menjadi sorotan dalam bedah buku yang diselenggarakan oleh Center for Law and Development Studies (CLDS) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII). Buku berjudul “Mengungkap Kesalahan dan Kekhilafan Hakim dalam Mengadili Perkara Mardani H. Maming” ini mengkritisi putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin, Pengadilan Tinggi, hingga Kasasi Mahkamah Agung dalam kasus tersebut.
Bedah buku ini menghadirkan sejumlah pakar hukum dari berbagai bidang yang tergabung sebagai tim eksaminator, termasuk Prof. Dr. Ridwan Khairandy, SH., MH. (Ahli Hukum Perdata), Dr. Mudzakkir, SH., MH. (Ahli Hukum Pidana), dan beberapa pakar terkemuka lainnya. Mereka menyatakan bahwa putusan terhadap Mardani H. Maming didasari pada konstruksi hukum yang lemah dan tidak berbasis pada bukti yang kuat.
Kelemahan Putusan Pengadilan
Tim eksaminator menyoroti berbagai kekhilafan yang terjadi dalam proses peradilan tersebut. Beberapa poin utama yang diangkat meliputi:
- Tidak Ada Bukti yang Cukup – Menurut eksaminator, putusan yang menyatakan Mardani H. Maming bersalah dalam kasus korupsi tidak didukung oleh bukti yang kuat. Fakta-fakta hukum yang disampaikan di persidangan tidak mendukung dakwaan jaksa penuntut umum, yang terlalu dipaksakan tanpa adanya cukup bukti konkret. Salah satu poin penting adalah tidak adanya bukti kerugian keuangan negara, yang merupakan elemen krusial dalam kasus korupsi.
- Kesepakatan Diam-Diam yang Tidak Dikenal dalam Hukum Pidana – Salah satu argumen jaksa yang disoroti adalah "kesepakatan diam-diam" antara terdakwa dan pemberi suap. Namun, tim eksaminator menegaskan bahwa konsep kesepakatan seperti itu tidak dikenal dalam hukum pidana. Konstruksi semacam ini dianggap terlalu spekulatif dan tidak berdasar secara hukum.
- Penerapan Pasal yang Tidak Tepat – Eksaminator juga mengkritisi penerapan Pasal 12 huruf a UU Tipikor yang dijatuhkan kepada Mardani H. Maming. Pasal tersebut mengatur tentang tindak pidana suap, namun dalam kasus ini, pemberi suap tidak pernah dihadirkan sebagai saksi atau tersangka. Selain itu, tidak ada bukti kuat bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa bertentangan dengan kewajibannya sebagai pejabat publik.
- Peralihan IUP yang Sah – Tindakan Mardani H. Maming sebagai Bupati Tanah Bumbu dalam mengalihkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Operasi Produksi kepada pihak lain dinyatakan oleh eksaminator sebagai sah. Mereka menilai bahwa peralihan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, dan tidak melanggar ketentuan administrasi maupun hukum pertambangan.
Kekeliruan Hakim dalam Putusan
Salah satu eksaminator, Dr. Mudzakkir, SH., MH., menyoroti kekhilafan hakim dalam menyita barang bukti yang dianggap sebagai hadiah suap. Menurutnya, jika tidak terbukti ada kerugian negara, barang yang disita seharusnya dikembalikan kepada pemberi hadiah, bukan disita untuk negara. Penerapan Pasal 18 UU Tipikor dalam hal ini dianggap tidak tepat dan menjadi salah satu kekeliruan hakim yang kasat mata.
“Penerapan Pasal 18 UU Tipikor terhadap tindak pidana yang dimuat dalam Pasal 12 huruf a UU Tipikor sebagai tindak pidana suap tidak tepat, karena tidak ada bukti nyata yang mendukungnya,” tegas Dr. Mudzakkir.
Manfaat Eksaminasi Putusan Pengadilan
Dr. Mahrus Ali, salah satu editor buku ini, menekankan bahwa eksaminasi terhadap putusan pengadilan merupakan langkah penting untuk mengevaluasi apakah putusan tersebut telah sesuai dengan asas-asas hukum pidana yang berlaku. “Eksaminasi ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis, ia memperkaya khazanah ilmu hukum, sementara secara praktis, dapat digunakan sebagai dasar pembelaan atau penyusunan memori banding atau kasasi,” jelasnya.
Secara praktis, kajian eksaminasi ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi kalangan penegak hukum dalam memastikan keadilan ditegakkan secara objektif berdasarkan bukti, bukan asumsi atau imajinasi.
Argumentasi Para Pakar Hukum
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., L.L.M.: "Kesalahan Hakim dalam Menafsirkan UU Tipikor"
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, salah satu pakar hukum terkemuka yang juga bertindak sebagai pembuat legal opini dalam diskusi ini, menegaskan bahwa ada kekeliruan yang nyata dalam penerapan hukum oleh majelis hakim. Menurut Romli, penerapan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang digunakan untuk menjerat Maming sebagai penerima suap tidak tepat, karena tidak ada bukti nyata yang menunjukkan terjadinya suap.
"Jika dakwaan menyatakan bahwa Maming menerima suap, maka logikanya harus ada bukti konkret yang menunjukkan adanya penerimaan hadiah atau keuntungan yang diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait jabatannya. Namun, bukti tersebut tidak ada, dan ini merupakan kekhilafan hakim yang nyata," tegas Romli.
Ia juga menyoroti penerapan Pasal 18 UU Tipikor terkait penyitaan harta benda Maming yang dianggap sebagai hasil tindak pidana. Romli menegaskan bahwa penerapan pasal ini tidak tepat jika merujuk pada fakta bahwa tidak ada bukti kerugian negara, sehingga barang yang dianggap sebagai hadiah seharusnya dikembalikan kepada pemberinya, bukan disita untuk negara.
Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum.: "Tidak Ada Bukti Kerugian Negara"
Prof. Dr. Yos Johan Utama, pakar hukum dari Universitas Diponegoro, menambahkan bahwa salah satu elemen penting yang harus dibuktikan dalam tindak pidana korupsi adalah adanya kerugian negara. Dalam kasus Maming, menurut Yos, tidak ada bukti audit resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga lainnya yang menunjukkan adanya kerugian negara akibat tindakan yang dituduhkan kepada Maming.
"Tindak pidana korupsi harus dibuktikan dengan adanya kerugian keuangan negara, namun dalam kasus ini, tidak ada audit atau bukti yang menyatakan bahwa negara dirugikan. Tanpa adanya kerugian negara, tidak ada dasar yang kuat untuk menyatakan Maming bersalah," ujar Yos.
Ia juga mengkritisi bahwa putusan hakim dalam perkara ini terlalu dipaksakan, mengingat bukti-bukti yang ada tidak cukup untuk mendukung dakwaan korupsi yang dilayangkan terhadap Maming.
Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.: "Pengalihan IUP Sah dan Sesuai Prosedur"
Dalam pandangan Prof. Dr. Topo Santoso, ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia, pengalihan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang dilakukan Maming selama menjabat sebagai Bupati Tanah Bumbu adalah tindakan yang sah secara hukum. Topo menegaskan bahwa pengalihan IUP tersebut dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, serta telah memenuhi syarat administratif dan teknis yang dibutuhkan.
"Pengalihan IUP yang dilakukan oleh Maming sudah sesuai dengan prosedur yang berlaku dan tidak melanggar Undang-Undang Pertambangan. Ini adalah hak dan kewenangan yang sah sebagai bupati, dan tindakan ini tidak dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan wewenang," jelas Topo.
Ia juga menyoroti bahwa tidak ada unsur meeting of mind atau kesepakatan antara Maming dan pihak yang diduga memberi suap, yang seharusnya menjadi elemen penting dalam membuktikan tindak pidana suap.
Menuju Proses Peninjauan Kembali (PK)
Tim eksaminator menyimpulkan bahwa putusan kasasi terhadap Mardani H. Maming telah memenuhi alasan untuk diajukannya Peninjauan Kembali (PK), karena adanya kekhilafan hakim yang nyata. Selain itu, mereka juga menyarankan agar pihak terdakwa mempertimbangkan upaya hukum selanjutnya, mengingat sejumlah fakta baru yang tidak dipertimbangkan dalam putusan sebelumnya.
Dengan berbagai kekeliruan yang terungkap, para pakar berharap kasus ini menjadi pelajaran penting bagi para hakim, jaksa, dan penegak hukum lainnya untuk senantiasa berhati-hati dalam memutus perkara pidana, terutama yang melibatkan dakwaan serius seperti korupsi. “Keadilan harus didasarkan pada fakta dan bukti, bukan asumsi dan imajinasi,” tutup Dr. Mudzakkir.(*)
Add new comment