Langit Jakarta tampak mendung, tapi suasana di lantai satu Senayan Trade Center Jakarta Sabtu siang, 7 Desember 2024, penuh dengan kehangatan. Di sebuah sudut ruangan, Hasan Basri Agus (HBA), anggota DPR sekaligus Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Jambi, duduk berdiskusi serius.
Di sebelahnya, Antoni Zeidra Abidin, mantan Wakil Gubernur Jambi era Zulkifli Nurdin, memimpin delegasi Yayasan Sungai Batanghari Jambi.
Turut hadir sejumlah akademisi ternama seperti Dr. Ridwan Syah, Dr. Asadi, dan Dr. Syahrasaddin. Mereka berbicara tentang masa lalu yang gemilang, masa kini yang penuh tantangan, dan masa depan Jambi yang menjanjikan.
Diskusi hari itu berpusat pada sebuah rencana besar: seminar internasional bertajuk “Menuju Jambi sebagai Pusat Logistik Sumatera”. Acara ini, yang dijadwalkan berlangsung pada 7 Januari 2025, bertepatan dengan HUT Provinsi Jambi, bukan sekadar ajang akademis. Seminar itu dirancang untuk menjadi tonggak sejarah, membangkitkan kembali kejayaan Jambi sebagai simpul perdagangan yang pernah menjadi pusat logistik regional.
Jejak Sejarah Jambi
Di balik kemegahan Sungai Batanghari yang mengalir sepanjang lebih dari 800 kilometer, tersembunyi sejarah yang agung. Pada masa lampau, Jambi menjadi pusat perdagangan strategis di Nusantara. Pelabuhan Ujung Jabung di pesisir timur Jambi adalah nadi utama perdagangan internasional, menghubungkan berbagai komoditas lokal dengan pasar global. Gaharu, damar, emas, dan gading menjadi komoditas andalan yang mempertemukan Jambi dengan Tiongkok, India, hingga Timur Tengah.
Namun, gemerlap itu mulai meredup seiring pergantian zaman. Pelabuhan Ujung Jabung yang dahulu menjadi ikon kejayaan kini hanya menjadi saksi bisu. Upaya modernisasi pelabuhan sejak 2013 oleh Gubernur Jambi Hasan Basri Agus terhambat oleh berbagai kendala, mulai dari birokrasi hingga keterbatasan infrastruktur. Dana ratusan miliar yang telah dikucurkan belum cukup untuk mengembalikan kejayaan masa lampau.
“Jambi dulu adalah poros perdagangan,” ujar HBA.
“Melalui Sungai Batanghari, komoditas kita tersebar hingga ke mancanegara. Tapi sekarang, kita seakan terpinggirkan,” kata HBA.
HBA menjelaskan, seminar internasional nanti diharapkan menjadi pijakan awal untuk mengembalikan kejayaan itu. Tak hanya menghadirkan akademisi dalam negeri seperti dari Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Jambi (Unja), menurut HBA, acara ini juga akan diramaikan oleh guru besar dari mancanegara.
“Salah satu agenda pentingnya adalah penandatanganan nota kesepahaman antara LAM Jambi dan Yayasan Sungai Batanghari Jambi,” tegasnya.
Nota kesepahaman ini, menurut HBA, adalah langkah konkret untuk menyatukan visi.
“Kita harus mengakui bahwa potensi Jambi belum tergarap maksimal. Ini adalah kesempatan untuk menyusun langkah bersama,” ujarnya.
HBA menegaskan seminar itu nantinya semacam gerakan untuk, “Membangkitkan Batang Terendam,”. Bagaimana cita-cita untuk menggali kembali potensi Jambi yang selama ini terabaikan. Peran strategis Jambi di Sumatera dinilai mampu menopang logistik regional, menghubungkan wilayah barat dan timur Nusantara.
HBA optimistis, seminar ini bukan hanya refleksi atas sejarah, tetapi juga landasan untuk pembangunan di masa depan.
“Kita memiliki modal besar, mulai dari pelabuhan Ujung Jabung, Sungai Batanghari, hingga sumber daya alam yang melimpah. Seminar ini harus menghasilkan peta jalan nyata untuk mengembalikan peran strategis Jambi,” tegasnya.
Diskusi hari itu diakhiri dengan semangat yang menyala. Di tengah tantangan modernisasi, mereka percaya Jambi bisa bangkit. Sejarah telah membuktikan, Jambi adalah pusat logistik yang tangguh. Kini, saatnya sejarah itu ditulis ulang, dengan tinta keberanian dan kerja sama.
Tepat 7 Januari 2025, Jambi akan menandai babak baru. Sebuah upaya kolektif untuk menghidupkan kembali batang yang terendam, dan mengembalikan Jambi ke panggung utama perekonomian Nusantara. (*)
Add new comment