Putusan MK: Mengubah Lawan menjadi Kawan

WIB
IST

Dr Jafar Ahmad

Analisis dan Pengamat Politik Idea Institute Indonesia
 

“Dalam politik, segalanya mungkin.” Ungkapan ini mungkin terdengar klise, tapi tak ada yang lebih benar untuk menggambarkan kondisi politik Indonesia saat ini. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah seolah menjadi katalisator dari perubahan besar di panggung politik kita. Namun, di balik itu, terselip realitas yang tak bisa dihindari: politik identitas dan pragmatisme yang sering kali bertabrakan.


Identitas politik, kita tahu, adalah bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi kita. Sulit membayangkan Anies Baswedan diusung oleh PDI Perjuangan, atau PKS bersanding dengan Jokowi. Tapi, inilah Indonesia—negeri dengan politik yang tak pernah benar-benar bisa ditebak. Putusan MK membuka pintu untuk kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya hampir mustahil terjadi.

Namun, ada hal lain yang perlu kita perhatikan: pragmatisme politik. Ini bukan sekadar soal siapa mendukung siapa, tapi bagaimana elit politik kita memainkan strategi mereka. Dukungan PDI Perjuangan kepada Anies Baswedan, misalnya, mungkin lebih dipengaruhi oleh kalkulasi pragmatis daripada perubahan aturan. Pragmatisme, seperti yang disebutkan Kanchan Chandra dalam Political Dynasties and Democracy, adalah senjata ampuh bagi elit untuk bertahan di tengah arus politik yang berubah-ubah.

Pragmatisme ini tentu punya sisi positif—fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi bisa menjaga stabilitas. Tapi, ada juga risiko yang mengintai, yaitu hilangnya idealisme dan konsistensi dalam kebijakan. Adam Przeworski dalam Democracy and Development bahkan menyebut bahwa kemampuan untuk beradaptasi adalah kunci bagi demokrasi yang sukses. Jadi, apakah pragmatisme ini adalah kelemahan? Atau justru kekuatan yang tak boleh diremehkan?

Jeffrey Winters, pakar politik, melihat pragmatisme sebagai refleksi dari kompleksitas kekuasaan di Indonesia. “Ini bukan kelemahan, tapi strategi bertahan hidup,” ujarnya. Jadi, ketika kita melihat para politisi melakukan langkah-langkah yang tampak tak masuk akal, mungkin ini adalah cara mereka untuk tetap relevan dan berpengaruh.

Mungkin inilah kenyataan yang harus kita terima: politik kita memang pragmatis, tapi mungkin justru itulah yang membuat kita bertahan sebagai bangsa. Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi di tengah perubahan adalah kekuatan yang harus kita akui.

Ketika perubahan seperti putusan MK terjadi, kita harus bertanya: apakah ini akhir dari idealisme politik kita? Atau justru awal dari sebuah pragmatisme yang lebih dewasa? Bagaimana kita menyikapi perubahan ini akan menentukan arah demokrasi kita ke depan. Yang pasti, dalam politik Indonesia, jangan pernah mengatakan “tidak mungkin.”

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.