Rekayasa Cinta

WIB
IST

Oleh :

Ahmad Inung

Kala cinta berlabuh di dermaga

Kutelusuri karang terjal berliku

Tak peduli pasirnya melukai

Aku pasrah dalam rangkulnya

Bila cinta berlumur dusta

Aku tenggelam dalam keruhnya

Sebab dia memberi surya

Walau dia perih menyalibku

Itu adalah penggalan lirik lagu “Misteri Cinta” yang dinyanyikan Nicky Astria. Lagu yang dirilis di tahun 1990 ini mengisahkan bagaimana perasaan seseorang yang sedang jatuh cinta. Dia memberikan segalanya, tak peduli jika yang didapatkan adalah kesedihan dan rasa sakit. Bagi mereka yang sedang jatuh cinta, indahnya cinta memang layak ditebus dengan apa saja.

Begitulah kalau orang sedang jatuh cinta. Seakan tidak ada kendali diri. Jika kita sedang jatuh cinta, kita begitu saja terjatuh ke dalam kebahagiaan emosional yang seperti mimpi. Seakan-akan itu semua berasal dari luar diri kita. Perasaan ini seperti kisah-kisah keindahan surgawi. Kemudian, kita menyangka bahwa ini karunia langit yang sedang dicurahkan pada kita. Tuhan sedang menuntun kita menemukan pasangan kita yang sudah diguratkan sejak awal penciptaan.

Seperti nyanyian Maudi Ayunda dalam Perahu Kertas:

Ku bahagia

Kau telah terlahir di dunia

Dan kau ada

Di antara miliaran manusia

Dan ku bisa

Dengan radarku

Menemukanmu

Apakah memang semesterius itukah cinta?

***

Neuroscience, ilmu tentang sistem saraf dan otak, memberi jawaban yang mungkin membuat kita kecewa. Neuroscience menjelaskan bahwa perasaan hangat manis yang kita hubungkan ke hati sebenarnya adalah bahan kimia dan hormon yang membanjiri otak kita. Jangan sedih jika Neuroscience akan mendemistifikasi cinta.

Jatuh cinta memicu serangkaian reaksi neurokimia di otak, yang melibatkan beberapa neurotransmitter dan hormon utama. Neurotransmitter adalah senyawa kimia dalam tubuh yang berfungsi untuk membawa dan mengirimkan sinyal atau pesan antar-neuron (sel saraf) atau dari neuron ke berbagai jaringan tubuh. Di antara hormon utama yang paling signifikan adalah dopamin, oksitosin, dan serotonin.

Ini bermula saat seseorang naksir pada orang lain. Ketertarikan awal ini memicu area otak yang disebut ventral tegmental atau VTA. Menyadari potensi imbalan yang dihasilkan, VTA mulai memproduksi Dopamin, yang merupakan neurotransmitter “perasaan nyaman”.

Dopamin memainkan peran penting. Ketika seseorang mengalami ketertarikan romantis, kadar dopamin melonjak, menciptakan perasaan euforia, kesenangan, dan hasrat. Peningkatan aktivitas dopamin ini mirip dengan respons yang terlihat pada zat adiktif tertentu. Inilah mengapa cinta bisa terasa menguras tenaga dan menggembirakan. Di titik ini, kita sedang mabuk dalam cinta. Seperti pecandu narkoba yang sedang mabuk kokain. Kita menginginkannya terus dan terus, lagi dan lagi.

Selama obsesi yang semakin besar ini, otak mengirimkan sinyal ke kelenjar adrenal, yang memproduksi adrenalin dan norepinefrin, bahan kimia yang membuat tubuh siap untuk melawan apa dan siapa saja atau memutuskan untuk melakukan apa saja. Manusia yang sedang jatuh cinta bisa sangat konyol. Saat jatuh cinta, kita tiba-tiba bodoh seketika.

Kita mengira bahwa kekasih kitalah yang membuat kita gemetar, kehilangan nafsu makan, telapak tangan berkeringat, dan jantung berdebar-debar. Padahal itu semua karena dinamika yang sedang terjadi di otak. Kita sering bingung mengapa saat mabuk cinta semua tampak begitu sempurna, tak ada kesalahan apapun yang dilakukan kekasih kita, tapi semua tampak salah ketika sudah tidak ada cinta? Itu bukan karena kekasih kita adalah bidadari surga yang tak memiliki cacat. Itu semua karena bahan kimia.

Saat jatuh cinta, otak cinta menonaktifkan amigdala, wilayah otak yang mengontrol persepsi ketakutan, kemarahan, dan kesedihan. Saat jatuh cinta, kita merasa aman dan tenteram bersama orang yang kita cintai. Tidak ada tanda bahaya di sini. Pada saat yang sama, otak mengurangi kemampuan korteks tengah dan frontal kita untuk menggunakan logika, mengkritik, atau berpikir jernih. Kita benar-benar menangguhkan kemampuan kita untuk menganalisis dan menilai orang yang kita cintai.

Di sinilah lahir ungkapan cinta itu buta. Orang mengira cinta adalah misteri terbesar dalam hidup manusia. Para filsuf kemudian mencoba menjelaskan makna cinta. Misalnya, Plato menyatakan, “And so, when a person meets the half that is his very own, whatever his orientation, whether it's to young men or not, then something wonderful happens: the two are struck from their senses by love, by a sense of belonging to one another, and by desire, and they don't want to be separated from one another, not even for a moment”.

(Jadi, ketika seseorang bertemu dengan separuh dirinya, apa pun orientasinya, apakah itu pria muda atau tidak, maka sesuatu yang menakjubkan terjadi: keduanya tersadar oleh cinta, oleh rasa memiliki satu sama lain, dan oleh hasrat, dan mereka tidak ingin dipisahkan satu sama lain, bahkan untuk sesaat pun”).

Para penyair bersyair tentang cinta yang begitu indah. William Shakespeare dalam Soneta-nya menyatakan, “Thy sweet love remembered such wealth brings; That then I scorn to change my state with kings.” (Mengingat kekayaan yang dibawa oleh cinta manismu, tak ingin aku mengubah keadaanku dengan raja). Bahkan, dalam Romeo and Juliet, dia menyakan bahwa “My bounty is as boundless as the sea. My love as deep. The more I give to thee, the more I have, for both are infinite.” (Karuniaku tak terbatas bagaikan lautan. Cintaku sedalam itu. Semakin banyak yang kuberikan padamu, semakin banyak yang kumiliki, karena keduanya tidak terbatas.)

Mengapa Shakespeare dan para penyair lain sebegitu dahsyat menggambarkan cinta? Apakah karena mereka menemukan pasangan jiwanya? Neuroscience tentu akan menjawab bahwa perasaan yang begitu dahsyat adalah sensasi yang dirasakan sebagai akibat dari aktivasi bagian-bagian otak.

Ketika seseorang jatuh cinta, berbagai bagian otak teraktivasi, di mana masing-masing memainkan peran khusus. Wilayah otak yang disebut Nukleus Kaudatus membantu memusatkan perhatian pada orang yang dicintai dan memperkuat keinginan untuk mengejar dan mempertahankan hubungan. Sementara itu, bagian otak Insula berkontribusi terhadap respons emosional yang intens dan sensasi fisik yang terkait dengan ketertarikan romantis. Wilayah otak ini membantu menciptakan perasaan “butterflies in the stomach” dan dampak emosional yang mendalam dari jatuh cinta.

Istilah “butterflies in the stomach” menjadi popular lantaran perasaan yang luar biasa saat kita sedang ditatap atau dipuji orang yang kita cintai. Lalu, kita tidak tahu harus melakukan apa selain perasaan bahagia yang meluap-luap. Disebut “butterfly in the stomach” karena terasa ada sedikit gelitikan di perut. Sensasi itulah yang sering kita rasakan ketika sedang jatuh cinta.

***

Mungkin Anda merasa kecewa dengan penjelasan Neuroscience tentang cinta. Saya juga. Bahkan kita akan semakin kecewa ketika tahu bahwa neuroscience telah mampu melakukan rekayasa cinta. Begitulah memang kekuatan ilmu pengetahuan. Salah satu dari kekuatan ilmu pengetahuan adalah melakukan engineering (rekayasa) dan forecasting (memprediksi apa yang akan terjadi kemudian). Seperti penemuan energi panas akhirnya menghasilkan mesin uap dan kereta api. Begitu juga neuroscience, ketika hormon dan cara kerja syaraf otak ditemukan, langkah berikutnya adalah kemampuan merekayasanya dan memprediksi apa yang kemudian terjadi.

Jika Anda menduga bahwa rekayasa cinta baru sebatas angan, silakan Anda kecewa. Savulescu dan Sandberg dalam artikelnya berjudul Engineering Love (New Scientist: 2012) menginformasikan bahwa eksperimen rekayasa cinta telah dilakukan, sekalipun pada tikus.

Para peneliti menanamkan hormon oksitosin ke dalam otak tikus padang rumput betina dan vasopresin ke dalam otak pasangan laki-laki. Hasilnya adalah penguatan ikatan dengan pasangan, seperti menghabiskan waktu bersama, meningkatkan kesetiaan dengan pasangan.

Pada eksperimen yang lain, para peneliti menyuntikkan gen vasopresin dari tikus padang rumput yang setia ke dalam otak sepupunya yang biasa berganti-ganti pasangan. Hasilnya sangat mengejutkan. Tikus yang berganti-ganti pasangan itu menjadi monogamus.

Dengan penuh percaya diri, Savulescu dan Sandberg menulis, “If human and vole brains share similar wiring, as research suggests, we might be able to modify our mating behaviour biologically as well.” (Jika otak manusia dan tikus berbagi kabel serupa, seperti yang disarankan oleh penelitian, sangat mungkin kita dapat mengubah perilaku kawin kita secara biologis juga).

Jika sudah seperti ini, bagaimana masa depan cinta kita? Dahulu orang tidak pernah membayangkan manusia akan mengkloning atau merekayasa makhluk hidup sehingga tumbuh menjadi sesuatu yang berbeda, tapi semua itu kini bukanlah lagi mimpi, sekeras apapun para moralis bersuara. Jika hanya menyuntikkan hormon untuk merasakan sebuah sensasi cinta, rasanya itu tinggal sejengkal langkah.

Cinta tak lagi menjadi misteri. Mungkin kita akan mengalami mabuk cinta bukan karena korban panah asmara yang dilepaskan Dewa Amor secara membuta, tapi karena produk pabrik farmasi. Jangan heran jika mungkin ada pil setia seperti hasil eksperimen pada tikus poligamus yang direkayasa menjadi monogamus.

Tak perlu bersedih meratapi hilangnya kesakralan cinta. Ketika sains membuktikan bahwa bulan hanya sebongkah batu, toh kita tetap menggunakan diksi “bulan” untuk merayu kekasih. Sekalipun Yuval Noah Harrari menyatakan bahwa “Hollywood and Bollywood sell us a myth about love” (Hollywood dan Bollywood jualan mitos tentang cinta kepada kita), toh kita tetap menikmati film-film romansa produksi Hollywood dan atau Bollywood. Bahkan, jika masih punya stok air mata, silakan juga nonton drama Korea.

Sumber: https://www.arina.id/perspektif/ar-C4d8u/rekayasa-cinta

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.