Apa Gunanya Islamic Center Rp 150 Miliar?

WIB
IST

Oleh:

MUAWWIN MM

Beberapa hari terakhir, ruang digital Jambi dipenuhi ragam komentar tentang Islamic Center. Gedung megah yang berdiri di depan Bandara Sultan Thaha Jambi. Bukan pujian yang mendominasi, melainkan deretan kritik tentang angka. Tentang dana. Tentang “bocor”. Tentang kebutuhan rakyat.

Saya memahami kegelisahan itu. Wajar. Publik hari ini makin cerdas, kritis, dan memiliki keberanian untuk bertanya. Tapi...apa dan bagaimana sesungguhnya yang terjadi?

Banyak yang melihat Islamic Center sebagai proyek fisik. Tentang dinding, plafon, marmer, kubah. Tapi, sesungguhnya, substansi Islamic Center jauh melampaui itu. Ia adalah komunikasi generasi, jembatan antara masa lalu dan masa depan. Sebab kota yang hanya tumbuh secara ekonomi akan cepat lupa siapa dirinya. Tapi, kota yang tumbuh bersama nilai, akan tahan terhadap perubahan zaman.

Islamic Center bukan hanya didesain sebagai rumah ibadah. Nantinya, ia adalah ruang tafakur, tempat orang diam, merenung, belajar, dan saling memperbaiki. Di sinilah nilai Melayu-Islam seperti “adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” akan diterjemahkan dalam arsitektur dan ruang sosial. Sebuah cita-cita yang sangat mulia.

Kita hidup di era di mana kecepatan informasi tak selalu berbanding lurus dengan kedalaman makna. Generasi hari ini dibesarkan dalam algoritma. Scroll, swipe, dan ilusi koneksi digital. Di tengah itu, hadirnya Islamic Center adalah pengingat bahwa tak semua yang berharga bisa kita like atau retweet. Ada nilai-nilai yang hanya tumbuh dalam keheningan, dalam sujud, dalam interaksi nyata antar manusia.

Apakah Rp 150 miliar terlalu besar untuk itu?

Tentu, jika kita hanya menghitung keramik dan semen.

Tapi, jika kita melihat ini sebagai investasi “nilai”, tempat pembinaan qori muda, rumah kajian tafsir, ruang dialog antar iman dan generasi, maka, angka itu akan terlihat bukan sebagai biaya, tapi bekal untuk bertahan dalam zaman yang serba bergerak ini.

Dalam teori pembangunan kota, tokoh seperti Jane Jacobs dan Lewis Mumford menyatakan kota yang baik bukan hanya soal transportasi dan ekonomi, tapi adanya ruang-ruang di mana manusia bisa belajar jadi manusia. Dan dalam konteks Jambi, di mana identitas Melayu-Islam adalah napas masyarakat, sehingga Islamic Center adalah fondasi “nilai” itu.

Islamic Center tak berdiri di ruang hampa. Ia berdiri di tanah yang telah ribuan tahun menjadi perlintasan nilai, dari Syekh KH Syukur di Batang Hari, ke jejak ulama-ulama di Olak Kemang, sampai generasi penghafal Al-Qur’an dari pelosok Sarolangun dan Tebo.

Kita sedang menulis bab baru dari narasi itu. Dan bangunan ini, betapapun dikritik, telah meletakkan batu pertama untuk perjalanan panjang itu. Jika diskusi publik hanya berhenti pada angka, kita kehilangan arah. Karena negara dibangun bukan hanya dari APBD, tapi juga dari harapan dan arah “nilai”.

Islamic Center bukan soal “siapa yang membangun”, tapi “untuk siapa ia akan berdiri”. Untuk anak-anak kita. Untuk ibunda-ibunda yang mengaji di pagi hari. Untuk pelajar yang sedang mencari makna hidup di tengah perubahan zaman. Dan untuk itu, Rp 150 miliar belum tentu terlalu besar.

Saya ikut menyimak narasi tentang “kebocoran”. Beberapa unggahan menyebut air menetes dari atas, lalu menyimpulkan bangunan ini gagal. Seolah kebocoran kecil adalah metafora dari kebobrokan besar.

Sebagai jurnalis, saya lebih suka bertanya daripada menghakimi. Saya cari tahu. Saya turun ke lapangan. Dan saya temukan, yang disebut “bocor” itu bukan kerusakan struktural, bukan atap jebol atau beton yang retak. Hanya genangan air di satu sudut akibat saluran yang tersumbat. Ini masalah teknis ringan, lazim terjadi di hampir semua proyek bangunan berskala besar. Dan lebih dari itu, proyek ini belum selesai. Masih dalam masa pemeliharaan.

Artinya, semua kekurangan masih menjadi tanggung jawab kontraktor. Negara belum dirugikan. Tak ada sepeser pun dana tambahan untuk memperbaiki itu, karena ini bagian dari kontrak awal. Seperti rumah yang baru selesai dibangun, masih ada cat yang perlu dirapikan, keran yang harus disesuaikan, aliran air yang mesti diuji. Dan seperti hidup kita, yang rusak diperbaiki. Yang kurang disempurnakan.

Narasi yang adem seperti ini, memang tak laku dijual.

Yang viral adalah suara gaduh. Yang ramai adalah kalimat dengan tanda seru. Yang cepat menyebar adalah potongan video dan asumsi. Yang pelan, yang utuh, yang lengkap, nyaris selalu tertinggal di belakang.

Padahal, jika kita mau berhenti sejenak dan melihat ke dalam, kita akan menemukan sesuatu yang jarang dibahas, bangunan ini tidak hanya berisi tiang dan dinding. Tapi, juga ruang-ruang pengabdian.

Ada ruang pelatihan LPTQ, tempat anak-anak dilatih membaca Al-Qur’an dengan baik dan benar. Ada ruang majelis pengajian, tempat ibu-ibu yang telah selesai mengurus rumah tangga bisa mengisi harinya dengan ilmu dan zikir di sini.

Nantinya, akan ada jadwal pembinaan keagamaan anak dan remaja setiap minggu yang dimasukkan dalam kalender tetap kegiatan keagamaan provinsi. Semua ini nyata. Terstruktur. Aktif. Tapi, tidak masuk ke dalam trending topik.

Kenapa?

Karena narasi semacam ini tidak menarik klik.

Tidak gaduh.

Tidak bisa dijadikan bahan serangan politik.

Padahal di sanalah justru letak nilainya.

Nilai ketenangan.

Nilai keikhlasan.

Nilai pelayanan yang tak perlu disoraki.

Saya tidak mengatakan proyek ini sempurna. Tak ada yang sempurna. Tapi, terlalu banyak niat baik yang hilang karena tidak sempat dibaca dengan sabar.

Sekali lagi, saya tak sedang membela siapa pun. Tidak pula berdiri di belakang kepentingan politik atau proyek. Saya hanya berdiri di tempat yang saya pahami, yakni naluri seorang jurnalis yang telah lebih dari 15 tahun menulis kisah-kisah orang biasa.

Kisah tukang ojek yang kehilangan penumpang. Kisah anak muda yang membangun pesantren kecil dari gubuk kayu. Kisah ibu rumah tangga yang mengajar mengaji di ruang tamu rumahnya karena tak ada tempat lain.

Dan dari kisah-kisah itu saya belajar satu hal, seringkali, yang paling sunyi justru yang paling penting. Kadang yang paling penting adalah sebuah tempat yang memungkinkan manusia berhenti sejenak dari arus kehidupan yang serba cepat, menunduk, dan mencari arah. Tempat yang tidak menjanjikan dunia, tapi menawarkan keheningan. Dan dalam keheningan itu, orang mulai menemukan dirinya kembali.

Hari ini, di tengah gemuruh kebisingan digital, di tengah gonta-ganti trending topik, dan kompetisi pembangunan yang hanya diukur dari tinggi bangunan atau panjang jalan, Islamic Center mungkin bukan prioritas semua orang. Ia bukan tol baru. Bukan mal baru. Bukan kantor dinas baru. Maka wajar jika tidak menimbulkan euforia.

Tapi, percayalah, nantinya ia akan menjadi kebutuhan banyak orang. Terutama saat kita mulai lelah mengejar, dan mulai mencari tempat untuk kembali pulang. Tempat itu tak harus mewah. Tapi harus bermakna.

Karena kota yang baik, tidak hanya dibangun oleh pertumbuhan. Kota yang baik dibangun oleh makna. Dan makna hanya tumbuh bila kita sediakan ruang untuk itu.

Islamic Center, bagi saya, adalah ruang kecil itu. Di tengah kota yang makin cepat, makin sibuk, makin bising. Ia tak sempurna. Tapi, kehadirannya seperti kompas. Ia tak membawa kita ke mana-mana. Tapi, ia mengingatkan kita arah mana yang benar.

Anggaran bisa diaudit. Proyek bisa dikritik. Tapi nilai, ia harus dirawat. Dan Islamic Center, dalam segala kekurangannya, sudah berusaha jadi ruang untuk itu.

Mari kita jaga kritik kita agar tetap bernilai. Jangan sampai karena ingin benar, kita kehilangan kebijaksanaan.(*)

Disclaimer: Tulisan ini adalah opini pribadi penulis. Tidak mencerminkan sikap media atau lembaga mana pun.

Comments

Permalink

Luar biasa memaknai arti penting niat suci dari tujuan Islamic center didirikan, kesalahan itu bisa diperbaiki,

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.