Oleh:
Prof. Dr. Drs. Ermaya Suradinata, SH, MH, MSI
(Pembina Tenaga Ahli Gubernur Jambi)
Dewasa ini pemerintah daerah di seluruh Indonesia sedang mempersiapkan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) tahun 2026, sebuah instrumen penting yang menjadi pijakan awal dalam perencanaan program dan penganggaran. Namun yang membedakan RKPD 2026 dari tahun-tahun sebelumnya, adalah konteks politik dan visi nasional yang baru. Pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, membawa arah pembangunan nasional yang terangkum dalam delapan program strategis, Asta Cita. Dokumen ini bukan sekadar visi-misi politik elektoral, tetapi platform pembangunan nasional yang wajib dijadikan rujukan oleh seluruh pemerintah daerah.
Sinkronisasi antara RKPD 2026 dan Asta Cita bukan hanya idealisme kebijakan. Ini adalah prasyarat mutlak bagi terciptanya tata kelola pemerintahan yang efisien, bersih, dan berdampak langsung pada masyarakat. Indonesia tidak bisa bergerak menuju Indonesia Emas 2045, jika masih terdapat dikotomi antara pusat dan daerah, atau jika pembangunan dilakukan secara sektoral tanpa koordinasi strategis lintas wilayah dan lintas kewenangan. Di sinilah RKPD 2026 memegang peranan vital sebagai jembatan antara kebijakan nasional dan kebutuhan lokal.
Asta Cita memuat delapan arah strategis nasional, di antaranya: penguatan pertahanan negara, ketahanan pangan dan energi, pemerataan layanan pendidikan dan kesehatan, penciptaan lapangan kerja, hilirisasi industri, pembangunan dari desa dan perbatasan, digitalisasi birokrasi, serta penegakan hukum yang adil. Setiap poin ini memerlukan penerjemahan kontekstual di level provinsi, kabupaten, dan kota. RKPD adalah wadah yang memungkinkan prioritas nasional tersebut diadaptasi menjadi kebijakan yang relevan dan implementatif di tingkat daerah.
Maka penting untuk ditekankan bahwa penyusunan RKPD tidak boleh berhenti pada sekadar mengisi format rencana tahunan. Ia harus menginternalisasi prinsip-prinsip good governance: partisipatif, transparan, akuntabel, dan berorientasi hasil. Inilah kesempatan emas untuk memperkuat orientasi pemerintahan yang efisien dan bersih, terutama dalam masa transisi kepemimpinan nasional.
Efisiensi pemerintahan tidak hanya ditentukan oleh seberapa besar anggaran yang digunakan, tetapi juga bagaimana setiap rupiah dikelola untuk mencapai hasil yang nyata. RKPD 2026 harus disusun berbasis evidence-based planning: menggunakan data riil, hasil evaluasi tahun sebelumnya, serta indikator kinerja yang terukur. Ini akan mendorong birokrasi agar bergerak bukan hanya sebagai pelaksana anggaran, tetapi sebagai manajer hasil pembangunan.
Lebih lanjut, RKPD 2026 harus sejalan dengan RPJMD 2025–2029 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) yang kini tengah dalam proses penyempurnaan di banyak daerah. Ini berarti bahwa kepala daerah, baik yang sedang menjabat maupun yang akan maju dalam Pilkada 2024, memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan bahwa visi dan misi mereka sejalan dengan Asta Cita. Integrasi ini bukan berarti menghapus inisiatif lokal, tetapi justru menempatkan pembangunan daerah dalamkerangka nasional yang saling memperkuat.
Di sinilah pentingnya peran legislatif daerah dan masyarakat sipil. Pembahasan RKPD dan nantinya APBD 2026 tidak boleh menjadi proses tertutup yang hanya melibatkan eksekutif dan segelintir elite. Forum Musrenbang perlu diperkuat bukan hanya sebagai formalitas tahunan, tetapi sebagai ruang demokratisasi perencanaan yang mempertemukan suara warga dengan kebijakan publik. Keterbukaan ini adalah bagian dari upaya
menciptakan pemerintahan yang bersih—yang bertanggung jawab kepada rakyat, bukan hanya kepada atasan birokratis.
Asta Cita juga menekankan digitalisasi pemerintahan. Dalam konteks penyusunan RKPD, ini bisa diterjemahkan sebagai dorongan untuk mempercepat integrasi sistem perencanaan berbasis teknologi informasi. Penggunaan aplikasi e-Planning, e- Musrenbang, dan dashboard pengawasan real-time harus menjadi
bagian dari standar baru tata kelola pembangunan daerah. Ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga mengurangi potensi korupsi anggaran yang sering kali tersembunyi dalam proses manual dan tertutup.
Pemerintah pusat juga memiliki peran penting dalam mendampingi daerah agar sinkronisasi ini berjalan optimal. Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, dan Kementerian PANRB harus menyediakan pedoman, pelatihan teknis, serta mekanisme evaluasi lintas kementerian yang mendorong harmonisasi kebijakan pusat-daerah. Lebih dari itu, hubungan antarpemerintah harus bersifat kolaboratif dan setara—bukan hanya instruktif.
RKPD 2026 adalah tonggak awal pembangunan nasional dalam era pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia akan menjadi cerminan dari seberapa jauh daerah mampu mengartikulasikan visi besar nasional ke dalam konteks lokal. Jangan sampai RKPD menjadi dokumen yang terputus dari semangat perubahan, atau menjadi sekadar daftar belanja proyek tahunan yang tidak menyentuh persoalan strategis masyarakat.
Dalam semangat menuju Indonesia Semesta, dibutuhkan tata kelola pembangunan yang bukan hanya menggunakan teknologi transformasi digital dan artifisial intelegent melainkan juga cerdas secara kebijakan, tetapi juga bersih secara moral dan efisien dalam pelaksanaan pelayanan publik. Daerah adalah ujung tombak dari transformasi ini. Maka, RKPD bukan hanya tanggung jawab teknokrat di kantor perencanaan, tetapi menjadi ruang
refleksi bersama tentang masa depan bangsa.
Pemerintahan yang efisien dan bersih tidak akan lahir dari dokumen yang dibuat terburu-buru dan tanpa visi. Ia lahir dari proses yang deliberatif, berbasis data, terbuka terhadap kritik, dan berakar pada cita-cita kolektif. Asta Cita telah menawarkan peta jalan yang jelas. Tugas kita kini adalah memastikan bahwa jalan itu dibuka lebar, dari pusat hingga ke pelo sok daerah, melalui dokumen RKPD yang visioner, partisipatif, dan penuh integritas
untuk Indonesia Semesta.
Prof. Dr. Ermaya Suradinata, SH, MH, MS, adalah Gubernur Lemhannas RI (2001-2005) dan Direktur Jenderal Sosial Politik, Depdagri RI (1998-2000). Kini menjabat Ketua Dewan Pembina Center for Geopolitics & Geostrategy Studies Indonesia (CGSI).
Add new comment