Menagih Riset Berdampak Ekonomi

WIB
IST

Oleh:

Muhammad Ridwansyah

(Ekonom Universitas Jambi, Ketua Harian Tenaga Ahli Gubernur Jambi)

Di tengah tuntutan pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, peran perguruan tinggi dan lembaga riset menjadi sangat krusial. Keduanya tidak bisa lagi sekadar menjadi tempat menara ilmu pengetahuan tanpa pijakan sosial. Harus ada keberanian untuk merancang dan menjalankan program riset yang berdampak nyata, bukan hanya menghasilkan publikasi, tapi juga kontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Ini bukan soal gelar akademik atau jumlah artikel yang terbit di jurnal bereputasi internasional. Semua itu penting, tapi tidak cukup. Yang lebih penting adalah militansi dalam mengamalkan ilmu pengetahuan, keberanian untuk turun ke masyarakat, dan kesungguhan menjadikan riset sebagai alat untuk memperbaiki hidup banyak orang.

Jika riset tidak diterjemahkan ke dalam kebijakan dan praktik pembangunan, maka ia akan menjadi ‘seperti menimba air di daun talas’—upaya yang tak pernah tertampung dan akhirnya sia-sia.

Maka kritik yang menyebut perguruan tinggi dan lembaga riset “berdiri di menara gading” akan terus relevan. Dalam ungkapan Melayu, ada pepatah yang berbunyi:

“Bagai padi di ladang, tidak dimakan burung, tidak jadi beras”
Artinya, ilmu yang tinggi, jika tak memberi manfaat, tak akan mengenyangkan rakyat.

Riset: Investasi atau Pengeluaran?

Teori ekonomi modern mendukung pandangan bahwa riset bukan sekadar pelengkap. Solow-Swan Model (1956) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi jangka panjang bergantung pada kemajuan teknologi, namun menganggapnya bersifat eksogen. Paul Romer kemudian menyempurnakannya melalui Romer Model (1986, 1990), dengan menekankan bahwa teknologi dan ide adalah hasil dari investasi dalam pengetahuan, riset, dan sumber daya manusia.

Menurut Romer, satu-satunya bentuk investasi yang tidak mengalami diminishing return adalah investasi dalam kapasitas intelektual manusia. Tanpa itu, ekonomi hanya akan tumbuh menuju steady-state, tanpa lompatan produktivitas.

Empat Pertanyaan Penting tentang Riset sebagai Investasi

  1. Bagaimana menjadikan riset sebagai investasi, bukan pengeluaran?
    Pemerintah dan pemangku kepentingan perlu mereformasi tata kelola anggaran. Riset seharusnya dipandang sebagai capital formation, bukan operating expense. Perlu ada insentif fiskal, perlakuan akuntansi yang mendukung, dan audit berbasis dampak pengetahuan, bukan sekadar fisik.
  2. Mengapa industri enggan mendanai riset?
    Karena belum terbentuk ekosistem kepercayaan. Industri menilai riset perguruan tinggi tidak relevan, sementara kampus kekurangan dana untuk menghasilkan riset berkualitas. Padahal, kebutuhan industri masa depan menuntut riset strategis berskala besar—bukan riset jangka pendek berbasis hibah tahunan.
  3. Apa alternatif pendanaan di luar APBN?
    Banyak negara mengembangkan university endowment, corporate research fund, dan kolaborasi internasional. Model Public-Private-Academic Partnership (PPAP) bisa menjadi skema inovatif, termasuk membuka peluang social impact investment untuk riset berbasis kesejahteraan sosial.
  4. Apa kata IMF tentang riset dan produktivitas?
    IMF menegaskan bahwa riset dasar memiliki dampak jangka panjang yang lebih besar terhadap pertumbuhan ekonomi, terutama melalui peningkatan produktivitas lintas sektor. Sementara riset terapan cenderung berdampak lebih kecil dalam jangka panjang. Sayangnya, di Indonesia, kebanyakan pendanaan masih diarahkan pada riset jangka pendek dan pragmatis.

Kaitannya dengan Pembangunan Daerah: Studi Kasus Provinsi Jambi

Masalah ini menjadi semakin penting dalam konteks pembangunan daerah. Masih banyak perencana di daerah yang tidak percaya diri menetapkan target pertumbuhan ekonomi tinggi, karena terjebak pola pikir business as usual. Padahal, Presiden Prabowo telah mencanangkan target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%—yang hanya bisa tercapai bila daerah mengubah cara pandang dan strategi ekonominya.

Ambil contoh Provinsi Jambi. Struktur ekonominya masih sangat bergantung pada sektor sumber daya alam (SDA), dengan kontribusi pertanian sebesar 33,35% dan pertambangan 13,14% terhadap PDRB. Ketergantungan ini menjadikan ekonomi Jambi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas dan perubahan iklim.

Transformasi ekonomi Jambi ke arah yang lebih tangguh memerlukan riset dasar dan terapan. Misalnya, untuk mengembangkan sektor pariwisata budaya dan ekowisata seperti kawasan Candi Muaro Jambi, dibutuhkan riset dasar untuk memahami nilai historis dan ekologisnya, dan riset terapan untuk merancang model bisnis dan infrastruktur penunjangnya. Tanpa itu, upaya diversifikasi ekonomi hanya akan menjadi slogan.

Riset sebagai Fondasi Masa Depan

Sudah waktunya kita berhenti melihat riset sebagai “biaya akademik” dan mulai memosisikannya sebagai pondasi produktivitas dan kemajuan sosial. Perguruan tinggi dan lembaga riset harus turun dari menara gading dan menjadi bagian dari solusi nyata.

Seperti kata Paul Romer:

“Ideas are the recipes we use to rearrange things to create more value.”
Maka, bangsa dan daerah yang ingin maju harus menciptakan resepnya sendiri—dengan bahan utama: investasi pada manusia dan riset yang berdampak.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.