KUALA LUMPUR — Gelak tawa itu pecah di tengah hiruk-pikuk Jalan Bukit Bintang, Ahad siang, 21 Desember 2025. Matahari Kuala Lumpur sedang terik-teriknya, namun di depan gerai kecil bertuliskan Al Amar Express, antrean justru mengular. Di sana, saya dan anak-anak (Almer, Arkan, Aslan, Almeera) berdiri, menanti giliran untuk "dikerjai".
Ini adalah liburan yang sudah direncanakan jauh-jauh hari. Sebuah pelarian sejenak dari rutinitas, membawa keluarga melintas selat menuju Malaysia. Namun, agenda utama hari ini bukan sekadar melihat Menara Kembar Petronas, melainkan menjajal nyali menghadapi penjual es krim paling viral di Kuala Lumpur, Al Amar.
Kedai ini bukan sekadar penjual pencuci mulut. Terletak di jantung distrik perbelanjaan Bukit Bintang—kawasan yang tak pernah tidur di KL—Al Amar Express menjajakan Dondurma, es krim khas Turki yang teksturnya liat dan padat karena berbahan dasar susu kambing dan getah pohon (mastik). Tekstur inilah yang memungkinkan atraksi itu terjadi.
Begitu giliran anak-anak tiba, "pertunjukan" dimulai.
Si penjual, memegang tongkat besi panjang. Di ujungnya, segumpal es krim putih menempel erat. Ia menyodorkan “cone” berisi es krim itu ke tangan si kecil.
Anak-anak sigap menyambut. Namun, hop!
Dalam sepersekian detik, “cone” itu melayang, hanya menyisakan tisu kosong di tangan mereka. Tawa penonton meledak. Si penjual memasang wajah datar, seolah tak berdosa, lalu memutar tongkat besinya dengan kecepatan tinggi, membunyikan lonceng kecil yang memekakkan telinga. Ting! Ting!
Aturannya sederhana namun mustahil, siapa yang bisa menangkap es krim itu sebelum ditarik kembali, boleh membawanya pulang gratis. Anak-anak saya, dengan mata berbinar penasaran, mencoba segala cara. Tangan-tangan mungil itu menyambar ke kiri, ke kanan, mencoba menebak arah gerakan si penjual.
Namun, pengalaman memang tak bisa bohong. Tangan si "Abang Turki" terlalu licin. Ia memutar es krim melewati punggung, menempelkannya di hidung pembeli, lalu menariknya lagi tepat saat jari-jari pembeli nyaris menyentuh “wafer”. Gerakannya presisi, hasil dari ribuan jam jam terbang menghadapi turis dari berbagai negara.
Tak ada satu pun pembeli hari itu, termasuk anak-anak saya, yang berhasil menangkap es krim gratis. Kecepatan tangan penjual itu mutlak.
Tapi kekalahan itu tidak menyisakan kecewa. Ketika akhirnya gumpalan es krim rasa vanila dan cokelat itu benar-benar diserahkan ke tangan, rasanya sepadan. Dingin, manis, dan sedikit kenyal. Sebuah "piala" manis setelah lelah dipermainkan di bawah terik matahari Bukit Bintang.
Di Al Amar Express, kita tidak hanya membayar untuk rasa, tapi untuk seni ditertawakan—dan ikut tertawa karenanya.(*)
Amalia Gustina
Add new comment