Dua nahkoda kapal tugboat yang diduga lalai hingga menyebabkan tabrakan kapal tongkang di Jembatan Aurduri I, Jambi, telah dilimpahkan ke Kejaksaan. Kasus ini menyoroti celah dalam pengawasan pelayaran di Jambi yang perlu segera diperbaiki.
Penyidikan terhadap kasus tabrakan kapal tongkang bermuatan batubara di Jembatan Aurduri I, Kota Jambi, semakin mendalam. Dua nahkoda kapal tugboat yang diduga bertanggung jawab atas insiden ini telah dilimpahkan oleh Penyidik Subdit Gakkum Ditpolairud Polda Jambi ke Kejaksaan. Namun, di balik proses hukum yang berjalan, pertanyaan besar muncul mengenai pengawasan dan regulasi pelayaran yang tampaknya longgar di wilayah Jambi.
Insiden yang terjadi pada Mei 2024 ini bukanlah yang pertama. Setidaknya tiga kejadian serupa terjadi dalam waktu yang berdekatan, menunjukkan adanya masalah sistemik dalam pengawasan jalur pelayaran. Pada 5 Mei, sebuah tongkang batubara menabrak Jembatan Muara Tembesi di Desa Pelayangan, Batanghari. Kurang dari dua minggu kemudian, dua insiden lainnya menyusul di Jembatan Aurduri I. Kapal tugboat yang menarik tongkang dengan muatan berat diduga lalai, menyebabkan kerusakan signifikan pada infrastruktur vital tersebut.
Kasubdit Gakkum Ditpolairud Polda Jambi, AKBP Wahyu Hidayat, mengonfirmasi bahwa dua dari tiga tersangka telah dilimpahkan ke Kejaksaan. Sementara satu tersangka lainnya masih menunggu kelengkapan berkas untuk diproses lebih lanjut.
"Iya, dua orang tersangka sudah kami limpahkan ke Jaksa," ujarnya singkat.
Namun, penyelesaian kasus ini tidak semata-mata menghentikan kerusakan yang telah terjadi. Ada pertanyaan yang lebih besar mengenai bagaimana pelanggaran regulasi seperti ini bisa terjadi berulang kali. Kedua nahkoda yang telah dilimpahkan ke Kejaksaan diketahui berlayar tanpa surat persetujuan berlayar (SPB), yang seharusnya menjadi dokumen wajib sebelum melakukan perjalanan. Ini menimbulkan kekhawatiran tentang sejauh mana pengawasan dan penegakan hukum sebenarnya dilakukan di jalur-jalur pelayaran batubara di Jambi.
Kerusakan pada Jembatan Aurduri I tidak hanya menyebabkan kerugian materil, tetapi juga membahayakan keamanan publik dan menimbulkan risiko besar bagi infrastruktur yang seharusnya dilindungi dengan ketat. Kegagalan dalam pengawasan ini juga memperlihatkan adanya celah dalam sistem yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.
Dengan proses hukum yang sedang berjalan, perhatian publik kini tertuju pada bagaimana Kejaksaan dan pengadilan akan menangani kasus ini. Jika ditemukan kesalahan fatal dalam pengawasan dan izin pelayaran, tuntutan hukuman berat menjadi opsi yang harus dipertimbangkan untuk memberikan efek jera. Kasus ini bisa menjadi titik balik dalam penegakan regulasi pelayaran di Jambi, atau sebaliknya, bisa menjadi bukti nyata bahwa sistem yang ada masih jauh dari sempurna.
Proses hukum terhadap para nahkoda yang diduga lalai ini akan menjadi ujian bagi integritas penegakan hukum di sektor pelayaran. Dengan kerusakan infrastruktur yang terjadi, masyarakat menuntut keadilan tidak hanya bagi pelaku, tetapi juga perbaikan sistemik yang lebih besar agar insiden serupa tidak terulang di masa depan.(*)
Add new comment