Dr. Jafar Ahmad, S.Ag., M.Si.
Dosen IAIN Kerinci
Politisi dan ilmuwan politik adalah dua sisi yang berbeda dalam dunia kekuasaan. Politisi bergerak untuk meraih kekuasaan, memperjuangkan pengaruh, dan memajukan agenda politik mereka. Di sisi lain, ilmuwan politik berada pada posisi yang lebih tenang—mengamati, menganalisis, dan berusaha menemukan cara agar kekuasaan itu tetap terkendali dan tidak menindas. Perbedaan pandangan ini menciptakan jurang besar di antara keduanya, namun ada kebutuhan yang mendesak untuk mencari jalan tengah di antara kutub ini.
Hannah Arendt dalam bukunya The Human Condition (1958) menegaskan bahwa kekuasaan yang tidak dibatasi bisa membawa kehancuran. Menurut Arendt, kekuasaan hanya bisa bertahan dengan keterbukaan terhadap partisipasi dan kritik. Politisi yang hanya terfokus pada kekuasaan, tanpa mendengarkan pihak yang kritis, berpotensi terjebak dalam tindakan sewenang-wenang. Bagi Arendt, ilmuwan politik dan akademisi memainkan peran penting sebagai pengawas dan penjaga integritas kekuasaan, memastikan kekuasaan tetap di jalurnya dan tidak menyimpang.
Max Weber, melalui esainya yang terkenal Politics as a Vocation (1919), menggambarkan dilema yang dihadapi ilmuwan politik saat mencoba memasuki dunia politik praktis. Weber memperkenalkan konsep “ethic of responsibility” (etika tanggung jawab) dan “ethic of conviction” (etika keyakinan). Politisi sering kali beroperasi berdasarkan keyakinan pribadi atau pandangan subjektif yang kuat, sedangkan ilmuwan politik menjaga jarak dengan tujuan untuk tetap objektif. Namun, menurut Weber, dalam realitas politik, sulit bagi ilmuwan untuk mempertahankan netralitas ketika berhadapan dengan politik praktis yang menuntut kompromi dan keputusan cepat.
Robert Dahl, dalam karyanya yang berpengaruh Polyarchy (1971), juga mengingatkan bahwa kekuasaan haruslah dibatasi oleh sistem pengawasan yang kuat. Dalam pandangannya, demokrasi yang sehat adalah demokrasi yang mengutamakan kontrol dan keseimbangan kekuasaan. Sistem semacam ini membutuhkan peran ilmuwan politik yang mampu mengkritisi kebijakan dan memperingatkan ketika kekuasaan mulai berpotensi menyimpang. Dahl percaya bahwa kekuasaan yang tidak diawasi akan cepat beralih menjadi otoriter atau absolut.
Lebih lanjut, Joseph Nye dalam artikelnya tentang “soft power” (1990) menunjukkan perbedaan pendekatan antara politisi dan ilmuwan politik dalam memandang kekuasaan. Nye menjelaskan bahwa politisi lebih sering menggunakan “hard power” atau kekuatan langsung untuk menguasai, sedangkan ilmuwan politik cenderung mendorong pendekatan “soft power” yang lebih lembut, yaitu pengaruh tanpa paksaan. Nye mengingatkan bahwa “hard power” yang tidak terkendali bisa merusak, dan oleh karenanya, politisi perlu mendengarkan perspektif ilmuwan politik yang menawarkan pendekatan yang lebih bertanggung jawab dan etis.
Namun, tantangannya adalah bagaimana kedua peran ini dapat bekerja sama. Di dunia nyata, politisi yang tidak memahami pentingnya kontrol akan enggan menerima kritik dari ilmuwan politik. Begitu juga ilmuwan politik yang belum mengenal tantangan dunia politik praktis mungkin kesulitan berkompromi dan menyesuaikan diri. Keduanya saling membutuhkan, namun sering kali saling mencurigai.
Inilah yang memunculkan kebutuhan akan jalan tengah: politisi dan ilmuwan politik harus mencari cara untuk saling menghargai peran masing-masing. Politisi yang bijaksana tidak akan melihat kritik sebagai ancaman, melainkan sebagai cermin yang memperbaiki diri. Ilmuwan politik juga perlu memahami kompleksitas dunia politik yang tidak selalu bisa didekati dengan teori semata. Kombinasi ini—kekuasaan yang terbuka terhadap kritik dan saran, serta ilmuwan yang bersedia terlibat dalam dunia nyata—akan menciptakan politik yang lebih sehat.
Sebagai pengingat, ungkapan Lord Acton dari abad ke-19, “power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” adalah peringatan keras terhadap sifat kekuasaan yang mudah tergelincir ke arah penyalahgunaan. Hanya dengan kritik yang sehat dan pengawasan ketat, kekuasaan bisa tetap terkendali dan terhindar dari keseweanng-wenangan.
Jalan tengah ini menjadi semakin penting di era modern, di mana keterbukaan dan transparansi menjadi nilai utama dalam pemerintahan. Mari kita belajar dari para pemikir besar ini—bahwa politik yang ideal adalah politik yang menerima kritik, dan ilmuwan politik yang ideal adalah mereka yang mampu terlibat dengan realitas politik. Ketika keduanya berjalan seiring, kekuasaan tidak hanya kuat tetapi juga bijaksana, memastikan kesejahteraan bersama tanpa terjebak dalam kekuasaan yang absolut dan korup.(*)
Comments
Pembaca
Tulisan yg bernas, kaya teori namun mampu beradaptasi dg kenyataan pragmatis dalam dunia politik praktis
Add new comment