MUARATEBO – Sidang tuntutan terhadap Nazori, terdakwa pembunuhan gajah Sumatera bernama Umi, mengungkap betapa rapuhnya perlindungan terhadap satwa dilindungi di Indonesia. Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Tebo, Kamis (21/11/2024), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Nazori dengan hukuman dua tahun penjara dan denda Rp 50 juta, subsider tiga bulan kurungan.
Kasi Intelijen Kejaksaan Negeri Tebo, Febrow Soeseno, menegaskan bahwa terdakwa terbukti melanggar Pasal 21 ayat (2) huruf a juncto Pasal 40 ayat (2) UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
"Terdakwa secara sadar dan sengaja melakukan tindak pidana terhadap satwa yang dilindungi. Hukuman ini harus menjadi peringatan keras bagi siapa pun," tegas Febrow.
Kasus ini bermula ketika bangkai gajah betina ditemukan di Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, pada 2 Mei 2024. Bangkai itu ditemukan di kawasan konsesi PT Lestari Asri Jaya (LAJ), tergeletak di dekat batang sawit dengan luka serius di bagian kepala. Pihak Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi yang melakukan pemeriksaan memastikan bahwa gajah tersebut mati akibat tindakan kekerasan.
"Gajah Umi adalah simbol konflik panjang antara manusia dan habitat satwa liar. Koridor gajah yang seharusnya menjadi jalur aman justru telah beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit," ujar seorang petugas BKSDA.
Penemuan alat pelacak GPS yang masih aktif di tubuh gajah Umi menjadi salah satu bukti kuat dalam investigasi. Alat ini dipasang oleh BKSDA untuk memantau pergerakan gajah di habitatnya. Keberadaan GPS tersebut membantu tim mengidentifikasi gajah Umi dan mengungkap kronologi kejadian.
Meskipun terdakwa dituntut dua tahun penjara, sejumlah aktivis lingkungan menilai tuntutan ini tidak cukup tegas. Mereka menilai hukuman ini tidak sebanding dengan dampak ekologis yang ditimbulkan akibat kematian gajah Sumatera, yang populasinya terus menurun secara signifikan.
"Hukuman ini terlalu ringan. Pembunuhan satwa dilindungi seperti gajah seharusnya dihukum maksimal untuk memberikan efek jera," kata seorang aktivis konservasi.
Kasus ini menyoroti lemahnya upaya perlindungan terhadap satwa liar di Indonesia, khususnya gajah Sumatera, yang kini berada di ambang kepunahan.
"Ini adalah tragedi konservasi. Gajah Sumatera bukan hanya simbol biodiversitas Indonesia, tetapi juga bagian dari ekosistem yang harus dilestarikan," ujar Febrow.
Sidang berikutnya akan mendengarkan pembelaan dari pihak terdakwa sebelum majelis hakim memberikan putusan final. Hukuman yang dijatuhkan nantinya diharapkan dapat memberikan keadilan, tidak hanya bagi masyarakat, tetapi juga bagi kelangsungan satwa dilindungi.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa konflik antara manusia dan satwa liar masih menjadi persoalan besar di Indonesia. Jika tidak ada tindakan nyata, masa depan gajah Sumatera akan semakin suram.(*)
Add new comment