Pilkada serentak yang tengah berlangsung di berbagai daerah di Indonesia menampilkan fenomena menarik yang patut dicermati: kotak kosong atau borong partai.
Fenomena ini terlihat pada Pilgub Jambi dengan pasangan Haris-Sani untuk Pilgub, Pilwako Jambi oleh Maulana, Batanghari oleh Fadhil Arief, Tebo oleh Aspan, Merangin oleh M Syukur, Bungo oleh Jumiwan Aguza, dan Tanjab Barat oleh Ustadz Anwar Syadat. Apa yang menyebabkan kecenderungan ini dan bagaimana dampaknya terhadap demokrasi lokal kita?
Dominasi Tanpa Lawan: Fenomena Kotak Kosong
Kotak kosong terjadi ketika hanya ada satu pasangan calon yang maju, sehingga pilihan pemilih terbatas pada pasangan tersebut atau kotak kosong. Dominasi ini bisa terjadi karena beberapa faktor utama. Kekuatan incumbent atau petahana merupakan salah satu faktor penting.
Mereka memiliki akses ke sumber daya yang besar, jaringan politik yang kuat, dan popularitas yang sudah terbangun selama masa jabatan. Dengan sumber daya tersebut, mereka mampu menguasai arena politik dan membuat calon lain kesulitan bersaing. Memang di beberapa daerah yang disebutkan di atas upaya memborong partai ini cenderung terlihat pada kandidat petahana, meskipun di beberapa daerah, calon yang relatif barupun ada upaya untuk melakukan itu.
Konsolidasi partai juga memainkan peran besar. Sebagian partai di Indonesia tidak disokong oleh kekuatan finansial dari para anggota. Kekuatan partai lebih didominiasi oleh sekelompok kecil elit di dalam tubuh partai saja. Sehingga, dalam menentukan pilihannya, kadang partai tidak mempertimbangkan kandidat dari internal, sebab loyalitas kandidiat dalam partai-partai di Indonesia belum terlihat soliditas yang tinggi.
Lain halnya seperti di Amerika. Sekali orang memilih partai Republik, kemungkinan selamanya akan Republik. Begitupun sebaliknya, sekali masuk ke partai Demokrat, kemungkinan selamanya akan di Demokrat. Ekosistem partai di Amerika memang begitu.
Sebaliknya di Indonesia tidak begitu. Partai cenderung dikuasai oleh sebagian elit, atau bahkan hanya satu elit yang berkuasa maksimal di atas semua entitas partainya yang lain. Dalam konteks ini, partai-partai politik (baca:pemilik partai) seringkali lebih memilih mendukung calon yang memiliki peluang besar untuk menang guna menghindari konflik internal dan memastikan kemenangan. Konsolidasi ini membuat calon tunggal menjadi lebih umum.
Selain itu, minimnya figur alternatif yang kredibel dan menarik di mata pemilih juga berkontribusi terhadap fenomena kotak kosong. Kurangnya kaderisasi yang baik di partai politik atau ketidakmauan tokoh-tokoh potensial untuk maju membuat pilihan pemilih menjadi terbatas.
Analisis Kontestasi dengan Teori Modal Bourdieu
Fenomena kotak kosong ini dapat dianalisis lebih dalam menggunakan teori modal dari Pierre Bourdieu. Bourdieu mengidentifikasi beberapa bentuk modal yang memengaruhi posisi dan kekuatan aktor dalam kontestasi politik: modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik.
Incumbent atau calon yang kuat biasanya memiliki akses yang lebih besar ke sumber daya ekonomi. Ini mencakup dana kampanye yang besar, dukungan dari pengusaha lokal, dan kemampuan untuk menyediakan insentif bagi partai pengusung. Penting bagi partai untuk mengoleksi dana dari kesempatan ini, sebab partai tidak dibiayai secara profesional oleh para anggota atau pendukung mereka.
Jaringan politik yang luas dan kuat adalah bentuk modal sosial yang penting. Dukungan dari partai-partai besar, tokoh masyarakat, dan jaringan birokrasi memberikan keuntungan besar bagi calon tertentu. Hal ini membuat calon lain sulit untuk masuk dan bersaing.
Popularitas dan reputasi yang dibangun melalui prestasi dan citra positif juga memainkan peran penting. Incumbent atau calon lain yang populer sering kali memiliki modal budaya yang tinggi karena mereka sudah dikenal dan memiliki rekam jejak yang dapat diandalkan oleh pemilih.
Pengakuan dan legitimasi dari masyarakat serta partai politik lainnya merupakan modal simbolik yang memperkuat posisi calon. Calon yang didukung oleh banyak partai sering kali dilihat sebagai pilihan yang tepat dan berpotensi lebih unggul.
Dalam kontestasi politik, calon dengan kombinasi modal yang kuat cenderung mendominasi dan mengurangi ruang bagi calon lain untuk bersaing. Fenomena kotak kosong dan borong partai mencerminkan bagaimana modal-modal ini terkonsentrasi pada beberapa calon tertentu, menciptakan ketidakseimbangan dalam kompetisi politik.
Pilkada serentak yang akan kita jalani November nanti, saat ini menjadi cermin dari dinamika politik lokal yang kompleks. Mari kita bekerja sama untuk memastikan bahwa proses demokrasi ini berjalan dengan baik dan membawa manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Semoga!
Add new comment