Suara langkah kaki petugas terdengar serentak di Desa Muara Siau, Rabu, 31 Juli 2024. Mereka bergerak cepat menuju titik api yang terdeteksi oleh BMKG Jambi. Pada pukul 14.00 WIB, Unit Tipidter Sat Reskrim Polres Merangin bersama Kapolsek Muara Siau dan anggotanya tiba di lokasi. Meski api sudah padam, aroma hangus masih menyengat, mengisyaratkan kerusakan yang baru saja terjadi.
Di balik lanskap yang hening, terselip cerita tentang pembakaran yang dilakukan dengan sengaja. Ibu rumah tangga berinisial AI, berusia 38 tahun, menjadi tokoh utama dalam kasus ini. Dengan wajah yang mencerminkan penyesalan, AI mengakui kesalahannya. Di depan penyidik, ia menceritakan alasan di balik aksinya, sebuah keputusan yang kini harus dipertanggungjawabkan di hadapan hukum.
Lokasi kejadian yang dulunya hijau kini berubah menjadi hamparan abu. Barang bukti yang ditemukan berupa alat-alat sederhana untuk menyalakan api. Kesaksian AI membuka tabir tentang bagaimana lahan itu dibakar, menambah panjang deretan kasus kebakaran hutan di Indonesia yang kian mengkhawatirkan.
Unit Tipidter Sat Reskrim Polres Merangin bersama Kapolsek Muara Siau terus mengusut tuntas kepemilikan lahan yang terbakar. Di balik pengakuan AI, terselip pertanyaan yang lebih besar: apakah ada pihak lain yang terlibat? Kecurigaan ini bukan tanpa alasan. Seringkali, individu seperti AI hanyalah bagian kecil dari jaringan yang lebih luas dalam kasus pembakaran hutan dan lahan.
Di Aula Polres Merangin, Jumat siang, AKBP Ruri Roberto berdiri dengan tegap di depan awak media. Sorot matanya tegas, mencerminkan komitmen kuat untuk menegakkan hukum. "Kami tidak akan segan-segan menindak pelaku pembakaran hutan dan lahan di wilayah Kabupaten Merangin," ujarnya, menegaskan sikap tanpa kompromi terhadap pelaku pembakaran.
Dalam pernyataannya, Kapolres mengingatkan bahaya pembukaan lahan dengan cara dibakar, terutama di musim kemarau. Selain mengancam ekosistem, tindakan ini juga menimbulkan risiko kesehatan yang serius bagi masyarakat sekitar akibat polusi udara.
AI kini menghadapi ancaman Pasal 108 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan juncto Pasal 187 KUHP atau Pasal 188 KUHP. Ancaman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar menjadi bayangan suram yang menghantui. Hukuman berat ini diharapkan menjadi pelajaran bagi masyarakat untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Namun, di balik hukuman ini, ada refleksi yang lebih dalam tentang bagaimana masyarakat memandang dan memperlakukan lingkungan. Edukasi dan kesadaran kolektif menjadi kunci untuk mencegah kejadian serupa di masa depan. "Kami menghimbau kepada seluruh masyarakat Merangin untuk tidak melakukan kegiatan membuka lahan dengan cara dibakar," tambah Kapolres Ruri Roberto, seraya berharap agar masyarakat lebih bijak dalam mengelola sumber daya alam.
Penanganan kasus AI bukan sekadar upaya penegakan hukum. Ini adalah cerminan dari usaha lebih besar untuk melindungi lingkungan dan mewariskannya dalam keadaan baik kepada generasi mendatang. Melalui penindakan tegas, aparat berharap bisa memutus mata rantai kebakaran hutan yang selama ini menjadi momok bagi negeri ini.
Pemerintah dan masyarakat perlu bergandeng tangan, memastikan bahwa kebakaran hutan tidak lagi menjadi berita rutin, tetapi sejarah yang patut dikenang sebagai bagian dari pembelajaran kolektif. Dalam keberanian untuk berubah, terletak harapan untuk masa depan yang lebih hijau dan lestari.(*)
Add new comment