Oleh Hermanto – Wartawan senior
Di Yogyakarta, tanah tak hanya diukur dalam meter persegi. Ia juga diukur oleh silsilah, oleh nama keluarga, oleh sesuatu yang tak tertulis di atas sertifikat tapi terasa di meja pengurusan hak milik. Di kota ini, nama bisa lebih menentukan daripada niat. Darah lebih menentukan daripada surat.
Di pinggiran Sleman yang makin berkembang, papan-papan penanda kavling berdiri di antara tanah merah yang baru diratakan. Tulisan besar “Siap SHM” menjanjikan status hukum yang pasti. Tapi janji itu bisa buyar hanya karena satu hal: nama pembelinya.
Sejak 1975, Yogyakarta menjalankan sebuah kebijakan yang tidak tercatat dalam Undang-Undang Agraria nasional, tapi dipegang teguh oleh birokrasi daerah: hanya mereka yang dianggap “pribumi” yang dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Yang disebut “non-pribumi”—meski warga negara Indonesia penuh, lahir dan besar di kota ini—sering kali tak bisa mengubah status tanah dari HGB menjadi SHM. Tidak ditolak secara hukum, tapi ditahan secara diam-diam.
Alasannya, Yogyakarta ingin menjaga tanahnya. Kota ini belajar dari tempat-tempat lain di Indonesia yang tanahnya lepas satu per satu ke tangan yang lebih kuat—bukan selalu asing, tapi sering dari luar, dengan modal dan rencana yang sulit ditolak.
⸻
Kekhawatiran itu tidak tak berdasar. Di berbagai daerah wisata seperti Bali, Lombok, atau Labuan Bajo, tekanan pariwisata dan investasi kadang datang seperti gelombang yang tak bisa dibendung. Lahan-lahan yang dulunya ladang atau halaman rumah kini menjadi penginapan dan vila. Sebagian dikelola warga lokal dengan semangat mandiri, sebagian lainnya berpindah tangan karena tekanan harga atau kebutuhan hidup.
Yogyakarta ingin menghindari nasib serupa. Kota ini ingin warganya tetap bisa tinggal, memiliki, dan meneruskan warisan. Karena itu, pembatasan terhadap siapa yang boleh memiliki tanah dianggap sebagai langkah perlindungan. Tapi, jika perlindungan itu berwujud diskriminasi, maka ia perlu ditinjau ulang.
Ada warga negara yang lahir dan tumbuh di Yogyakarta, yang berbahasa Jawa, bersekolah di sekolah negeri, membayar pajak, bahkan menjadi guru dan pegawai. Tapi ketika mengurus status tanah, ia ditolak karena dianggap tidak “berasal dari sini.” Tak ada penjelasan hukum, hanya isyarat dalam senyuman petugas dan pengalihan prosedur.
Ombudsman RI pada 2020 menyebut praktik ini sebagai bentuk maladministrasi. Tapi sampai hari ini, belum ada koreksi. Pemerintah pusat pun tampak enggan menyentuh kebijakan ini, mungkin karena menghormati status keistimewaan Yogyakarta dalam bingkai budaya dan sejarahnya sendiri.
⸻
Yogyakarta memang punya hak untuk menjaga tanahnya. Tanah bukan sekadar aset, tapi ruang hidup, simbol identitas, dan warisan leluhur. Tapi ketika akses terhadapnya ditentukan oleh garis darah atau nama belakang, kita sedang membangun pagar yang tak terlihat—batas tak kasat mata antara siapa yang boleh dan siapa yang tidak.
Tidak semua orang yang ditolak adalah spekulan. Tidak semua yang ditahan haknya datang untuk menguasai. Banyak dari mereka adalah bagian dari kota ini—yang mencintai, membangun, dan memilih Yogyakarta sebagai rumah. Dan cinta pada kota tak bisa diukur dari marga.
Kita bisa melindungi tanah tanpa menyingkirkan warga. Kita bisa menjaga agar tanah tidak dijual ke pasar tanpa membatasi hak konstitusional anak bangsa. Yang dibutuhkan adalah kebijakan agraria yang adil, bukan seleksi etnis yang samar.
⸻
Yogyakarta tetap bisa menjadi kota yang istimewa. Tapi keistimewaan sejati adalah ketika ia menjadi ruang yang adil dan terbuka, bukan hanya untuk mereka yang terlahir dalam garis silsilah yang disahkan oleh sejarah, tapi juga untuk mereka yang terlahir dari cinta dan pengabdian kepada tanah ini.
Sebab batas yang tak kasat mata kadang lebih menyakitkan daripada tembok yang nyata.
Add new comment