Berpolitiklah, tapi Jangan Ganggu Guru!

WIB
IST

Mumpung baru selesai Pilkada, tulisan ini tidak akan dibaca secara politik. Politik sudah selesai setelah pencoblosan 27 November lalu. Biarlah sistem Pilkada yang akan berjalan selanjutnya. Kita? Kembali ke kehidupan biasa. Ngaji politik kali ini akan mendiskusikan nasib para guru di bidang politik.

Guru tetaplah manusia biasa. Meskipun ada beberapa pengecualian, sebagian kecil guru itu memang ada yang luar biasa. Mereka mungkin sedikit di atas rata-rata manusia dan barangkali sedikit di bawah malaikat. Jumlah mereka yang luar biasa itu dugaan saya 2-5% saja. Selebihnya 95-98% adalah guru-guru biasa, seperti kita pada umumnya. Kali ini kita tidak sedang bicara soal mereka yang luar biasa itu. Kita akan bicara tentang mayoritas, guru-guru yang manusia biasa. Jumlahnya banyak sekali. Guru yang manusia biasa ini punya kebutuhan, ambisi, dan kepentingan. Mereka dipengaruhi oleh keluarga, komunitas, etnis, dan tentu saja kebutuhan ekonomi.

Sebagai manusia biasa, mereka peduli pada kesejahteraan, peduli pada karier, peduli pada kekuasaan, bahkan pada prestise. Wajar saja. Memang begitulah manusia. Tetapi di sisi lain, ada manusia lain yang juga membutuhkan mereka—kepala daerah. Kepala daerah, sebagai manusia biasa juga, tentu membutuhkan dukungan untuk mempertahankan kekuasaan. Relasi antara keduanya tidak lepas dari sifat dasar manusia: saling bergantung.

Hubungan antara kepala daerah dan guru ini sering kali mencerminkan relasi kuasa. Selama otoritas kepala daerah memenuhi kepentingan guru, hubungan ini berjalan lancar. Namun, ketika kebutuhan kepala daerah meningkat, misalnya saat pilkada, hubungan yang semula saling bergantung sering berubah menjadi ketergantungan sepihak. Guru menjadi pihak yang lebih membutuhkan. Kepala daerah, dengan segala kewenangannya, menjadi pihak yang diandalkan.

Relasi Kuasa: Guru dan Kepala Daerah

Dalam teori patronase politik, hubungan seperti ini disebut hubungan patron-klien. Kepala daerah, sebagai patron, menawarkan sumber daya berupa promosi jabatan, stabilitas karier, atau insentif. Guru, sebagai klien, memberikan dukungan politik, langsung maupun tidak langsung. Hubungan ini sering kali tampak simbiosis, tetapi dalam praktiknya, guru lebih sering menjadi subordinat.

Teori kekuasaan Michel Foucault menjelaskan bahwa kekuasaan tidak hanya menekan, tetapi juga membentuk perilaku. Kepala daerah menggunakan kekuasaannya untuk mengarahkan perilaku guru melalui kebijakan pendidikan. Dalam konteks ini, kepala daerah memiliki kendali penuh atas promosi, mutasi, dan jabatan strategis seperti kepala sekolah. Guru pun kehilangan kebebasannya sebagai pendidik karena berada di bawah kendali otoritas politik.

Ketika pilkada tiba, hubungan ini menjadi lebih pragmatis. Guru yang dianggap loyal kepada kandidat tertentu sering kali mendapatkan keuntungan berupa promosi atau fasilitas. Sebaliknya, mereka yang memilih netral atau berbeda pandangan berisiko dimutasi atau bahkan terpinggirkan. Anda bisa menebak apa yang terjadi pasca pilkada: banyak kepala sekolah baru diangkat bukan karena kompetensi, tetapi karena kedekatan politik.

Otonomi Daerah dan Pendidikan

Otonomi daerah seharusnya menjadi solusi. Gagasan Prof. Ryaas Rasyid tentang desentralisasi bertujuan agar kepala daerah lebih dekat dengan rakyatnya, lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, termasuk sektor pendidikan. Tetapi, apakah otonomi ini benar-benar meningkatkan mutu pendidikan?

Dalam praktiknya, otonomi daerah justru membuka celah untuk politisasi pendidikan. Kepala daerah memegang kendali penuh atas kebijakan pendidikan, termasuk pengangkatan kepala sekolah dan mutasi guru. Akibatnya, keputusan-keputusan strategis sering kali didasarkan pada kalkulasi politik, bukan profesionalisme.

Menurut teori sistem politik David Easton, pendidikan adalah salah satu subsistem dalam masyarakat yang menerima input dari sistem politik. Ketika input berupa kepentingan politik lebih dominan, output berupa kebijakan pendidikan sering kali menjadi terdistorsi. Mutasi dan promosi guru, yang seharusnya berbasis kompetensi, berubah menjadi alat untuk memperkuat kekuasaan kepala daerah.

Apa Akibatnya?

Ketika pendidikan menjadi alat politik, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru, tetapi juga oleh generasi penerus. Guru kehilangan otonomi mereka sebagai pendidik. Jabatan-jabatan strategis di sekolah diisi oleh individu-individu yang tidak selalu kompeten. Siswa, yang seharusnya menjadi fokus utama pendidikan, menjadi korban.

Dalam jangka panjang, dampak ini merusak kualitas pendidikan secara keseluruhan. Teori human capital menegaskan bahwa pendidikan adalah investasi untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul. Ketika sektor pendidikan terganggu oleh kepentingan politik, hasilnya adalah generasi yang kehilangan peluang untuk berkembang maksimal.

Kesimpulan: Jangan Ganggu Guru!

Guru adalah pilar utama pendidikan. Mereka tidak boleh dijadikan alat politik untuk kepentingan pilkada. Pendidikan adalah masa depan bangsa, bukan ladang transaksi politik.

Mari, kita berpolitik saja. Tapi, jangan ganggu guru. Jangan jadikan mereka subordinat dalam sistem politik yang tidak adil. Jika kita terus mengorbankan pendidikan demi kekuasaan, kita sedang menghancurkan masa depan generasi mendatang. Kepala daerah harus diingatkan bahwa tanggung jawab mereka adalah melindungi dan meningkatkan kualitas pendidikan, bukan memperalatnya untuk mempertahankan kekuasaan. Karena ketika pendidikan menjadi korban, kita semua akan menanggung akibatnya. Untuk itu, biarlah guru tetap independent. mengembalikan strukturnya ke pemerintah pusat mungkin bisa dijadikan salah satu alternatif. Guru vertikal di Kementerian Agama terasa [relatif] lebih independent. Meskipun ada beberapa ekses kekuasaan atas mereka, namun mudah diantisipasi dan tekanan terhadap mereka tidak mungkin terlalu kuat. Pemerintah pusat yang memiliki kuasa langsung atas karir guru memiliki rentang cukup jauh. Jadi, dengan membiarkan guru tidak terlibat langsung dalam politik praktis, justeru akan menyehatkan pendidikan kita. Semoga!

Comments

Permalink

Benar Guru jangan bawa ke Politik tugas guru hanya mendidik mengajar anak menjadi pintar, berakhlak, santun bermasyarakat Ini terjadi tidak jauh dari kita Istri saya sendiri jadi korban Wali kota Jambi Fasha lewat Kasusnya gara2 Kapala sekolah SD 28 Thehok Jambi Eli Harnida Spd Mpd buat acara di Taman Remaja kota baru Jambi ingin menampilkan hasil program sekolah Penggerak yang pertama dengan mengundang Gubernur dan Walikota serta seluruh Kadis Kota Jambi karena ada Undangan utk Gubernur Jambi maka Fasha tidak membolehkan Gubernur Al Haris hadir oleh Walikota memerintahkan Kadis memindahkan Eli Harnida kepala Sekolah SD 28 ke SD neg 3 Seberang Kota Jambi padahal Eli Harnida selalu Kepala Sekola Penggerak angkatan pertama dengan masa kontrak 3 tahun dengan kejadian ini acara di Taman Remaja tetap berlangsung meriah tanpa dihadiri Gubernur dan Walikota dan para Kadis padahal wakil dari Depdiknas pusat serta Propinsi hadir sebagai kebanggaan kota Jambi SD neg 28 Kota Jambi bersamaan dgn Ancaman kepindahan pada saat itu banyak Skenario yg dibuat oleh orang yg tidak senang dengan Kepala SD 28 ada yg menuduh Kepala sekolah memukul anak murid Kepala sekolah jarang masuklah sampai dilaporkan ke Polisi semuanya tidak ada pembelaan dari Kadis Mulyadi malah dia melarang Kepala Sekolah yg dekat dengan dia tidak boleh berkawan dengan Eli Harnida sampai ini Eli Harnida masih di SD 03 Seberang Kota Jambi ini semua Guru di ikutkan politik jika membutuhkan berita lengkap saya dan istri siap hadir

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.