Kerinci, sebuah wilayah yang telah lama dikenal dengan kekayaan alamnya, menjadi saksi bisu perjuangan heroik melawan penjajahan Belanda. Pada abad ke-19, tepatnya sekitar tahun 1815, Belanda berhasil menguasai Muko-Muko dan Indrapura. Kekayaan hasil bumi Kerinci menjadi daya tarik bagi Belanda, yang kemudian berusaha keras untuk menguasai wilayah ini.
Pada tahun 1900, Belanda mengirim pasukan dari Muko-Muko untuk mengadakan patroli di Bukit Setinjau Laut. Mereka mendirikan pesanggrahan di puncak Gunung Raya sebagai tanda kehadiran mereka. Kehadiran Belanda yang dianggap kafir oleh penduduk Kerinci yang mayoritas beragama Islam, memicu kemarahan besar.
Para hulubalang Kerinci, yang dipimpin oleh Depati Parbo dari Lolo dan Depati Agung di Lempur, menghadang utusan Belanda di antara Lempur dan Lolo. Utusan tersebut dibunuh, memicu persiapan Belanda untuk menyerang Kerinci. Pasukan Belanda berjumlah 300 orang, tetapi para hulubalang Kerinci telah siap menghadang.
Pertempuran Awal di Renah Manjuto
Pertempuran pertama terjadi di Renah Manjuto. Depati Parbo memimpin perlawanan dengan benteng pertahanan di selatan Desa Lempur Mudik. Banyak korban jatuh di pihak Belanda, dan mereka gagal memasuki Kerinci. Perang Kerinci melawan penjajahan Belanda pun dimulai pada tahun 1901.
Di bawah pemerintahan G.G. Van Hents, Belanda terus mencari jalan ke Kerinci dengan bantuan Tuanku Regen Indrapura. Namun, bujuk rayu mereka tidak berhasil. Pada Oktober 1901, Kumendur H.K Manupasya bersama asisten Residen Kooreman meminta Tuanku Regen membujuk para depati dan hulubalang Kerinci untuk menerima pemerintahan Belanda.
Para depati dan hulubalang Kerinci sudah bertekad mempertahankan wilayah mereka sampai titik darah penghabisan. Pada Maret 1902, pasukan Belanda sebanyak 500 orang di bawah komando Kapten Bolmar mendarat di Muaro Sakai. Mereka menyerang dari tiga jurusan: Renah Manjuto, Koto Limau Sering, dan Temiai. Pertempuran sengit terjadi di ketiga tempat ini.
Pertempuran Hebat di Pulau Tengah
Pertempuran paling sengit terjadi di Pulau Tengah, dipimpin oleh Haji Ismail dan Haji Husin. Pertempuran berlangsung lebih dari tiga bulan, sejak 27 Maret 1902. Belanda melancarkan serangan dari tiga jurusan: Sanggaran Agung – Jujun di timur, Batang Merao – Danau Kerinci di utara, dan Semerap – Lempur Danau di barat. Berkali-kali Belanda menyerang Pulau Tengah, tetapi selalu gagal.
Setelah mendapatkan bantuan pasukan dan persenjataan dari Padang, Belanda melancarkan serangan besar pada 19 Juli 1903. Para pejuang Kerinci terus melakukan perang suci (Sabilillah) sampai kekuatan terakhir. Serangan terakhir pada 9-10 Agustus 1903 berhasil membakar Dusun Baru, menewaskan banyak anak-anak, ibu rumah tangga, dan orang tua yang tidak berdaya. Namun, semangat perlawanan tidak padam.
Depati Parbo akhirnya tertangkap dalam perundingan damai yang sebenarnya adalah jebakan Belanda. Dia kemudian dibuang ke Ternate. Meski begitu, perlawanan kecil-kecilan masih terjadi di berbagai tempat. Depati Parbo dibebaskan pada tahun 1927 dan kembali ke Kerinci setelah permohonan dari kepala-kepala Mendapo di Kerinci kepada pemerintah Belanda.
Semangat Perlawanan yang Tak Padam
Kisah perjuangan Depati Parbo menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya. Meski tertangkap dan diasingkan, semangat perlawanan dan cintanya pada tanah air tetap membara. Depati Parbo, sang pahlawan dari Kerinci, menorehkan namanya dalam sejarah sebagai simbol keberanian dan keteguhan.
Pada tahun 1906, pasukan Jambi di bawah pimpinan Pangeran Haji Umar dan Pangeran Seman Jaya Negara tiba di Kerinci dan melanjutkan perlawanan. Mereka mendirikan markas di Pungut dan melakukan serangan terhadap Belanda di Sanggaran Agung.
Serangan ini merupakan bentuk pembalasan atas penangkapan Depati Parbo. Pertempuran demi pertempuran terus terjadi, tetapi semangat juang para pejuang Kerinci tidak pernah surut. Hingga akhirnya, nama Depati Parbo tetap hidup sebagai lambang perlawanan dan perjuangan melawan penjajah.
Depati Parbo tidak hanya menjadi pahlawan lokal tetapi juga simbol perlawanan terhadap kolonialisme di Indonesia. Kisahnya mengajarkan kita tentang pentingnya mempertahankan kedaulatan dan kebebasan, serta menjadi inspirasi bagi perjuangan generasi berikutnya.(*)
Disarikan dari artikel yang ditulis M. Ali Surakhman, dengan judul "Perang Kerinci Tahun 1901-1903". Untuk melihat artikel lengkapnya, silahkan baca di sini: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbkepri/pangeran-h-umar-macan-gerilya-jambi-hilang-tak-dicari-mati-tak-dikenang/
Comments
Sebenar nya perlawanan…
Sebenar nya perlawanan rakyat kerinci yang di pimpin oleh Depati parbo atau kasep bergelar depati Parbo bukan perlawanan lokal tetapi sudah bersipat nasional...maka pahlawan kasep.yang bergelar Depati parbo perlu di angkat sebagai pahlawan Nasional.
Add new comment