Tebo - Kasus dugaan penganiayaan terhadap Oktaviandi di Sekretariat Lembaga Adat Melayu (LAM) Kabupaten Tebo semakin memanas. Polres Tebo menunjukkan sikap tegas setelah dua terlapor dalam kasus ini mangkir dari dua kali panggilan pemeriksaan. Langkah upaya paksa kini disiapkan untuk memastikan para terlapor menghadapi proses hukum.
Kasatreskrim Polres Tebo, AKP Yoga Dharma Susanto, menegaskan bahwa proses hukum tidak akan berhenti meskipun ada upaya menghindar dari pihak terlapor. "Mereka berdua sudah dua kali kita panggil, namun tidak datang. Surat perintah membawa sudah diterbitkan, dan pelaksanaannya segera kita jadwalkan ulang," tegasnya pada Sabtu (30/11).
Peristiwa penganiayaan ini tidak sekadar kekerasan biasa. Dugaan keterlibatan individu yang memiliki afiliasi dengan tim pemenangan salah satu pasangan calon dalam Pilkada membuat kasus ini memiliki dimensi politik yang sensitif. Salah satu pelaku disebut sebagai adik kandung dari anggota tim pemenangan paslon nomor urut 1, menambah kompleksitas kasus yang sudah memantik perhatian publik ini.
Korban, Oktaviandi, diduga dicekik dan dipukul di halaman Sekretariat LAM saat mencoba menghadiri kegiatan resmi lembaga adat tersebut. Luka robek pada bibir bawah korban menjadi bukti nyata bahwa kekerasan fisik benar-benar terjadi.
“Ketika saya sampai di halaman LAM, saya hanya ingin melihat kegiatan dari luar. Tapi tiba-tiba saya dicekik dan dipukul tanpa alasan yang jelas,” ungkap Oktaviandi dalam laporannya ke polisi.
Kuasa hukum Oktaviandi, Dani Alvian Hardi, SH, mendesak Polres Tebo untuk bersikap tegas tanpa memandang status atau pengaruh pelaku. Ia menilai, kejadian ini bukan hanya soal penganiayaan, tetapi juga bentuk pelecehan terhadap hak individu untuk hadir dalam kegiatan publik.
“Kami meminta agar polisi menangani kasus ini dengan seadil-adilnya. Tidak ada ruang untuk kompromi, apalagi jika ada indikasi tekanan dari pihak tertentu,” kata Dani dengan nada tegas.
Kasus ini mencerminkan sisi gelap dari Pilkada, di mana politik sering kali bersinggungan dengan tindak kekerasan. Dugaan keterlibatan aktor-aktor politik dalam insiden ini menciptakan pertanyaan besar: Apakah kekerasan menjadi alat untuk membungkam suara berbeda di tengah persaingan politik yang memanas?
Polres Tebo menyebutkan bahwa enam saksi dengan inisial L, SI, SY, A, R, dan S telah diperiksa. Namun, langkah berikutnya untuk menghadirkan terlapor menjadi ujian nyata bagi aparat hukum. Pasal 170 juncto Pasal 351 KUHP yang dikenakan terhadap para terlapor membawa ancaman pidana maksimal lima tahun penjara.
Kapolres Tebo memastikan bahwa tidak ada pihak yang akan dibiarkan melarikan diri dari tanggung jawab hukum. Upaya paksa yang disiapkan menjadi bukti bahwa polisi tidak main-main dalam menangani kasus ini. "Kami akan terus memastikan bahwa hukum berjalan tanpa intervensi. Upaya paksa adalah langkah terakhir untuk memastikan terlapor memenuhi kewajiban hukum mereka," ujar AKP Yoga.
Kasus ini menjadi cerminan penting bagi masyarakat bahwa demokrasi tidak boleh dinodai oleh aksi intimidasi atau kekerasan. Jika dibiarkan, insiden seperti ini hanya akan memperburuk citra Pilkada dan merusak kepercayaan publik terhadap institusi adat maupun politik.
Penanganan kasus ini akan menjadi tolok ukur bagi Polres Tebo dalam menegakkan hukum di tengah tekanan politik yang tak terelakkan. Publik berharap aparat tidak hanya mengungkap kebenaran, tetapi juga memberikan keadilan yang sepadan bagi korban.
Kasus penganiayaan Oktaviandi di LAM Tebo bukan sekadar insiden kriminal. Ini adalah ujian nyata bagi aparat hukum untuk menunjukkan bahwa hukum berdiri di atas kepentingan politik. Dengan sikap tegas, Polres Tebo memiliki peluang besar untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa keadilan masih bisa ditegakkan, bahkan di tengah badai politik yang mengintai.
Jika hukum benar-benar dijalankan tanpa kompromi, maka ini bukan hanya kemenangan bagi korban, tetapi juga kemenangan bagi demokrasi dan integritas institusi hukum di Kabupaten Tebo.(*)
Add new comment