Pemerintah Bukan Kaum Sufi, Mengapa Gubernur Harus Masuk ke Kamera Rakyat?

WIB
IST

Oleh:

MUAWWIN MM*

Saya hadir langsung pada Musrenbang RPJMD Provinsi Jambi 2025–2029, Rabu pagi, 21 Mei 2025, di Swiss-Belhotel Kota Jambi. Ruang ballroom dipenuhi bupati/wali kota, kepala OPD, akademisi, hingga Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya. Di panggung utama, Gubernur Al Haris memaparkan arah pembangunan lima tahun ke depan dengan tenang, runtut, dan sarat data.

Saya menyimak dengan serius. Mulai dari strategi koridor pertumbuhan ekonomi SENTUSA, perluasan konektivitas wilayah, hingga agenda percepatan pembangunan berbasis kawasan. Dalam sesi terpisah, saya sering berdiskusi dengan tim Bappeda yang pintar dan cerdas, termasuk kolega Tenaga Ahli Gubernur (TAG), yang memiliki beragam keahlian dan kepakaran, yang dikomandoi Syahrasaddin itu. Semuanya sepakat, isi dokumen RPJMD ini solid, substansial, dan memiliki fondasi teknokratik yang kokoh.

Namun, saya juga mendengar nada lain di luar ruang itu. Di warung kopi, di WAG, di kolom komentar media sosial, di obrolan warga—semuanya penuh skeptisisme.

“Programnya keren, tapi kenapa rakyat gak tahu?”
“Gubernurnya ada kerja gak sih? Kok gak kelihatan?”
“Cuma Dedi Mulyadi yang terasa dekat.”

Itu ironi yang mengganggu. Sebab faktanya, Al Haris telah bekerja. Tapi, memang kerjanya tidak hadir di ruang persepsi digital rakyatnya sendiri.

Al Haris bukan pemimpin instan. Ia mendaki tangga birokrasi dari lurah, camat, bupati, hingga menjadi gubernur dua periode. Ia bukan kepala daerah yang kosong wacana. Wamendagri mengakui itu. Al Haris punya dokumen RPJMD 2025–2029 yang rapi, data makro yang progresif, dan rekam capaian yang konkret.

Mulai dari keberhasilan melakukan pnurunan kemiskinan, penurunan stunting, pertumbuhan ekonomi tertinggi ketiga di Sumatera, program pendidikan dan kesehatan, pembangunan jalan dan blueprint kawasan strategis SENTUSA.

Namun, semua itu sepi di ruang digital. Rakyat lebih mengenal video haru dari tanah Sunda daripada laporan pertumbuhan ekonominya sendiri.

Saat ini, kita hidup dalam dunia yang berbeda dari sepuluh tahun lalu. Dulu, komunikasi publik berjalan satu arah, yakni Pemerintah → Media → Rakyat. Sekarang, publik bisa berbicara langsung ke pemerintah lewat TikTok, Instagram, Youtube, bahkan WhatsApp. Mereka bisa mengkritik bahkan mencaci maki langsung Gubernur dan bupatinya. Mereka kini menilai bukan dari siaran pers, tapi dari konten berdurasi 60 detik yang menyentuh hati. Dan sayangnya, pemerintah kerap alfa di situ.

Sebagian besar OPD masih berpikir dalam format PDF, notulen, dan konferensi pers. Mereka tak memahami bahwa algoritma tidak membaca PDF. Ia membaca emosi, suara, gestur, dan cerita yang menyentuh. Pemerintah punya data, tapi tak punya narasi.

Rakyat tak mau dengar “Program Kredit UMKM Diluncurkan”. Tapi mereka akan peduli jika tahu “Wak Dulah dari Mandiangin akhirnya dapat kredit murah untuk melanjutkan hidup.”

Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi adalah contoh ekstrem pemimpin era visual. Ia tidak memaparkan RPJMD. Ia menyuapi tukang becak, memeluk anak jalanan, meneteskan air mata di depan ibu hamil. Ia menguasai ruang emosional publik. Dan itu—benar atau salah—mempengaruhi persepsi.

Yang dilakukan Al Haris:

  • Beasiswa, bantuan kesehatan, jaminan sosial, kredit UMKM
  • Infrastruktur, konektivitas antarwilayah, reformasi birokrasi
  • Desain pembangunan wilayah yang berorientasi jangka panjang

Yang dipersepsikan publik digital:

  • “Gubernur ngilang”
  • "Nomor WA Ceklist"
  • "Sulit berkomunikasi"
  • “Tak ada yang dikerjakan”
  • “Jambi tak punya progres”
  • “Kenapa bukan Dedi Mulyadi saja ke sini?”

Kesimpulannya sederhana, kerja nyata Al Haris itu ada. Tapi tak hidup di layar ponsel publik. Yang hidup selalu narasi negatif. Dan di tengah kekosongan narasi inilah, tokoh seperti Dedi Mulyadi muncul. Ia tahu kapan harus merekam, kapan harus menangis, kapan harus berbicara dengan rakyat kecil. Ia memahami bahasa algoritma. Ia menyentuh hati—bukan dengan angka, tapi dengan cerita.

Saya tahu, sebagian pejabat akan berkata begini.

“Kami bekerja, kami tidak butuh pencitraan.”

Sering juga terdengar dalih dari ASN.

"Kalau pemerintah bekerja sungguh-sungguh, nanti rakyat akan tahu sendiri.”

Maaf, itu keliru.

Pemerintah bukan kaum sufi. Jika kaum sufi memberi sedekah dengan tangan kanan, tangan kiri tak boleh tahu. Tapi jika pemerintah memberikan insentif guru ngaji, insentif untuk kaum difabel, beasiswa untuk anak sekolah dengan tangan kanan, seluruh tubuh pemerintahan—dari kepala dinas sampai tim media sosial—harus menyebarluaskan kabar baik itu.

Bukan untuk gagah-gagahan. Tapi untuk keadilan informasi. Untuk membangun trust. Karena kepercayaan publik tidak lahir dari kerja diam-diam, tapi dari kerja yang terkomunikasikan dengan jernih dan menyentuh.

Gubernur Al Haris hari ini memimpin lebih dari 15 ribu ASN di lingkup Pemerintah Provinsi Jambi. Jumlah yang besar ini seharusnya bisa menjadi pasukan digital dalam menyebarkan informasi dan menyuarakan kinerja pemerintahan.

Setiap ASN dapat—dan seharusnya—menjadi penyambung lidah kebijakan pemerintah. Cukup dengan memposting ulang program dinas atau membagikan narasi kerja di akun sosial pribadi mereka. Ini kerja kecil, tapi dampaknya besar. Ini bukan pencitraan, ini bagian dari etika pengabdian. Karena toh, Anda digaji negara, bekerja untuk rakyat, dan hidup dari uang publik.

Dan percayalah, bila niatnya ikhlas, pahalanya pun besar. Anda sudah berbuat untuk publik. Untuk republik.

Saya tahu, pemerintahan Al Haris tidak sempurna. Masih banyak yang perlu dikritik. Tata kelola SDA, tambang, konflik lahan, hingga infrastruktur pedalaman yang belum merata.

Namun, kita juga harus berlaku adil dalam menilai. Jangan abaikan kerja nyata hanya karena tidak viral. Jangan jatuhkan pemimpin hanya karena kalah panggung dari Dedi Mulyadi. Karena kerja substansial yang tidak terkomunikasikan, akan selalu kalah dari pertunjukan emosional yang terekam baik.

Dan untuk Gubernur Al Haris, zaman telah berubah. Kamera kini bukan hanya merekam, tapi menentukan arah kepercayaan. Maka, jangan biarkan ruang narasi diisi orang lain. Ambillah kembali kendali komunikasi. Gunakan narasi untuk menjelaskan, merangkul, dan membuktikan, bahwa kerja Anda nyata, hadir, dan bermakna. Anda mudah ditemui, mudah dikontak dan WA selalu aktif untuk publik.

Toh, ke depan—jika republik ini ingin mencari pemimpin nasional atau menteri yang lahir dari daerah, yang mengerti birokrasi dari bawah, punya roadmap pembangunan yang matang, dan mengakar di tengah rakyat—barangkali Al Haris patut dipertimbangkan.

Dan jika itu terjadi, rakyat Jambi tentu layak merasa bangga. Karena martabat daerah ini akan ikut terangkat ke panggung nasional.


*Muawwin, MM adalah jurnalis tinggal di Jambi. Saat ini aktif mengamati dinamika komunikasi publik dan kepemimpinan daerah. Ia percaya bahwa kerja pemerintah hanya berguna jika diketahui, dipercaya, dan dirasakan oleh rakyat.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.