JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan agar pemerintah menjamin pendidikan dasar (SD) dan menengah pertama (SMP) secara gratis di seluruh Indonesia kini menjadi sorotan nasional. Di balik semangat konstitusional tersebut, muncul tantangan besar: bagaimana negara membiayainya tanpa menambah beban fiskal?
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Abdullah Ubaid Matraji, pemerintah perlu segera menyiapkan desain kebijakan yang matang. Angka kebutuhan yang dihitung JPPI untuk menggratiskan seluruh pendidikan dasar di sekolah negeri dan swasta mencapai Rp 84 triliun.
“Kalau hitung-hitungan JPPI secara persis, kita ketemu angka Rp 84 triliun untuk menggratiskan seluruh pendidikan dasar dan menengah pertama,” kata Ubaid, Rabu (28/5/2025).
Namun, Ubaid menegaskan bahwa angka fantastis itu tidak perlu sepenuhnya diambil dari APBN tambahan. Menurutnya, cukup dilakukan dengan refocusing anggaran pendidikan yang saat ini belum menyentuh prioritas utama.
Ubaid menyebut bahwa selama ini anggaran pendidikan nasional, yang secara konstitusi dijamin 20 persen dari APBN, masih banyak dialokasikan ke pos-pos non-esensial.
“Cukup dengan refocusing dari anggaran pendidikan yang sudah ada. Tak perlu menambah dari luar. Tinggal kemauan politik dari Presiden,” ujarnya.
Ia juga menegaskan bahwa perombakan besar seperti ini tidak cukup jika hanya diinisiasi oleh kementerian teknis. Kewenangan dan dorongan utama harus datang dari Presiden langsung agar kebijakan sekolah gratis ini bisa diterjemahkan hingga ke level operasional.
Persoalan mendasar berikutnya adalah nasib sekolah swasta. Tak sedikit siswa dari kalangan menengah ke bawah justru bersekolah di lembaga swasta karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Hetifah Sjaifudian, mengingatkan agar pemerintah pusat dan daerah tidak mengabaikan peran vital sekolah swasta dalam menyukseskan agenda pendidikan nasional.
“Harus ada mekanisme transparan agar sekolah swasta tetap mendapat subsidi memadai tanpa mengorbankan kualitas dan kemandirian pengelolaan,” ujarnya, Jumat (30/5/2025).
Ia juga mendorong agar skema seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS) perlu direvisi, agar cakupannya mencakup sekolah swasta secara lebih merata dan adil.
Selain APBN, solusi anggaran bisa datang dari refocusing APBD. Untuk itu, pemerintah daerah diminta segera melakukan pemetaan terhadap jumlah siswa, daya tampung sekolah negeri, dan kebutuhan subsidi untuk sekolah swasta di masing-masing daerah.
“Misalnya, sekolah negeri hanya bisa menampung 60 persen siswa. Maka 40 persen sisanya yang bersekolah di swasta itu harus disubsidi,” jelas Ubaid.
Dukungan politik datang dari Komisi X DPR RI yang menegaskan bahwa pihaknya akan mengawal penuh realisasi putusan MK ini, agar tidak hanya menjadi jargon populis menjelang Pilpres 2029, tetapi betul-betul menjadi kebijakan strategis untuk memperkuat SDM Indonesia.
“Kita tidak ingin sekolah gratis ini sekadar gimmick. Harus dibarengi kesiapan teknis, revisi regulasi, dan pembiayaan yang berkelanjutan,” tegas Hetifah.
Putusan MK bisa menjadi tonggak sejarah reformasi pendidikan nasional. Namun, tanpa desain anggaran yang adil, regulasi yang tegas, dan perhatian terhadap peran sekolah swasta, kebijakan ini berisiko menjadi slogan kosong.
Pertanyaannya kini bukan lagi "mau atau tidak", tapi "siap atau tidak". Dan kesiapan itu hanya bisa dibuktikan lewat langkah konkret yang dimulai sekarang.(*)
Add new comment