JAMBI — Jambi punya banyak. Tapi wisatawannya tetap sedikit. Empat taman nasional, geopark berusia jutaan tahun, hingga sungai hitam yang konon bisa bikin awet muda. Semua tersedia. Yang kurang hanya satu: cerita.
Diskusi Rabuan Series yang digelar Tenaga Ahli Gubernur (TAG) Jambi bersama Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Rabu (23/7/2025), membuka lagi luka lama itu. Potensi banyak, strategi minim. Wisata bukan soal objek, tapi cara menjualnya. Dan Jambi masih gagal di titik itu.
Ketua TAG Jambi, Dr. Syahrasaddin, membuka diskusi dengan nada serius. Jambi, katanya, sudah diberikan anugerah alam luar biasa. Tapi wisatawan mancanegara (wisman) yang datang bisa dihitung jari.
"Coba lihat Sungai Air Itam. Airnya hitam. Masyarakat bilang bisa bikin awet muda. Tapi siapa yang menarasikan itu? Kalau di Bali, itu sudah jadi legenda," katanya.
Bukan hanya itu. Di kawasan Candi Muaro Jambi, ada sumur tua berusia 1.200 tahun. Tapi jarang disebut, apalagi dijual dalam paket wisata yang menarik. Di Kerinci, spot-spot alam sudah melebihi standar dunia. Tapi citranya tak sempat mendunia.
"Kita lemah di narasi. Kita kuat di objek," tandas Syahrasaddin.

Menurutnya, strategi pemasaran pariwisata Jambi masih terjebak pada pola konvensional. Pameran tanpa pendekatan digital. Brosur dicetak, tapi tidak masuk ke mesin pencarian Google. Logo dibuat, tapi tidak punya daya gugah di Instagram.
Padahal, dunia hari ini sudah berubah. Wisatawan mencari lewat YouTube, bukan lewat agen perjalanan. Mereka ingin cerita, bukan sekadar folder promosi.
"Infrastruktur memang kendala. Tapi jangan jadikan alasan berhenti menjual. Yang harus diubah adalah cara memasarkan, bukan sekadar memperbaiki jalan," ujar Syahrasaddin.
Paradigma yang dibangun dalam diskusi itu sangat tegas. Jika ingin Jambi jadi destinasi internasional, maka yang harus berubah bukan hanya jalan dan toilet. Tapi cara berpikir.
"Pejabat Jambi harus ubah mindset. Bukan kita yang keliling luar negeri. Tapi bagaimana orang asing kita datangkan ke Jambi," katanya.
TAG mengusulkan agar pemerintah daerah berani membuat strategi digital marketing berbasis permintaan khusus (demand-driven tourism). Misalnya, jualan khusus untuk penyuka trekking hutan hujan tropis, penggemar wisata sejarah kuno, hingga wisata spiritual berbasis legenda lokal.
Diskusi Rabuan ini tidak sekadar forum wacana. Rangkaian gagasan yang dikemukakan akan dituangkan dalam draft rekomendasi kebijakan yang bisa diadopsi oleh Dinas Pariwisata dan OPD lainnya.
"Pariwisata itu bukan hanya tugas dinas pariwisata. Tapi soal kolaborasi: dari seniman, konten kreator, hingga pelaku digital," ujar Prof. Suandi, anggota TAG yang juga Guru Besar Fisipol.
Diskusi juga dihadiri oleh Prof. Sukendro, Thamrin Bachri MSi, Arpani MSi, Yulfi Alfikri MSi, dan Muawwin MM. Semuanya sepakat, narasi adalah infrastruktur paling utama yang harus dibangun.(*)
Add new comment