Stephanie Riady Warning Keras, Jangan Biarkan AI Bikin Otak Anak Tumpul!

WIB
IST

Di tengah gempuran teknologi dan kecerdasan buatan (AI), dunia pendidikan Indonesia dihadapkan pada tantangan besar. Anak-anak masih dihantui rasa takut pada matematika, sementara metode menghafal tanpa pemahaman masih mendominasi.

Executive Director Pelita Harapan Group, Stephanie Riady, menyoroti pentingnya perubahan mindset untuk menciptakan generasi masa depan yang inovatif dan berdaya saing global.

Dalam perbincangannya di Kompas.com pada 10 Oktober 2025, Stephanie Riady menegaskan masa depan bangsa hanya bisa dibangun melalui kreativitas, kolaborasi, dan inovasi, bukan sekadar hafalan.

"Ketika di sekolah hanya berhenti dalam penghafalan, menurut saya itu mungkin gurunya yang perlu ditraining lagi," ujar Stephanie.

Salah satu fokus utama yang dibahas adalah pentingnya pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics). Menurut Stephanie, STEM seringkali dianggap sebagai 'momok' yang menakutkan bagi siswa karena persepsi yang salah. Ia meluruskan bahwa STEM bukanlah sekadar mata pelajaran, melainkan sebuah mindset untuk memecahkan masalah nyata di sekitar kita.

"STEM bukan subjek, STEM adalah mindset di mana kami menggabungkan science, technology, engineering, mathematics, tetapi yang lain-lain juga untuk menjawab masalah-masalah yang nyata," jelasnya.

Untuk membuat STEM lebih menarik, ia menyarankan agar pembelajaran dikaitkan dengan hal-hal sederhana di sekitar siswa dan mengangkat tokoh-tokoh ilmuwan inspiratif dari Indonesia, seperti Prof. Adi Utarini dan B.J. Habibie, agar anak-anak merasa bahwa mereka pun bisa menjadi inovator.

Menghadapi era AI, Stephanie memberikan peringatan keras agar teknologi tidak dijadikan 'jalan pintas' yang membunuh kreativitas dan proses berpikir kritis anak. Ia khawatir kemudahan yang ditawarkan AI, seperti merangkum buku atau menulis esai secara otomatis, akan membuat otak anak kurang terasah.

"Dengan melakukan demikian, anak-anak itu melakukan shortcut terhadap proses-proses yang perlu dilalui untuk mengasah pemikiran," tegasnya.

Sebagai solusi, Pelita Harapan Group menerapkan kebijakan ketat "We do not tolerate AI illiteracy", yang berarti semua siswa dari SD hingga universitas wajib memahami AI, namun penggunaannya tetap dalam supervisi ketat untuk memastikan proses belajar yang esensial tidak terlewati.

Pesan utamanya untuk generasi muda adalah untuk tidak pernah berhenti mengasah kemampuan berpikir.

"Jangan melakukan shortcut, karena hal yang sulit seringkali harus melakukan proses yang sulit dan menyakitkan, tetapi nanti akan ada hasilnya," tutupnya.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network