Pengelolaan lahan gambut di Jambi oleh tiga perusahaan besar menuai kritik. Restorasi setengah hati pasca kebakaran 2019 dinilai mengabaikan fungsi lindung dan memperparah kondisi ekologis serta sosial di wilayah tersebut.
***
Restorasi lahan gambut oleh tiga perusahaan besar di Jambi, PT. Putraduta Indah Wood (PDIW), PT. Pesona Belantara Persada (PBP), dan PT. Bahari Gembira Ria (BGR), mendapatkan kritik tajam dari Perkumpulan Hijau. NGO lingkungan itu menemukan bahwa upaya restorasi yang dilakukan pasca kebakaran 2019 ternyata hanya setengah hati, dengan lahan gambut yang seharusnya dipulihkan malah ditanami tanaman monokultur seperti akasia dan kelapa sawit.
Restorasi Setengah Hati
Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau, menyatakan bahwa lahan gambut dalam yang memiliki fungsi lindung seharusnya dipulihkan secara alami.
"Gambut dalam dengan fungsi lindung ini seharusnya dipulihkan secara alami, bukan malah dibuat sekat kanal terus ditanami akasia dan kelapa sawit," ungkap Feri. "Jika akasia sudah cukup umur dan ditebang untuk industri, itu bukanlah restorasi."
Konsesi milik PT. PDIW, PT. PBP, dan PT. BGR merupakan bagian dari Kesatuan Kawasan Hidrologi Gambut (KHG) Sungai Batanghari-Air Hitam Laut, yang memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan tata air dan menyimpan cadangan karbon. Lebih dari 70% area ini memiliki fungsi lindung gambut, yang jika dikelola secara tidak tepat, akan mudah terbakar dan kehilangan fungsinya.
Temuan Perkumpulan Hijau
Perkumpulan Hijau mengungkapkan bahwa lebih dari 70% dari area konsesi tersebut merupakan kawasan gambut dalam fungsi lindung. Data KKI Warsi menunjukkan bahwa kebakaran di PT. PDIW pada 2019 mencapai 21.388 hektare, PT. PBP seluas 19.477 hektare, dan PT. BGR seluas 274 hektare.
Tim dari Perkumpulan Hijau menemukan banyak titik kanal di tiga konsesi tersebut yang tidak sesuai dengan aturan. Dari 36 titik kanal yang diteliti, 28 titik memiliki kedalaman muka air tanah gambut lebih dari 40 cm, tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia No.P.16/Menlhk/Sekjen/Kum.1/2017 Tentang Teknis Pemulihan Ekosistem Gambut.
"Sebanyak 18 titik lokasi memiliki kedalaman TMAT antara 48 cm hingga 100 cm dari permukaan," kata Feri, mantan Direktur Walhi Jambi. "Ini artinya, gambut tersebut rawan kering dan rawan terbakar."
Dampak Ekologi dan Hukum
Feri menyoroti bahwa perkebunan sawit berperan besar dalam pengeringan hutan gambut, yang melepaskan karbon ke atmosfer. PT. BGR, bagian dari Sime Darby Group, memiliki konsesi seluas 20.551 hektare yang mendapatkan izin pada 2007. Restorasi yang dilakukan tidak hanya penting untuk mencegah kebakaran tetapi juga untuk mengembalikan fungsi ekologis kawasan.
Profesor Helmi, seorang praktisi gambut, mengatakan bahwa kebakaran besar pada 2015 dan 2019 di Provinsi Jambi menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati di wilayah KHG. Ia menekankan bahwa restorasi yang dilakukan perusahaan dan pemerintah di wilayah ini masih kurang maksimal.
Agusrizal, Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, menyatakan bahwa pemerintah terus mengevaluasi perusahaan-perusahaan yang mendapatkan izin untuk melakukan restorasi gambut pascakebakaran 2015 dan 2019. Namun, ia mengakui bahwa upaya restorasi yang dilakukan masih kurang maksimal.
Dampak Sosial dan Kesehatan
Bencana kebakaran gambut 2019 memicu kabut asap yang menyebabkan ratusan ribu orang menderita ISPA. Novriyani, warga Desa Pematang Raman yang dekat dengan konsesi PT. PDIW, menceritakan pengalaman buruknya akibat karhutla. Kabut asap menyebabkan suaminya dan anaknya yang berusia 3 bulan mengalami sesak napas dan demam. Novriyani sendiri menderita bronkitis akut dan masih harus berobat akibat sakit paru-paru.
Dengan demikian, urgensi untuk melakukan restorasi gambut secara menyeluruh dan berkelanjutan menjadi sangat penting, baik untuk melindungi lingkungan maupun kesehatan masyarakat sekitar.
Sumber : https://www.wartapembaruan.co.id/2024/08/feri-irawan-restorasi-setengah-hati.html
Add new comment