Remisi HUT RI ke-79 di Lapas Sarolangun: 347 warga binaan mendapatkan pengurangan masa tahanan, tapi apakah pemberian remisi ini benar-benar efektif atau hanya seremonial? Baca analisis kritisnya di sini.
Dalam suasana peringatan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-79, sebanyak 347 warga binaan Lapas Kelas IIB Sarolangun diberikan remisi, dengan dua di antaranya langsung menghirup udara bebas. Namun, di balik pemberian remisi yang seolah menjadi momen perayaan, muncul pertanyaan mendasar tentang efektifitas dan makna sebenarnya dari pengurangan masa tahanan ini.
Kalapas Sarolangun, Parulian Hutabarat, mengungkapkan bahwa dari 590 warga binaan di lapas tersebut, hanya 347 yang mendapatkan remisi. "Sebagian besar mendapatkan pengurangan masa tahanan 1-2 bulan, dan dua orang di antaranya langsung bebas," ujarnya.
Sementara remisi ini dirayakan oleh sebagian, ada hal yang tak terelakkan: sebanyak 243 warga binaan lainnya tidak mendapatkan pengurangan masa tahanan. Ini mengindikasikan bahwa lebih dari sepertiga warga binaan di Lapas Sarolangun mungkin masih bergulat dengan perilaku yang tidak sesuai atau gagal mengikuti program pembinaan yang disyaratkan.
Pemberian Remisi: Solusi atau Hanya Seremonial?
Pemberian remisi setiap HUT RI memang sudah menjadi tradisi, namun apakah tradisi ini benar-benar efektif dalam memperbaiki perilaku narapidana dan mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat? Remisi yang diberikan kepada mereka yang "berperilaku baik" dan mengikuti program pembinaan justru bisa menjadi cermin bahwa sebagian besar narapidana lainnya belum mendapatkan pembinaan yang optimal atau mungkin kurang efektif.
PJ Bupati Sarolangun, Bachril Bakri, yang turut hadir dalam acara tersebut, memberikan pesan kepada warga binaan untuk terus mematuhi tata tertib agar bisa mendapatkan remisi di masa mendatang. Namun, pernyataan ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem pembinaan yang ada. Apakah benar warga binaan yang tidak mendapatkan remisi adalah mereka yang tidak mampu berperilaku baik, ataukah sistem pembinaan yang gagal mendukung mereka untuk berubah?
Pertanyaan Tentang Keberlanjutan dan Dampak Pembinaan
Remisi ini, meskipun menjadi kabar baik bagi mereka yang mendapatkannya, menimbulkan pertanyaan lebih luas tentang bagaimana lapas menjalankan tugasnya sebagai lembaga pembinaan. Jika pemberian remisi hanya didasarkan pada perilaku selama di dalam lapas, bagaimana dengan persiapan narapidana ketika mereka kembali ke masyarakat? Apakah mereka benar-benar siap untuk memulai hidup baru, ataukah remisi ini hanya menjadi "hadiah" sesaat yang tidak berkelanjutan?
Selain itu, dua warga binaan yang mendapatkan kebebasan langsung setelah menerima remisi menjadi sorotan. Apakah pembebasan mereka telah dipertimbangkan dengan matang, ataukah ada risiko mereka kembali terjerumus ke dalam tindakan yang sama seperti sebelumnya? Hal ini menjadi pertanyaan penting, mengingat seringnya kasus residivisme di Indonesia, di mana mantan narapidana kembali melakukan kejahatan setelah dibebaskan.
Kesimpulan: Harapan atau Cermin Masalah?
Pemberian remisi pada momen HUT RI ke-79 di Lapas Sarolangun memang membawa harapan bagi sebagian besar warga binaan. Namun, realitas di balik pemberian remisi ini juga membuka mata kita terhadap tantangan besar dalam sistem pemasyarakatan kita. Remisi yang seharusnya menjadi motivasi untuk perbaikan diri justru bisa menjadi cermin dari sistem yang belum sepenuhnya efektif dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pembinaan.
Dengan lebih dari 243 warga binaan yang tidak mendapatkan remisi, pertanyaan besar tetap ada: apakah mereka tidak layak menerima pengurangan masa tahanan karena perilaku mereka, ataukah ada yang salah dalam sistem pembinaan yang seharusnya mempersiapkan mereka untuk kembali ke masyarakat? Remisi seharusnya menjadi alat untuk perubahan positif, bukan sekadar ritual tahunan tanpa dampak jangka panjang.(*)
Add new comment