Oleh: Muawwin, MM*
Beberapa pekan terakhir, saya menerima banyak pesan. Sebagian dari kawan wartawan, sebagian dari warga biasa. Polanya hampir seragam:
“Bang, kalau bisa Dedi Mulyadi jadi Gubernur Jambi. Jalan kami rusak terus.”
“Kalau kayak dia, tiap hari blusukan. Gubernur kita di mana?”
Saya tidak sedang menulis untuk membela siapa pun. Tapi saya perlu menulis ini sebagai bagian dari kewarasan kolektif yang harus kita rawat. Sebab yang saya lihat saat ini adalah gejala masif publik yang memuja narasi layar, namun melupakan kerja senyap yang tak masuk algoritma.
Dan itu berbahaya.
Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, adalah fenomena komunikasi politik paling menarik dalam satu dekade terakhir. Ia bukan cuma pemimpin daerah. Ia adalah sutradara, produser, dan bintang dari pertunjukan harian tentang “pemimpin yang hadir”. Kemunculannya mirip Jokowi, sesaat menjelang menjadi Gubernur DKI dan Presiden RI 2014 silam.
Ia menyapa tukang becak, memeluk ibu lansia, menegur ASN tidur siang, membelikan susu untuk anak-anak jalanan. Semua terekam rapi dalam format sinematik. Caption-nya menyentuh. Editing-nya halus. Musik latarnya menggugah.
Hasilnya? Ia viral. Dan sekarang, citra dirinya disalurkan oleh sebagian kelompok untuk menyerang pemimpin-pemimpin lain yang “tak muncul di layar.”
Di Jambi, baliho-baliho banding-bandingan mulai muncul. Caption seperti “Andai Gubernur Kami Seperti Dedi” dipasang berdampingan dengan gambar jalan rusak. Beberapa akun anonim di media sosial menyebarkan potongan video Dedi, lalu menyisipkan kritik pedas pada kepala daerah mereka sendiri.
Ini bukan kekaguman biasa. Ini framing politik. Dan framing ini dipakai sebagai peluru—bukan untuk membangun diskusi, tapi untuk mendiskreditkan.
Mari kita periksa apa yang dikerjakan Gubernur Jambi, Al Haris. Bukan dari konten, tapi dari data:
- Kemiskinan menurun dari 6,97% (2021) menjadi 6,42% (2023).
- Stunting turun dari 22,4% menjadi 18%.
- Pertumbuhan ekonomi 4,90% di 2023, tertinggi ketiga se-Sumatera.
- Indeks Pembangunan Manusia naik dari 73,11 ke 73,73.
- Ribuan siswa miskin menerima beasiswa lewat program Dumisake.
- 76.000 warga miskin ekstrem terlindungi melalui jaminan sosial.
- Kisruh angkutan batubara tidak diselesaikan dengan gimmick, tapi dengan sistem: jalur sungai, tekanan ke pusat, dan koordinasi dengan perusahaan tambang.
Apakah semua ini viral? Tidak. Tapi apakah semua ini berdampak? Iya.
Dalam buku Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menjelaskan dua sistem berpikir manusia, yakni sistem 1: cepat, intuitif, emosional. Sistem 2: lambat, rasional, berbasis analisis.
Dedi Mulyadi sangat mahir menciptakan konten yang menarget Sistem 1, yaitu:
1. Visual dan Narasi Emosional
Konten video Dedi sering menampilkan ia berbicara langsung kepada warga kecil—petani, pedagang, atau anak-anak—dengan sentuhan kemanusiaan kuat. Ia menggunakan storytelling visual, bukan paparan data. Ini mirip dengan "Halo Effect" dalam teori Kahneman: jika seseorang terlihat baik dan peduli, maka publik akan menganggap seluruh keputusannya baik pula.
2. Gestur Kepemimpinan Simbolik
Misalnya, memecat kepala sekolah secara terbuka atau mendiskusikan anggaran APBD secara terbuka. Ini membangun narrative framing: pemimpin yang tegas dan berpihak kepada rakyat. Padahal, Kahneman memperingatkan bahwa reaksi cepat terhadap simbol tidak selalu menggambarkan realitas keputusan yang tepat.
3. Pemanfaatan Cognitive Ease
Konten Dedi dibuat ringan, repetitif, dan menyentuh emosi. Ini membuat publik mudah setuju, tanpa berpikir panjang — seperti dijelaskan Kahneman dalam "Law of Least Effort": orang lebih suka menerima informasi yang mudah dipahami meski tidak akurat.
Dampak Negatif Populisme Digital
Namun, pendekatan berbasis Sistem 1 ini punya sisi gelap:
1. Keputusan Populis, Minim Konsultasi
Misalnya larangan study tour tanpa dialog dengan stakeholder pendidikan. Ini mencerminkan pengambilan keputusan berbasis tekanan persepsi publik, bukan berdasarkan riset atau evaluasi kebijakan jangka panjang.
2. Menciptakan Ilusi Efektivitas
Seolah-olah semua masalah bisa diselesaikan dengan "turun langsung", padahal tidak ada sistem birokrasi yang diperbaiki secara struktural. Kahneman menyebut ini sebagai “Substitution Bias”: menggantikan pertanyaan kompleks (“Apakah kebijakan ini efektif?”) dengan pertanyaan sederhana (“Apakah saya suka dengan pemimpinnya?”).
3. Risiko Otoritarianisme Emosional
Ketika pemimpin terlalu mengandalkan simpatik publik dan “likeability”, ia cenderung mengabaikan checks and balances atau prosedur hukum. Dalam istilah Kahneman: pemimpin terlalu percaya pada insting Sistem 1-nya sendiri, dan mengabaikan masukan rasional (Sistem 2 dari kolektif birokrasi).
Kita, publik, sedang terjebak pada Sistem 1. Kita tergoda oleh cerita menyentuh, lalu mengabaikan pertanyaan penting, apakah ini relevan? Apakah ini menyelesaikan masalah? Apakah ini bisa ditiru di tempat yang berbeda?
Apa yang berhasil di Subang belum tentu bisa disalin mentah-mentah di Kerinci. Apa yang viral di Karawang belum tentu menyelesaikan sengkarut tambang ilegal di Batanghari.
Mengapa Narasi Ini Berbahaya bagi Demokrasi Lokal
- Mengacaukan Evaluasi Kinerja Berdasarkan Data
Kita akhirnya terjebak dan tidak menilai kinerja pemimpin berdasar program, APBD, indikator pembangunan, tapi berdasar viralitas konten. Padahal, banyak kepala daerah bekerja secara senyap, sistematis, dan berdampak—tapi tak disorot kamera. - Membakar Polarisasi Politik Lokal
Narasi semacam “Gubernur kami tidak kerja” yang dibungkus dengan pujian pada Dedi Mulyadi, bisa dipakai oleh lawan politik untuk mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Bukan lagi ruang evaluasi sehat, melainkan ladang framing dan hoaks. - Mengabaikan Perbedaan Konteks Sosial dan Wilayah
Jambi bukan Jawa Barat. Artinya, tantangan geografi, demografi, kultur, ekonomi, dan politiknya berbeda. Pemimpin yang efektif di satu daerah belum tentu cocok di daerah lain. Misalnya akar kemiskinan di Tanjab Timur tak bisa diatasi hanya dengan gaya blusukan. Konflik agraria di Tebo butuh pendekatan struktural, bukan konten empati sesaat.
Saya khawatir jika fenomena ini terus dibiarkan. Kita akan mengabaikan kerja substantif karena tidak terlihat. Kita akan larut dalam memuja pencitraan karena terasa menyenangkan. Lalu akan mengganti evaluasi birokratik dengan like dan share.
Dan lebih dari itu, kita akan membuka jalan bagi manipulasi persepsi politik, di mana pemimpin baik bisa jatuh hanya karena kalah konten, dan pemimpin manipulatif bisa naik hanya karena pintar membuat drama kemanusiaan.
Saya tidak menolak gaya Dedi Mulyadi. Ia cerdas. Ia tahu bagaimana cara kerja media sosial. Ia paham bagaimana menarik simpati rakyat. Ia didampingi tim komunikasi yang handal. Tapi jangan jadikan itu standar tunggal untuk menilai semua pemimpin. Jangan jatuhkan kepala daerah Anda hanya karena ia tidak blusukan di TikTok.
Jangan terburu-buru ingin "pindahkan Dedi ke Jambi" jika Anda sendiri tidak tahu kompleksitas masalah di daerah ini. Jalan rusak bisa jadi soal minimnya anggaran pusat, tambang ilegal bisa jadi soal izin dari Jakarta, dan reformasi birokrasi tidak bisa diselesaikan dengan video dua menit.
Demokrasi kita tak bisa digerakkan oleh algoritma. Ia butuh kewaspadaan warga. Butuh pembaca laporan BPS, bukan sekadar penonton reels.
Karena jika kita hanya mengejar pemimpin yang viral, kita akan kehilangan pemimpin yang bekerja.
Dan jika kita hanya mendengar yang tampil di layar, kita akan menyingkirkan yang berjuang dalam diam. Mari bangkit dari ilusi. Dan mulai berpikir dengan akal sehat. Karena masa depan daerah tidak dibangun dengan filter Instagram, tapi dengan kebijakan nyata.
Namun di sisi lain, saya juga harus mengatakan ini dengan jujur. Kebisuan digital birokrasi Jambi adalah kelemahan yang harus segera diatasi. Dalam era ketika persepsi dibentuk oleh narasi, dan narasi dibangun oleh algoritma, pemerintah daerah tak bisa terus mengandalkan konferensi pers formal dan laporan tahunan. Rakyat butuh tahu. Dan mereka tak lagi membaca laporan Bappeda. Mereka membaca feed.
Gubernur Al Haris perlu mengaktifkan mesin komunikasinya. Dinas dan OPD harus didorong menjadi “amplifier” capaian, bukan sekadar pelaksana teknis. Bukan untuk pencitraan murahan, tetapi untuk transparansi strategis—agar rakyat tahu, percaya, dan terhubung.
Sudah waktunya membentuk tim media digital terpadu yang tidak hanya menyiarkan, tapi merancang storytelling kebijakan yang hidup, menyentuh, dan membumi. Bukan untuk menandingi Dedi Mulyadi. Tapi agar narasi “Dedi pindah ke Jambi” tak perlu lagi lahir dari ketiadaan informasi yang kita ciptakan sendiri.(*)
*Penulis adalah Jurnalis, tinggal di Jambi
Comments
Membangun yg riil dan informasi yg riil juga ke rakyat jambi
Siap wo..
Lanjutkan....
Informasi yg amanah....
Infrastrukur tidak disebut…
Infrastrukur tidak disebut progresnya..?
Gubernur vs Gubernur
Jangan Tertipu Kamera: Antara Dedi Mulyadi, Media Sosial, dan Kepemimpinan yang Substantif
Beberapa pekan terakhir, muncul tren yang cukup masif: publik ramai memuji sosok Dedi Mulyadi—mantan Bupati Purwakarta dan kini legislator—sebagai pemimpin ideal. Komentarnya membanjiri ruang digital, bahkan sampai muncul narasi seperti: "Pindahkan Dedi ke Jambi," atau "Andai gubernur kami seperti dia." Semua itu berangkat dari konten-konten media sosialnya yang menyentuh dan viral.
Saya tidak ingin meremehkan sosok Dedi Mulyadi. Justru sebaliknya, saya mengakui bahwa ia adalah fenomena komunikasi politik yang cerdas dan efektif. Ia hadir langsung di tengah masyarakat, menyapa yang lemah, membela yang kecil, dan semuanya dikemas secara sinematik dan emosional. Ia menyentuh masyarakat karena menghadirkan simbol kehadiran pemimpin secara langsung, bukan lewat podium atau spanduk.
Namun di sisi lain, saya merasa perlu mengajak kita semua untuk berpikir jernih dan kritis. Jangan sampai algoritma media sosial menggantikan akal sehat dalam menilai kepemimpinan.
________________________________________Kita Harus Bedakan: Mana yang Viral, Mana yang Berdampak
Contohnya, Gubernur Jambi Al Haris. Ia tidak seviral Dedi Mulyadi. Tidak tampil rutin di TikTok. Tapi mari kita lihat bukan dari feed, melainkan dari data:
• Kemiskinan menurun dari 6,97% (2021) ke 6,42% (2023).
• Stunting turun dari 22,4% ke 18%.
• Pertumbuhan ekonomi Jambi di 2023 mencapai 4,90% — tertinggi ketiga se-Sumatera.
• Indeks Pembangunan Manusia naik dari 73,11 ke 73,73.
• Ribuan siswa miskin menerima beasiswa Dumisake.
• 76.000 warga miskin ekstrem menerima jaminan sosial.
• Konflik transportasi batubara ditangani lewat sistem, bukan sensasi.
Apakah semua ini viral? Tidak. Tapi apakah ini berdampak? Iya.
Muncul pertanyaan kritis: “Kita tidak tahu data itu dari mana. Apakah nyata?”
Itu sah dan perlu. Tapi yang harus diketahui publik adalah: data seperti kemiskinan, stunting, dan pertumbuhan ekonomi berasal dari BPS (Badan Pusat Statistik)—lembaga independen yang mengukur lewat survei nasional rutin. Namun, benar juga bahwa publik sering tak merasakan dampaknya langsung, karena data terasa abstrak, tidak dikemas dengan narasi, dan tidak dijelaskan dengan bahasa yang menyentuh.
________________________________________
Dedi Mulyadi Menyentuh Sistem 1 (Emosi). Al Haris Bekerja lewat Sistem 2 (Struktur). Keduanya Penting.
Dalam buku Thinking, Fast and Slow, Daniel Kahneman menjelaskan dua cara manusia berpikir:
• Sistem 1: cepat, emosional, intuitif — inilah yang disasar konten Dedi Mulyadi.
• Sistem 2: lambat, rasional, berbasis data — inilah jalur yang diambil birokrasi seperti Al Haris.
Masalahnya, publik saat ini lebih mudah terhubung lewat Sistem 1. Konten Dedi memang menyentuh, relevan, dan seringkali menyuarakan keresahan nyata. Dan itu bagus. Ia mengisi ruang kosong yang selama ini diabaikan birokrasi: komunikasi yang terasa.
Namun bahayanya adalah saat kita menganggap viral = benar, dan diam = tidak bekerja. Ini menciptakan ilusi seolah semua pemimpin harus blusukan di TikTok agar dianggap bekerja. Padahal, tidak semua masalah bisa diselesaikan lewat turun ke lapangan atau drama kemanusiaan. Ada masalah yang hanya bisa diselesaikan lewat sistem, koordinasi pusat-daerah, dan reformasi birokrasi yang panjang.
________________________________________
Jika Kita Hanya Mengejar yang Viral, Kita Bisa Kehilangan yang Bekerja
Narasi "Dedi Mulyadi untuk Jambi" bisa jadi lahir bukan karena ketidakmampuan pemerintah daerah, tapi karena ketiadaan komunikasi yang kuat dari birokrasi sendiri. Ini celah yang harus segera ditutup. Pemerintah tidak bisa lagi berharap publik membaca laporan Bappeda atau mendengar konferensi pers Dinas. Publik membaca feed, bukan file Excel.
Artinya, bukan Dedi Mulyadi yang salah. Tapi jika birokrasi tidak bisa menyampaikan kerja-kerja riil dalam bahasa yang bisa dirasakan rakyat, maka jangan heran jika publik lebih percaya pada video 2 menit daripada dokumen 200 halaman.
________________________________________
Solusi: Bukan Lawan Gaya Dedi, Tapi Gabungkan Kelebihannya
Gubernur seperti Al Haris tetap butuh tim komunikasi digital terpadu, yang bukan hanya menyiarkan, tapi menyusun storytelling kebijakan yang menyentuh dan membumi. Bukan untuk pencitraan kosong, tapi untuk transparansi yang bisa dirasakan.
• Ceritakan siapa yang terbantu beasiswanya.
• Tunjukkan desa mana yang terbebas dari stunting.
• Ajak masyarakat melihat kerja nyata lewat media yang mereka konsumsi sehari-hari.
________________________________________ Kesimpulan: Jangan Tertipu Kamera. Jangan Abaikan yang Tidak Viral.
Kita butuh pemimpin yang bekerja, bukan hanya yang terlihat bekerja.
Kita butuh konten yang menyentuh, tapi juga kebijakan yang berdampak.
Dan kita sebagai rakyat, perlu melek data, peka konteks, dan kritis terhadap narasi.
Jangan buru-buru ingin "memindahkan Dedi ke Jambi" jika kita sendiri belum paham kompleksitas masalah di daerah ini.
Dan jangan jatuhkan kepala daerah hanya karena ia tidak punya tim editing video yang hebat.
Demokrasi bukan panggung konten. Ia adalah ruang rasional yang dibangun lewat kerja, bukan kamera.
Add new comment