Bentang Alam Bukit Tigapuluh, Kisah Konflik Abadi Manusia dan Gajah

WIB
IST

TEBO — Kawanan gajah liar memasuki Desa Semambu di Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo. Warga, seperti Halmi, menyaksikan kebun sawit mereka dihancurkan oleh belasan gajah yang mencari makan. “Saya lihat gajah-gajah itu makan sawit di kebun. Jaraknya cuma 20 meter. Saya pulang cepat-cepat, ajak keluarga buat usir gajah,” cerita Halmi. Hasilnya? Satu hektar kebun sawit miliknya habis dirusak.

Namun, konflik ini bukan sekadar soal kebun yang rusak. Dalam beberapa tahun terakhir, tiga gajah dan satu warga telah kehilangan nyawa akibat bentrokan yang tak terhindarkan. Di Desa Semambu, ketegangan ini telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Kepala Desa Semambu, Heriantoni, menyoroti masalah yang semakin kompleks. Menurutnya, pembukaan lahan besar-besaran telah mempersempit habitat gajah, memaksa mereka masuk ke kebun warga. “Ini bukan lagi soal kebun rusak, tapi soal keselamatan kami. Warga pernah kehilangan nyawa akibat serangan gajah,” katanya tegas.

Tanpa dukungan signifikan dari pemerintah atau perusahaan sekitar, warga hanya bisa mengusir gajah secara manual—sebuah solusi yang terbukti tidak efektif.

Di sisi lain, pemerintah Kabupaten Tebo bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi sedang mencari solusi jangka panjang. Farid, perwakilan BKSDA Jambi, menjelaskan bahwa pemerintah tengah menyusun ulang tata ruang wilayah yang lebih berpihak pada kelestarian alam.

“Kita sedang mengatur ulang tata ruang agar manusia dan gajah bisa hidup berdampingan. Zona steril untuk gajah dan zona waspada bagi warga menjadi salah satu upaya yang sedang kami pertimbangkan,” ujar Farid.

Upaya lain termasuk pemasangan pagar listrik ramah lingkungan dan sosialisasi tentang jalur migrasi gajah. Pendekatan ini diharapkan bisa menciptakan keseimbangan antara kebutuhan manusia dan satwa liar. “Gajah butuh hutan untuk bertahan hidup, warga butuh kebun untuk makan. Solusinya harus adil untuk semua,” tambah Farid.

Bagi warga seperti Halmi, solusi ini masih terasa jauh. Sementara gajah terus berkeliaran di sekitar kebun, warga hanya bisa berharap pada keberuntungan untuk menghindari konflik. Mereka tetap menjaga kewaspadaan, sambil berharap pemerintah segera mengambil tindakan nyata.

Konflik antara manusia dan gajah di Bentang Alam Bukit Tigapuluh ini menggambarkan dilema konservasi modern: bagaimana menyeimbangkan pembangunan dengan pelestarian alam? Ketika hutan terus menyusut dan gajah kehilangan habitat mereka, pertarungan antara manusia dan satwa liar menjadi tak terhindarkan.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network