ebuah video yang memperlihatkan aksi seorang guru meniti rangka kawat jembatan di Desa Limbur Merangin, Kecamatan Pemenang Barat, sontak memantik empati dan kegelisahan. Publik bertanya: mengapa guru—sosok yang seharusnya dihormati dan dilindungi—harus mempertaruhkan nyawa hanya untuk tiba di sekolah?
Namun di balik potongan gambar viral itu, terdapat konteks yang lebih utuh. Pemerintah Desa Limbur Merangin akhirnya buka suara. Klarifikasi resmi pun disampaikan, agar narasi tidak terputus, dan warga mendapatkan informasi yang sebenar-benarnya.
Jembatan yang ramai diberitakan itu, menurut Pemdes, merupakan jembatan gantung lama sepanjang 144 meter yang sejak lama hanya difungsikan untuk pejalan kaki dan kendaraan roda dua. Ia menjadi penghubung antara Desa Limbur Merangin dan Simpang Limbur. Namun, karena faktor usia dan cuaca ekstrem, struktur kayunya mengalami kerusakan serius.
“Jembatan ini memang sedang kami perbaiki secara bertahap. Beberapa papan pijakan belum selesai terpasang,” ujar Kepala Desa Limbur Merangin.
Yang mungkin belum banyak diketahui publik adalah bahwa pada tahun 2023 lalu, Pemerintah Kabupaten Merangin telah membangun jembatan gantung baru. Jembatan ini lebih kuat, lebih lebar, dan dapat dilalui kendaraan roda empat. Tapi letaknya agak memutar. Sebagian warga, karena terbiasa dan merasa lebih cepat, tetap memilih melintasi jalur lama—bahkan ketika sedang diperbaiki.
Selama masa perbaikan, Pemerintah Desa juga telah menyediakan perahu motor sebagai moda alternatif penyeberangan. Namun, dalam kasus guru yang viral tersebut, perahu belum tiba saat ia hendak berangkat ke sekolah.
“Saat itu pagi-pagi. Guru mungkin tergesa, dan perahu belum standby. Karena itulah ia memilih tetap melintasi rangka kawat jembatan,” terang Kepala Sekolah tempat guru tersebut bertugas.
Pemerintah Desa menegaskan bahwa akses warga tidak pernah ditutup total. Masyarakat tetap dapat menggunakan jembatan baru, atau perahu motor yang disiagakan setiap hari. Bahkan saat ini, Babinsa turut dilibatkan untuk memantau proses perbaikan jembatan lama dan memastikan pelayanan tetap berjalan.
“Kami mengimbau warga agar lebih mengutamakan keselamatan. Jangan memaksakan diri melintasi jembatan lama yang belum rampung diperbaiki,” ujar Kepala Desa.
Peristiwa ini menyadarkan kita bahwa narasi viral di media sosial tak selalu menggambarkan seluruh sisi kenyataan. Ada keringat warga desa yang memperbaiki jembatan dengan dana terbatas. Ada tanggung jawab pemerintah kabupaten yang sudah membangun jembatan baru. Dan ada pula guru, yang di tengah keterbatasan, tetap memilih hadir untuk murid-muridnya.
Maka, klarifikasi ini bukan pembelaan, melainkan ajakan untuk memandang persoalan secara utuh. Agar tak hanya viral yang kita viralkan, tapi juga pengertian, dan niat untuk saling memperbaiki.(*)
Add new comment