PT Perkebunan Nusantara IV PalmCo, subholding dari Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), berhasil membukukan capaian monumental dalam sejarah perusahaannya. Untuk pertama kalinya sejak 1996, dua komoditas non-core, yakni teh dan karet, mencatatkan laba bersih yang signifikan, menandai keberhasilan strategi transformasi bisnis menyeluruh yang digulirkan sejak tahun 2024.
Direktur Utama PTPN IV PalmCo, Jatmiko Santosa, dalam keterangannya menjelaskan bahwa laba tersebut merupakan hasil nyata dari implementasi strategi turnaround berbasis efisiensi produksi, pengendalian biaya, hilirisasi, serta penyelarasan operasional dengan standar lingkungan dan pasar global.
“Alhamdulillah, setelah lebih dari satu dekade merugi, komoditas karet mampu mencatatkan laba bersih unaudit sebesar Rp14 miliar. Untuk komoditas teh, ini kali pertama sejak 1996 mencatatkan surplus,” ungkap Jatmiko, Selasa (20/5) di Jakarta.
Kinerja positif ini ditopang oleh pelaksanaan Smart Production Strategy, yang mencakup penataan ulang tata kelola kebun, efisiensi tenaga kerja, peningkatan kualitas hasil panen, dan rasionalisasi pekerjaan panen (ancak). Selain itu, program pengendalian biaya (cost reduction program) berhasil menekan losses secara signifikan, bahkan menekan beban rugi hingga Rp310 miliar dibandingkan tahun sebelumnya.
Capaian ini menjadi sorotan tersendiri di tengah kelesuan industri teh nasional. Menurut Asosiasi Teh Indonesia (ATI), dalam 15 tahun terakhir luas areal kebun teh nasional merosot dari 140.000 hektare menjadi 90.000 hektare, dengan penurunan produksi dari 70.000 ton menjadi 40.000 ton per tahun. Akibatnya, Indonesia tergeser dari posisi tiga besar produsen teh dunia ke peringkat tujuh.
Namun, di tengah kondisi tersebut, unit teh PalmCo di Sumatera Utara justru berhasil mencetak laba perdana. Ini disebut sebagai anomalisa positif, berkat penataan ulang manajemen produksi dan pemasaran yang lebih terarah.
“Kami menerapkan sistem hilirisasi dan membidik pasar ekspor niche yang lebih menghargai mutu. Ini bukan hanya soal untung, tetapi soal menempatkan teh dan karet sebagai aset nasional,” jelas Jatmiko.
Menjelang paruh kedua 2025, PalmCo menyatakan komitmennya untuk menjaga kesinambungan kinerja melalui program turnaround berkelanjutan. Salah satu indikatornya adalah konsistensi kinerja hingga pertengahan Mei 2025, di mana baik komoditas karet maupun teh tetap memperlihatkan tren laba positif secara konsolidasi.
Implementasi EU Deforestation Regulation (EUDR) juga mulai diadopsi untuk meningkatkan nilai tambah produk, seiring pergeseran pasar global yang makin berorientasi pada keberlanjutan dan ketertelusuran rantai pasok.
“Tantangan ke depan adalah memastikan seluruh unit kebun dan pabrik karet serta teh mencapai target operasional dan finansial secara merata. Disparitas antarunit harus ditekan, agar profitabilitas tidak hanya tercapai, tetapi juga tumbuh secara berkelanjutan,” ujar Jatmiko.
Keberhasilan PalmCo tidak hanya memperkuat posisi perusahaan sebagai pengelola sawit terbesar di dunia, tetapi juga memberi preseden positif bagi reformasi sektor perkebunan Indonesia. Strategi pengaktifan kembali aset non-core sebagai sumber nilai strategis dinilai dapat diadopsi oleh BUMN lain yang mengalami stagnasi sektor pendukung.
Sebagai subholding yang kini berada dalam fase transformasi lanjutan, PalmCo menjadi contoh bahwa efisiensi, inovasi, dan keberanian mengambil risiko strategis dapat mengubah wajah sektor perkebunan nasional.
“Kami ingin buktikan bahwa BUMN perkebunan bukan sekadar pengelola tanah, tetapi pengelola nilai. Dan nilai itu kini bangkit dari yang selama ini terpinggirkan: teh dan karet,” pungkas Jatmiko.(*)
Add new comment