Jatimulyo: Desa yang Bangkit dari Laut, Menjaga Sunyi dan Marwah

WIB
IST

Penulis : Hermanto Wartawan Senior

Kabut tipis menggantung di sela-sela pohon kapulaga. Udara pagi di lereng Menoreh seperti sepotong puisi yang belum selesai dibaca. Jalan aspal yang meliuk dari Nanggulan ke perbukitan Sibolong terasa seperti menyusuri kitab tua—ada detak yang lambat, ada jeda yang penuh makna. Burung-burung liar bersahutan dari pucuk-pucuk bambu. Jurang menganga di sisi kiri, dan pohon-pohon berdiri sabar di sisi kanan, seperti para tua yang menanti waktu dengan tenang.

Inilah Jatimulyo—sebuah desa yang berdiri di atas sunyi, diresapi embun, dan dirawat oleh adat.

Banyak yang tak menyangka bahwa tanah ini dulu dasar laut. Di sela ladang dan bukitnya, tersimpan cangkang kerang, sirip ikan, dan batuan karang yang menjadi fosil. Penelitian dari para geolog Universitas Gadjah Mada mencatat bahwa bebatuan di kawasan ini identik dengan formasi batuan dasar Laut Jawa. Bukti itu menyiratkan bahwa Jatimulyo pernah terendam jutaan tahun silam, sebelum perut bumi mendorongnya naik menjadi bukit yang kini berdiri di ketinggian ±600 meter di atas permukaan laut.

Namun, bukan keajaiban geologis itu yang membuat desa ini dihormati, melainkan cara hidup warganya—sederhana, tapi teguh menjaga marwah.

Saya bertemu Lurah Anom Sucandoro dan Pak Sarijo, seorang Kamituwa yang juga menjabat sebagai Kasi Kesra Kelurahan Jatimulyo—tokoh adat, imam masjid, dan penjaga warisan budaya Dusun Sibolong—di sebuah ruang kecil di kantor kelurahan. Meja dan kursi kayu berwarna hijau, tembok yang tidak mewah tapi bersih. Di atas meja, tersaji tiga cangkir kopi hitam dan sepiring bakwan jagung yang renyah. Di luar, suara gamelan pelan terdengar—seorang warga sedang menyetel nada, menjaga agar alat musik itu tetap hidup.

Kami duduk dalam keheningan yang bukan canggung, tapi penuh hormat. Rokok dibakar perlahan, kopi diseruput dalam jeda yang dalam. Lalu kisah pun dimulai.

“Dulu, belum disebut Jatimulyo,” ujar Pak Anom. “Masih dua desa: Jogerangan dan Jokomulyo. Buyut kami masing-masing ditugasi membuka alas oleh Kerajaan Mataram. Lalu, tahun 1947, dua desa itu disatukan.”

Pak Sarijo menimpali, suaranya tenang seperti doa magrib,

“Kami ini bukan pemimpin karena dipilih saja. Kami ini pewaris amanat. Desa ini bukan soal jabatan, tapi soal jiwa.”

Dua garis keturunan buyut itu kini berlanjut dalam dua tokoh ini. Sejarah desa bukan sekadar dongeng, tapi hidup dalam tubuh orang-orangnya. Mereka berbicara lembut, menunduk ketika menyapa, dan tahu letak tutur dalam kehidupan sosial. Di sini, adat dan sopan santun tidak diajarkan lewat buku, tapi dilatih dengan teladan.

Tak banyak yang tahu, Pak Anom bukan hanya lurah, ia juga seorang dalang. Lakon-lakon pewayangan yang ia pentaskan bukan sekadar hiburan, tapi sarana pewarisan nilai—bagian dari tradisi roh budaya yang diwariskan dari leluhur. Ia tak hanya memimpin desa secara administratif, tapi juga memelihara “suara tanah”—dengan tembang, dengan wayang, dan dengan filosofi hidup.

Pak Anom mendapat dua SK saat dilantik: satu dari Bupati Kulon Progo, sebagai hasil pemilihan warga, dan satu dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, sebagai bentuk pengakuan terhadap peran budayanya. Tak semua lurah di Yogyakarta menerima kehormatan seperti itu. Hanya mereka yang dinilai mampu menjaga ruh keistimewaan: budaya musyawarah, budaya tutur, dan tata hidup yang menenangkan.

Warga Jatimulyo hidup dalam kesahajaan. Mereka bertani, menggembala kambing, menyadap nira, dan menjemur hasil bumi dalam irama yang tidak tergesa. Namun dalam tutur kata mereka, ada tata. Dalam langkah mereka, ada warisan. Mereka tidak menolak modernitas, tapi menegosiasikannya. Gelar akademik tak berarti jika tak tahu sopan. Jabatan tak mulia jika tak tahu duduk diri.

Tak jauh dari kantor kelurahan, berdiri Gua Kiskendo—tempat yang menyimpan jejak legenda dan kenyataan. Di dalamnya terdapat jejak kaki kerbau, sumelong (lubang tegak alami), batu duduk, dan lorong-lorong batu yang oleh masyarakat diyakini sebagai bagian dari kisah Mahabharata. Di sanalah konon terjadi pertempuran antara Subali dan raksasa Mahesasura.

“Cerita pewayangan itu bukan dongeng bagi kami,” kata Pak Sarijo. “Itu jejak.”

Selain Kiskendo, wilayah ini juga menaungi Air Terjun Kedung Pedut, Sungai Mudal, Gunung Kelir, dan Sendang Mudal. Semua masih dalam wilayah Kelurahan Jatimulyo, yang hanya berjarak sekitar 90 menit dari pusat Kota Yogyakarta. Tapi yang jauh bukanlah jaraknya—melainkan suasananya. Di sini, waktu tidak berjalan terburu-buru. Ia seperti berjalan berjinjit.

Dalam beberapa tahun terakhir, Kelurahan Jatimulyo telah menerima sejumlah penghargaan nasional—dari pelestarian budaya, konservasi alam, hingga pengelolaan wisata berbasis kearifan lokal. Namun Pak Sarijo berkata,

“Yang kami jaga bukan piagamnya, tapi batin warganya.”

Warga tetap menjemur kopi tua di halaman. Anak-anak tetap membawa rumput dengan keranjang. Para perempuan tetap memetik kapulaga liar, menumbuk jagung, atau menyeduh teh di beranda. Tak ada yang berubah, tapi semuanya terasa cukup.

Di sini, kehidupan bukan perlombaan, tapi perawatan. Adat bukan beban, tapi cahaya. Sunyi bukan kekosongan, tapi warisan.

Jika Anda datang ke sini, mungkin Anda tak menemukan kemewahan. Tapi Anda akan pulang membawa sesuatu yang lebih abadi: kesadaran bahwa hidup tak harus gaduh untuk berarti.(*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network