Jakarta – DPR RI akhirnya buka suara soal "17+8 Tuntutan Rakyat" yang sempat viral dan diserahkan langsung ke Senayan. Lewat siaran resmi di kanal YouTube DPR, Kamis (4/9/2025), tiga Wakil Ketua DPR yakni Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal mengumumkan sejumlah langkah korektif.
Ketua DPR RI Puan Maharani tidak hadir, namun namanya tetap tercantum dalam dokumen keputusan.
Dalam pengumuman itu, DPR memutuskan menghentikan tunjangan perumahan seluruh anggota DPR sejak 31 Agustus 2025.
Selain itu, DPR juga memberlakukan moratorium perjalanan dinas ke luar negeri mulai 1 September 2025, kecuali undangan resmi kenegaraan.
Tak hanya itu, fasilitas lain seperti biaya listrik, telepon, komunikasi, hingga tunjangan transportasi juga masuk daftar evaluasi pemangkasan.
“Keputusan ini bagian dari koreksi anggaran dan upaya penghematan negara,” kata Dasco.
Langkah ini disebut sebagai jawaban awal atas sebagian dari 25 poin "17+8 Tuntutan Rakyat" yang diserahkan gabungan tokoh sipil, aktivis, dan influencer muda seperti Andhyta F. Utami (Afu), Jerome Polin, dan Andovi da Lopez sehari sebelumnya.
DPR juga menegaskan anggota DPR yang sudah dinonaktifkan partai tidak lagi berhak atas fasilitas keuangan. Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) diminta berkoordinasi dengan Mahkamah Partai Politik untuk menindaklanjuti hal ini.
Namun respons itu dinilai belum menjawab substansi mayoritas tuntutan. Afu lewat akun media sosialnya menyebut DPR baru menjawab isu penghematan anggaran, sementara tuntutan reformasi kelembagaan DPR lewat pembaruan UU Pemilu belum ditanggapi.
“Ini baru langkah kecil. Agenda besar seperti reformasi sistem pemilu masih harus dikawal,” tulis Afu.
Aktivis sosial Ferry Irwandi juga menilai DPR menghindar dari isu serius seperti pembentukan tim investigasi independen kasus kematian Affan Kurniawan, driver ojol yang diduga tewas dilindas rantis Brimob saat demo.
“Nasib demonstran yang ditahan juga tak jelas. Belum ada jawaban terkait desakan tarik TNI dari pengamanan sipil maupun reformasi kepolisian,” kritik Ferry.
Gerakan "17+8 Tuntutan Rakyat" lahir dari keresahan publik soal ketimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan lemahnya perlindungan sipil. Dokumen berisi 25 poin itu viral di media sosial, dengan isu mulai dari pemangkasan fasilitas DPR, pembenahan sistem pemilu, hingga perlindungan kebebasan sipil.
Saat diserahkan ke DPR, dokumen diterima Wakil Ketua VI DPR Andre Rosiade dan anggota Komisi VI Rieke Diah Pitaloka.
Kini, masyarakat menanti apakah keputusan DPR kali ini akan berlanjut ke reformasi yang lebih substansial atau sekadar kompromi simbolik untuk meredam gelombang protes.
“Hubungan rakyat dan wakilnya tidak berhenti di bilik suara. Tuntutan dan pengawasan publik adalah bagian penting demokrasi,” kata seorang inisiator gerakan.(*)
Add new comment