Denyut ekonomi jalanan itu berdetak kencang. Hanya sepelemparan batu dari Masjidil Haram, Makkah. Jumat, 24 Oktober 2025 lalu, pemandangan itu tersaji jelas.
Sebuah pasar dadakan, panggung bagi para imigran asal Afrika untuk mengadu nasib.
Di sepanjang jalan utama dan lorong-lorong sempit di depan hotel, pemandangan itu kontras dengan kemegahan Kota Suci. Mereka, para pedagang berkulit hitam, datang dari berbagai penjuru Benua Afrika.
Modalnya sederhana. Cuma selembar kain tipis yang dibentang di atas jalan dan trotoar. Di atas alas seadanya itu, beragam dagangan digelar. Dari gamis, abaya, dan pakaian lainnya. Termasuk pula balsem geliga. Entah dari mana sumbernya.
Mereka tak kenal waktu. Sejak pagi, berlanjut di bawah terik matahari siang, hingga larut malam.
Amel, seorang jemaah umrah asal Jambi, ikut menyaksikan langsung suasana itu. Ia, yang berada di Tanah Suci bersama rombongan AJWA Tour untuk periode 22 Oktober hingga 3 November 2025, mengaku kerap melihat pemandangan itu saat berjalan dari hotel menuju masjidil haram.
Ada fenomena unik lain di pasar tumpah ini. Kendati berasal dari Benua Hitam, para pedagang itu rupanya fasih 'berbahasa Indonesia'. Tentu, bukan bahasa Indonesia yang utuh, melainkan kosa kata transaksional.
Mereka terampil menyebut angka-angka dalam bahasa Indonesia untuk menawarkan harga, misalnya, "hajah cantik. Dibeli dibeli”
Bukan cuma itu. Lembaran Rupiah ternyata juga laku di lapak-lapak ini. "Murah, murah!" begitu seru mereka, mencoba menarik hati rombongan jemaah asal Indonesia, yang memang dikenal sebagai salah satu kontingen terbesar. Sebuah siasat dagang yang efektif melintasi batas bahasa dan mata uang.
Daya tarik utama mereka, tentu saja, harga miring. Angka yang dipatok memang sudah murah, tapi masih bisa digoyang.
“Bisa tawar," kata Amel.
Satu helai abaya, misalnya, bisa dilepas di angka 50 ribu hingga 100 ribu Rupiah. Harga yang nyaris mustahil didapat di toko-toko resmi.
Bahkan ada celetukan unik saat transaksi 100 ribu Rupiah terjadi. Untuk memastikan nilai uang kertas berkelir merah, mereka terkadang menyebutnya "100 ribu Jokowi".
Sebagian lain, mungkin untuk mengambil hati pembeli yang berbeda, menyebut "100 ribu Prabowo". Nama dua tokoh politik utama Indonesia itu rupanya telah menjadi 'kurs' tidak resmi di trotoar Makkah, penanda selembar uang bergambar Soekarno-Hatta.
“Mereka juga mau menerima uang rupiah,”ujar Amel.
Di balik kefasihan berbahasa Indonesia itu, aktivitas ini tetaplah bisnis di zona terlarang.
Di mata pemerintah Kerajaan Arab Saudi, mereka adalah pedagang ilegal. Inilah yang mengubah perniagaan menjadi sebuah drama kejar-kejaran yang tak berkesudahan. Musuh utama mereka adalah "askar" alias aparat keamanan.

Setiap kali patroli mendekat, pasar itu bubar dalam hitungan detik. Pemandangan yang disaksikan langsung Amel pekan lalu itu bak adegan film laga. Para pedagang lari tunggang langgang. Kain alas dagangan ditarik, diikat, lalu diangkut sambil berlari menghindari sergapan.
Tapi, mereka tak pernah benar-benar pergi. Setelah derap langkah askar menjauh, mereka kembali. Satu per satu, lapak-lapak itu kembali terhampar. Begitu terus-menerus.
Sebut saja Jasmine. Perempuan ini mengaku berasal dari Afrika Selatan. Ia adalah salah satu dari ratusan pedagang yang menggantungkan hidup di jalanan Makkah.
"Sudah setahun saya berjualan di sini," katanya dalam bahasa Afrika Selatan, saat diwawancarai menggunakan Google translate.
Risikonya sepadan dengan hasilnya. Dalam sehari, Jasmine mengaku bisa mengantongi 200 hingga 300 Riyal. Jika dirupiahkan, angkanya cukup fantastis, sekitar Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta per hari.
Hidup dalam kejaran dan ketakutan tentu bukan hal yang menyenangkan. Namun, bagi Jasmine, rasa takut itu tak lebih besar dari kebutuhan untuk bertahan hidup.
"Walau berdagang dalam ketakutan dan kejaran aparat, saya tak peduli," ujarnya tegas.
"Karena berdagang, menurut saya, adalah cara mendapatkan uang yang halal,” ujarnya tersenyum.(*)
Add new comment