Jakarta - Edukator sekaligus konten kreator Ferry Irwandi kembali mengangkat isu hukum krusial melalui kanal YouTube Malaka Project. Dalam edisi 'Bahasa Bayi' terbaru, Ferry membedah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang disahkan pada 18 November 2025.
Ia menyoroti definisi 'keadaan mendesak' yang dinilai berpotensi menjadi pasal karet.
Dalam video yang diunggah Kamis (20/11/2025), Ferry menyoroti proses pengesahan yang dianggapnya minim transparansi dan terkesan kejar tayang. Ia mengungkapkan kekagetannya karena perubahan draf terjadi sangat drastis dalam waktu singkat.
Naskah tanggal 13 November disebutnya sangat berbeda dengan draf final tanggal 18 November yang baru dipublikasikan beberapa jam sebelum ketok palu. Menurutnya, hal ini memicu distorsi informasi karena publik tak diberi kesempatan cukup untuk menelaah naskah setebal 156 halaman itu.
Ferry kemudian membedah poin krusial mengenai aturan penyitaan (Pasal 120) dan pemblokiran (Pasal 140). Meskipun regulasi mewajibkan adanya izin ketua pengadilan negeri, terdapat klausul pengecualian untuk 'keadaan mendesak'.
Ferry menggarisbawahi bahaya dari frasa ini karena salah satu indikatornya didasarkan pada situasi menurut penilaian penyidik. Ia menilai aturan ini memberikan ruang subjektivitas yang terlalu luas bagi aparat tanpa adanya matriks atau tolok ukur yang jelas, sehingga rawan penyalahgunaan.
Masalah penyadapan juga tak luput dari kritiknya. Mengacu pada Pasal 1 ayat 36 dan Pasal 136, Ferry mempertanyakan aturan teknis penyadapan yang dilempar ke undang-undang tersendiri. Persoalannya, undang-undang pelaksana itu belum ada wujudnya hingga saat ini. Hal ini dinilai Ferry membuat status tindakan penyadapan menjadi menggantung dan tidak memiliki landasan hukum yang kokoh di masa transisi.
Terkait isu penangkapan yang meresahkan masyarakat, Ferry meluruskan bahwa Pasal 94 sejatinya memberikan perlindungan dengan syarat minimal dua alat bukti. Kendati demikian, ia meminta publik tetap waspada terhadap Pasal 90 yang memperbolehkan penangkapan lebih dari satu hari karena alasan "hal tertentu". Istilah yang abu-abu ini dikhawatirkan Ferry menjadi celah hukum baru.
Menutup analisisnya, Ferry menyarankan langkah konstitusional melalui Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai solusi paling efektif. Langkah ini dinilai perlu diambil mengingat adanya dugaan cacat formil, seperti klaim pencatutan nama pihak yang merasa tidak dilibatkan, serta berbagai masalah materiil dalam pasal-pasal tersebut.
Ferry juga mengajak masyarakat untuk membaca langsung naskah final KUHAP agar tidak mudah termakan potongan informasi yang tidak utuh.(*)
Add new comment