Pendidikan Tahfiz Kita Sedang Tidak Baik Baik Saja

WIB
IST


Oleh : Kaspul Anwar Ph.D

Dosen dan peneliti di Institut Agama Islam Muhammad Azim Jambi. Saat ini Ia mendapat tugas tambahan sebagai Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan IAI Muhammad Azim Jambi.


JAMBI - Dalam satu dekade terakhir, rumah tahfiz dan pesantren tahfiz tumbuh menjamur di berbagai daerah. Hampir setiap kampung memiliki lembaga tahfiz dengan semangat mulia untuk mencetak generasi penghafal Al-Qur'an. Fenomena ini sekilas tampak sebagai kebangkitan pendidikan keislaman. Namun ketika para lulusan tahfiz tersebut melanjutkan studi ke perguruan tinggi, muncul kenyataan yang mengusik nurani. Banyak di antara mereka yang gagap menghadapi tuntutan akademik, lemah dalam pengetahuan umum, dan tidak sedikit yang justru menunjukkan adab yang jauh dari nilai-nilai Al-Qur'an. Di titik inilah kita perlu berkata jujur bahwa pendidikan tahfiz kita sedang tidak baik baik saja.

Menghafal Al-Qur'an sering dipandang sebagai puncak keberhasilan pendidikan keislaman. Gelar hafiz atau hafizah membawa kebanggaan, baik bagi keluarga, lembaga pendidikan, maupun masyarakat. Namun ketika anak-anak penghafal Al-Qur'an memasuki dunia perguruan tinggi, muncul realitas yang perlu dibicarakan secara jujur dan bertanggung jawab.

Dalam praktiknya, tidak sedikit mahasiswa berlatar belakang tahfiz yang datang ke perguruan tinggi dengan kesiapan belajar yang rendah. Mereka kesulitan membaca teks akademik, lemah dalam pengetahuan umum, dan tidak terbiasa berpikir kritis. Padahal, dunia perguruan tinggi menuntut kemandirian intelektual, kemampuan literasi yang kuat, serta kesiapan mental untuk berdialog dengan berbagai disiplin ilmu.

Yang lebih memprihatinkan, persoalan ini tidak hanya menyangkut kapasitas akademik. Dalam sejumlah kasus, sikap dan adab keseharian mereka justru tidak mencerminkan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an. Cara berbicara, etika berinteraksi, hingga tanggung jawab akademik sering kali jauh dari gambaran ideal seorang penghafal Al-Qur'an. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Apakah Al-Qur'an benar-benar telah dihadirkan sebagai pedoman hidup, atau sekadar menjadi objek hafalan?

Fakta yang lebih menyedihkan lagi, dari sepuluh anak-anak penghafal Al-Qur'an, delapan di antaranya bahkan tidak mengingat atau mengetahui satu hadis pun. Kondisi ini menunjukkan adanya jurang serius dalam pendidikan keislaman kita. Al-Qur'an seolah dipisahkan dari Sunnah, seakan keduanya dapat berjalan sendiri. Padahal, Rasulullah adalah pengejawantahan hidup dari Al-Qur'an itu sendiri. Menghafal Al-Qur'an tanpa dasar hadis berisiko melahirkan generasi yang hafal teks, tetapi kehilangan teladan praksis.
Masalah ini tidak dapat sepenuhnya dibebankan kepada anak-anak tersebut. Akar persoalannya terletak pada sistem pendidikan tahfiz yang terlalu berorientasi pada target-target kuantitatif. Jumlah juz, kecepatan hafalan, dan capaian formal sering kali lebih diutamakan daripada pemahaman makna, pembinaan adab, penguatan literasi, dan integrasi dengan ilmu pengetahuan umum. Anak-anak didorong untuk selesai menghafal, tetapi tidak dipersiapkan untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat.

Akibatnya, ketika mereka memasuki perguruan tinggi, terjadi benturan antara identitas simbolik sebagai hafiz dan kapasitas riil sebagai mahasiswa. Di titik inilah kekecewaan muncul, baik dari dosen, lingkungan kampus, maupun dari diri mereka sendiri.

Tulisan ini bukan untuk merendahkan kemuliaan menghafal Al-Qur'an. Sebaliknya, ini adalah ajakan untuk melakukan evaluasi serius. Menghafal Al-Qur'an adalah amanah besar. Amanah itu seharusnya melahirkan keunggulan akhlak, keluasan wawasan, dan kedalaman ilmu. Jika hafalan tidak membentuk adab, tidak mendorong kecintaan pada ilmu, dan tidak melahirkan tanggung jawab sosial, maka ada yang keliru dalam cara kita mendidik.
Sudah saatnya pendidikan tahfiz dikembalikan pada ruhnya. Al-Qur'an tidak cukup dihafal, tetapi harus dipahami, dihayati, dan dihidupkan. Perguruan tinggi seharusnya menjadi ruang di mana para penghafal Al-Qur'an tampil sebagai teladan intelektual dan moral, bukan justru menjadi potret kegagalan integrasi antara hafalan, ilmu, dan adab.

Mendidik penghafal Al-Qur'an sejatinya bukan sekadar mencetak penjaga teks suci, tetapi melahirkan manusia berilmu, beradab, dan beramal untuk kemaslahatan umat dan peradaban.

Pendidikan tahfiz tidak boleh berhenti pada kebanggaan institusional dan seremonial. Ia harus diuji pada dampaknya. Jika lulusan tahfiz kesulitan belajar di kampus, miskin pengetahuan dasar, dan lemah dalam adab, maka persoalannya bukan pada anak-anaknya, melainkan pada sistem yang membentuk mereka. Dalam kondisi seperti ini, menyatakan bahwa pendidikan tahfiz kita sedang tidak baik baik saja bukanlah bentuk pesimisme, melainkan langkah awal menuju perbaikan. (*)

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network