Batanghari– Setelah mencuat desakan publik dan investigasi tim Jambi Link bersama Perkumpulan Hijau, terkait kerusakan lingkungan di Koto Boyo, akhirnya aparat penegak hukum dan pemerintah pusat turun tangan.
Tim Ditreskrimsus Polda Jambi, Polres Batanghari, Kementerian ESDM, serta Dinas Lingkungan Hidup telah melakukan pengecekan lapangan di kawasan tambang batubara yang terbengkalai tanpa reklamasi.
Pemeriksaan ini berfokus pada lubang-lubang besar yang dibiarkan menganga setelah eksploitasi batubara, yang kini membentuk danau-danau raksasa berisi air beracun. Salah satu tim investigasi di lapangan mengungkapkan bahwa mereka melakukan survei langsung bersama Kepala Teknik Tambang (KTT) perusahaan yang beroperasi di sana.
“Kami ingin mengetahui fakta di lapangan, mengapa lubang-lubang ini tidak direklamasi sesuai aturan,” ujar Kanit III Subdit IV Ditreskrimsus Polda Jambi.
Saat ini, investigasi awal difokuskan pada PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM), salah satu perusahaan tambang di Koto Boyo yang dikendalikan oleh Rizal Senangsyah, bagian dari grup bisnis keluarga Senangsyah yang selama ini disebut sebagai penguasa tambang di Jambi.
Dari hasil pengecekan awal di PT BBMM, ditemukan fakta lubang tambang dengan kedalaman mencapai 4 meter dan luas permukaan 3,2 hektare, yang kini penuh dengan air. Tim juga melakukan pengukuran langsung dan meminta penjelasan dari KTT PT BBMM mengenai alasan di balik tidak dilakukannya reklamasi.
“Kami masih menggali lebih lanjut alasan teknisnya, apakah ini memang ada kelalaian atau kesengajaan dari perusahaan. Tapi yang jelas, lubang ini tidak boleh dibiarkan begitu saja," ujarnya.
Investigasi ini membuktikan bahwa lubang-lubang eks tambang yang dibiarkan begitu saja di Koto Boyo bukan sekadar rumor, melainkan fakta kejahatan lingkungan yang dilakukan secara sistematis.
Hasil investigasi Perkumpulan Hijau sebelumnya telah mengungkap bahwa ribuan hektare lahan eks tambang di Koto Boyo tidak direklamasi. Bahkan, wilayah ini dulunya merupakan HGU sawit milik PT Sawit Desa Makmur (SDM), luasannya 14.225 hektar, yang kemudian dialihfungsikan menjadi tambang batubara oleh berbagai perusahaan di bawah kendali keluarga Senangsyah.
Ini adalah kejahatan lingkungan yang terang-terangan! Perusahaan eksploitasi sumber daya, tapi tak ada tanggung jawab memperbaiki lingkungan. Ini mirip kasus tambang timah Bangka Belitung yang menyeret Harvey Moeis, bahkan lebih parah.
Sebelumnya, Feri Irawan, direktur Perkumpulan Hijau telah mendesak pemerintah untuk mencabut izin HGU PT SDM serta membekukan izin tambang di wilayah Koto Boyo karena dianggap telah menghancurkan lingkungan dan merampas ruang hidup Suku Anak Dalam (SAD).
Publik kini mempertanyakan, kemana dana reklamasi yang seharusnya digunakan untuk menutup lubang-lubang tambang ini?
Sesuai Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, setiap perusahaan tambang wajib menyetor dana reklamasi dan pascatambang sebelum memulai aktivitasnya. Namun, di Koto Boyo, nyatanya lubang-lubang tambang tetap dibiarkan terbuka!
Kasus ini semakin mirip dengan skandal tambang timah Bangka Belitung yang menyeret Harvey Moeis, di mana eksploitasi besar-besaran dilakukan, tetapi kerusakan lingkungan tidak pernah dipulihkan.
“KPK harus turun! Harus diaudit ke mana uang reklamasi yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki lingkungan!”
Menurut Jefri Bintara Pardede, mantan anggota DPRD Kota Jambi, polemik ini semakin mengarah pada tindak pidana korupsi. Apalagi, dalam kasus tambang batubara Jambi, ada fakta lain yang menguatkan dugaan permainan uang. Yakni, pengusaha tambang diwajibkan menyetor iuran ke PPTB sebesar Rp7.500 per ton sebelum melintas di Sungai Batanghari. Dengan target produksi batubara 11 juta ton pada 2024, dana yang masuk ke PPTB bisa mencapai Rp82 miliar.
Hingga kini, PPTB belum transparan soal kemana aliran uang itu!PPTB di bawah kepemimpinan Asnawi terus menghindar dari pertanyaan media soal pengelolaan dana ini. Begitu juga pemerintah, yang hingga kini belum memberikan klarifikasi apakah mengetahui atau membiarkan skema iuran ini berjalan.
Kini, setelah Ditreskrimsus Polda Jambi, Kementerian ESDM, dan Dinas Lingkungan Hidup turun langsung ke lapangan, publik mendesak agar investigasi ini tidak hanya menjadi formalitas. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus mengusut perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan reklamasi, serta menindak tegas oknum pejabat yang membiarkan ini terjadi.
"Kami tidak butuh survei saja, kami butuh tindakan hukum! Harus ada yang bertanggung jawab!" ujar Jefri Bintara Pardede.
Update terus berita ini di Jambi Link!
Berikut Foto-fotonya :







Comments
Batu bara
Betul pak.lgsg aja..pasti al haris terlibat.. krna dia yg bgtu kuat mengizinkan kan batu bara lwat jalan nasional..pasti dapat duit.padahal msyrkat tidak mngzik an lwt jln nasional.. undang kpk
Add new comment