Polemik ihwal pungutan kompensasi hauling batubara terus menyeruak. Kali ini, Jefri Bintara Pardede, eks anggota DPRD Kota Jambi menyoroti masalah pungutan hauling batubara yang melintas jalur integra.
Jefri mempertanyakan legalitas, transparansi, dan dasar hukum pemungutan dana dengan kurs dolar per ton yang dibebankan kepada pengusaha batubara yang melintasi jalur ini.
Apakah ini pungutan resmi atau bentuk "pajak liar" yang tidak memiliki dasar hukum?
Jefri menjelaskan, jalur integra ini melintasi daerah Simpang Niam Tebo menuju Dusun Mudo Tanjab Barat. Untuk menuju pelabuhan integra, hauling batubara menggunakan jalan yang melewati wilayah konsesi hutan milik salah satu perusahaan raksasa.
Pengakuan sejumlah pengusaha kepada Jefri, mereka diwajibkan membayar per ton dalam kurs dolar, saat melintas jalan di wilayah konsesi hutan itu. Jefri meminta perusahaan yang memungut segera menjelaskan secara terbuka kepada publik.
“Jalan yang digunakan untuk hauling ini berada di dalam konsesi hutan. Tapi apakah pemungutan kompensasi ini memiliki dasar hukum yang jelas? Jika memang sah, mana perjanjiannya? Berapa total uang yang telah dikumpulkan? Bagaimana dengan pajaknya?” tanya Jefri.
Pertanyaan ini sangat penting karena hingga kini, belum ada penjelasan terkait pengelolaan dana miliaran rupiah dari pungutan tersebut.
Menurut Jefri, ada beberapa pertanyaan krusial terkait dasar hukum pungutan ini. Apakah ada izin dari pemerintah terkait pemungutan kurs dolar per ton? Apakah dana ini masuk dalam laporan pajak dan transparan penggunaannya? Jika ini perjanjian dengan perusahaan batubara, apakah sudah disetujui oleh KLHK dan Kementerian ESDM?
“Jika tidak ada izin resmi, maka pemungutan ini bisa masuk kategori pungutan liar yang berpotensi melanggar hukum,” jelas Jefri.
Jefri telah memperoleh kabar, bahwa sejak ramai pemberitaan tentang pungutan liar, aktivitas hauling di wilayah konsesi ini dihentikan.
“Kita tetap minta uang yang telah ditarik, wajib diaudit,” bebernya.
Selain soal pungutan, status jalan hauling ini juga dipertanyakan.
Menurut Jefri, jika benar jalan ini masih masuk dalam konsesi kehutanan, pemanfaatannya untuk hauling batubara bisa bertentangan dengan regulasi kehutanan.
"Apakah perusahaan itu membangun jalan ini sendiri? Atau ada dana pemerintah yang ikut serta? Jika ada unsur dana negara, maka pungutan per ton ini sangat bermasalah!" ujar Jefri.
Selain itu, jika jalan ini memang milik perusahaan, mengapa penggunaannya tidak diatur secara transparan dan hanya berdasarkan kesepakatan dengan pengusaha batubara?
"Kami meminta pemerintah turun tangan mengecek status jalan hauling ini!" tegasnya.
Jefri menyoroti dugaan kurangnya transparansi dalam penggunaan dana ini.
“Kalau memang ini sah, mana laporan keuangannya? Bagaimana transparansi penggunaannya? Berapa total yang sudah dikumpulkan? Apakah masuk dalam pajak atau hanya jadi kantong pribadi?”
Jefri menegaskan bahwa jika dana ini tidak dikelola secara transparan dan akuntabel, maka aparat penegak hukum harus turun tangan mengusutnya.
"Pengusaha tambang diwajibkan menyetor tapi tidak jelas alirannya ke mana. Apakah ada oknum yang bermain?" katanya.
Kompensasi per ton jika dikalikan dengan produksi batubara yang melintas jalur integra ini, bisa mencapai puluhan hingga miliaran rupiah per tahun.
"Jangan sampai ini hanya dalih untuk memungut dana tanpa pertanggungjawaban!" tambahnya.
Jefri meminta audit menyeluruh untuk memastikan bahwa pungutan ini tidak menyalahi aturan.
"Jika ditemukan pelanggaran hukum, aparat harus bertindak! Jangan sampai ini menjadi ajang mencari keuntungan tanpa dasar hukum!" tegasnya.(*)
Add new comment