Longsor yang memutus jalan lingkungan di Desa Mendalo Darat, Kecamatan Jambi Luar Kota, bukan sekadar tragedi alam. Peristiwa ini mengungkap rentannya infrastruktur yang seharusnya menopang kehidupan warga. Penjabat Bupati Muaro Jambi, Drs. Raden Najmi, bersama Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Yultasmi, segera turun ke lokasi untuk menenangkan warga dengan janji perbaikan cepat. Namun, apakah itu cukup?
Di lokasi, Najmi berdiri di tepi jalan yang terputus, menyampaikan komitmen yang terdengar seperti retorika klasik pejabat.
“Kami tidak akan membiarkan kerusakan ini berlarut-larut. Perbaikan akan dilakukan segera untuk memastikan kelancaran aktivitas masyarakat,” ujarnya, disaksikan warga yang mulai lelah mendengar janji yang sama setiap kali bencana melanda.
Insiden longsor ini tidak datang tanpa peringatan. Wilayah Mendalo Darat dikenal dengan kondisi geografis rawan longsor, namun infrastruktur jalan tetap dibangun tanpa mempertimbangkan mitigasi risiko. Pembangunan jalan yang mengabaikan fondasi tahan bencana kini memperlihatkan hasilnya: akses terputus, ekonomi desa terganggu, dan warga menanggung dampaknya.
“Setiap musim hujan, kami selalu khawatir jalan ini akan ambrol. Bukan karena kami ahli konstruksi, tetapi karena sudah terlihat retaknya dari lama,” kata salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kritik paling tajam datang dari warga lainnya, Andri. “Longsor ini bukan sekadar bencana alam, tetapi juga produk dari pengabaian pemerintah terhadap standar pembangunan. Pemkab Muaro Jambi harus bertanggung jawab, bukan hanya dengan perbaikan tambal sulam, tetapi perencanaan infrastruktur yang lebih baik di masa depan,” ujarnya.
Yultasmi, Kepala Dinas PUPR, menjanjikan evaluasi teknis dan rencana pembangunan ulang jalan yang lebih kokoh. Namun, langkah ini menimbulkan pertanyaan: mengapa evaluasi baru dilakukan setelah kerusakan terjadi? Tidakkah ada audit rutin atau langkah antisipatif sebelumnya?
Sementara itu, Pemkab Muaro Jambi menyiapkan jalur alternatif, tetapi solusi ini hanya sementara dan tidak cukup memadai. Jalan alternatif tersebut hanya bisa dilalui kendaraan ringan, memperpanjang waktu perjalanan dan memperburuk beban masyarakat yang sudah sulit bergerak.
Kritik juga diarahkan pada pemanfaatan anggaran daerah. Dengan APBD yang dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, mengapa masih terjadi pembangunan yang rentan gagal seperti ini? Transparansi anggaran menjadi isu krusial yang tidak bisa lagi diabaikan.
“Kami tidak hanya butuh jalan diperbaiki, kami butuh perencanaan yang menjamin ini tidak terjadi lagi,” ujar seorang warga. “Kalau hanya diperbaiki dan hancur lagi, sama saja membuang uang rakyat.”
Ketika Najmi dan Yultasmi meninggalkan lokasi, janji mereka masih menggantung di udara. Apakah ini hanya upaya pencitraan atau langkah nyata menuju perbaikan? Warga kini menunggu, bukan hanya jalan yang kembali tersambung, tetapi juga sistem yang benar-benar bekerja untuk mereka. Jika janji ini tidak ditepati, longsor berikutnya mungkin tidak hanya mengikis tanah, tetapi juga sisa-sisa kepercayaan yang masih dimiliki masyarakat terhadap pemimpin mereka.(*)
Add new comment