Jeritan dari Sekamis

WIB
IST

Senin itu, 9 September 2024, suasana di halaman depan kantor Bupati Sarolangun tak seperti biasanya. Langit yang biasanya cerah berubah menjadi gelap oleh awan protes yang menggumpal. Puluhan warga dari Desa Sekamis, termasuk anggota Suku Anak Dalam (SAD), datang dengan satu tujuan—menuntut keadilan. Di antara mereka, terlihat wajah-wajah yang penuh ketegangan, mata yang memancarkan tekad untuk merubah nasib mereka.

Di tengah kerumunan, seorang orator berdiri tegak, suaranya menggema di antara bangunan-bangunan pemerintah yang megah. “Kami masyarakat Desa Sekamis, Kecamatan Cermin Nan Gedang, Kabupaten Sarolangun menyatakan bahwa kami tidak mau dipimpin Jakpar sebagai Kepala Desa Sekamis!” teriaknya, menggugah semangat massa yang bersiap mendengar kisah pahit tentang kepemimpinan yang mengecewakan.

Jakpar, yang dulu diharapkan sebagai pemimpin yang bisa membimbing desa menuju kemakmuran, kini menjadi sosok yang dibenci. Di bawah kepemimpinannya, warga Sekamis merasa ditinggalkan dan dikhianati. Temuan dugaan korupsi yang melibatkan dana desa menjadi pemicu utama kemarahan mereka. Seiring berjalannya waktu, kekecewaan terhadap Jakpar hanya semakin menumpuk.

"Selama Jakpar memimpin, kami melihat banyak kekeliruan dalam penggunaan dana desa. Tak hanya itu, aset desa berupa tenda pun diduga digelapkan olehnya," ujar orator, mengungkapkan luka yang dirasakan oleh masyarakat. Mereka telah lama menunggu perubahan, namun harapan itu tak pernah datang. Kesabaran mereka akhirnya habis, dan hari itu, mereka memutuskan untuk bertindak.

Temengung Sikamis Milang, seorang tokoh penting dari komunitas SAD, turut angkat bicara. “Kemaren saya sudah mengajak Bapak Bupati dan camat untuk mengecek ke lokasi, namun sampai saat ini belum ada juga,” ucapnya, suaranya penuh dengan rasa frustrasi. Milang, yang biasanya dikenal sebagai sosok tenang, kini berbicara dengan nada penuh kekhawatiran. Di matanya, ia bukan hanya berbicara untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk seluruh masyarakat yang merasa terpinggirkan.

Di hadapan kerumunan yang semakin memanas, Asisten I Sarolangun, Arif Ampera, muncul sebagai penengah. Dengan langkah mantap, ia berdiri di hadapan warga, mencoba menenangkan situasi. “Syarat pemberhentian kepala desa kita harus ikuti ketentuan yang berlaku,” ujarnya, suaranya tegas namun menenangkan. Ia berjanji bahwa pengaduan masyarakat akan ditindaklanjuti oleh inspektorat Sarolangun.

Namun, di tengah janji itu, ada keheningan yang terasa mencekam. Warga yang berdiri di hadapan Arif tahu bahwa janji itu hanya langkah awal dalam perjalanan panjang menuju keadilan. Mereka telah datang jauh dari desa mereka, meninggalkan hutan dan ladang, dengan satu tujuan yang jelas: mereka tidak ingin dipimpin oleh seseorang yang mereka anggap telah mengkhianati kepercayaan mereka.

Hari itu, di depan kantor Bupati Sarolangun, bukan hanya suara protes yang terdengar, tetapi juga jeritan hati yang mencari keadilan. Jeritan yang datang dari Sekamis, desa di tengah hutan, yang berharap suara mereka akan didengar oleh mereka yang berkuasa. Dan meski jalan menuju perubahan masih panjang, warga Sekamis telah membuat langkah pertama yang berani—menuntut hak mereka, menuntut keadilan, dan berharap bahwa di masa depan, mereka akan mendapatkan pemimpin yang benar-benar peduli pada nasib mereka.(*)

Sumber : Metro Jambi

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.

BeritaSatu Network