Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI resmi mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2001 yang selama ini menjadi dasar pemberhentian Presiden Ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pencabutan ini bukan hanya sekadar langkah administratif, tetapi juga bagian dari upaya pemulihan nama baik Gus Dur, yang selama ini diwarnai kontroversi dan tuduhan yang tak pernah terbukti.
Pada 23 Juli 2001, MPR memberhentikan paksa Presiden Gus Dur. Lengsernya Gus Dur dipicu oleh laporan yang disampaikan Panitia Khusus (Pansus) DPR terkait dugaan penggunaan dana Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan Bulog sebesar 4 juta dollar AS dan bantuan Sultan Brunei Darussalam sebesar 2 juta dollar AS.
Gus Dur dianggap melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang Sumpah Jabatan dan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme). Meski pada akhirnya tuduhan-tuduhan tersebut tidak pernah terbukti.
Gus Dur menjabat sebagai presiden kurang dari dua tahun, tepatnya hanya 22 bulan. Gus Dur dilengserkan karena dianggap sering kontra dengan parlemen. Mahfud MD, Menteri Pertahanan era Presiden Gus Dur, menyebut bibit konflik antara presiden Gus Dur dan DPR bermula dari pernyataan Gus Dur yang menyebut tingkah laku anggota DPR seperti murid taman kanak-kanak.
“Mula-mula bibit konflik itu timbul melalui masalah sepele. Persisnya ketika Gus Dur menyebut bahwa tingkah laku anggota DPR seperti tingkah laku murid taman kanak-kanak. Barangkali, dengan pernyataannya itu, Gus Dur hanya bermaksud bercanda seperti kebiasannya," tulis Mahfud MD dalam bukunya berjudul Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit.
Meski demikian, kata Mahfud, beberapa anggota DPR menyatakan keberatan dengan pernyataan tersebut. Mereka menganggapnya sebagai pelecehan terhadap lembaga negara yang secara struktur ketatanegaraan setara dengan presiden. Bahkan, masih menurut Mahfud, ada di antara anggota DPR yang meminta Gus Dur untuk mencabut pernyataannya tersebut. Gus Dur yang memang selalu bersikap enteng dan tanpa beban, menyambut reaksi itu dengan tenang. "Ya sudah. Kalau ada yang tersinggung, saya minta maaf. Gitu aja kok repot," kata Gus Dur ditirukan Mahfud.
Konflik antara Gus Dur dan DPR semakin memanas setelah ia mengeluarkan Dekrit Presiden 23 Juli 2001, yang berisi tiga poin utama, yaitu: Pertama, Membekukan MPR dan DPR. Kedua, Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun. Ketiga, Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Sekalipun Gus Dur telah mengeluarkan dekrit presiden, MPR tetap menggelar Sidang Istimewa (SI) yang dipimpin oleh Amien Rais. Dekrit Presiden 23 Juli 2001 pun ditolak atau dinyatakan tidak berfungsi setelah MPR menggelar sidang istimewa.
Gus Dur dinilai melanggar TAP MPR No. III/MPR/2001 karena memberhentikan Kapolri tanpa persetujuan DPR. Kondisi ini menyebabkan MPR memberhentikannya dari jabatan presiden, dan Megawati Soekarnoputri menggantikannya sebagai presiden.
Penulis buku Menjerat Gus Dur (2019), Virdika Rizky Utama mengungkap lengsernya Gus Dur adalah hasil konspirasi kekuatan Orde Baru. Dokumen rahasia bertajuk "Skenario Semut Merah (SEMER)" yang ditujukan kepada Ketua DPR Akbar Tanjung, diduga dibuat oleh Fuad Bawazier, mengungkapkan rencana-rencana strategis untuk menjatuhkan Gus Dur.
Rencana tersebut termasuk mobilisasi mahasiswa, aksi demonstrasi, manipulasi nilai tukar rupiah, termasuk penggiringan opini publik oleh media. Para penjerat bermain kejam dengan menggunakan hoaks Bulog Gate dan Brunei Gate yang hingga sekarang tidak terbukti.
TAP MPR dicabut Pada 25 September 2024, MPR mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2001 yang selama ini menjadi dasar pemberhentian Gus Dur. Pencabutan ini dilakukan dalam sidang paripurna akhir masa jabatan MPR RI periode 2019-2024.
Pada Rapat tersebut sejumlah usulan dan dukungan soal pemulihan nama baik terhadap Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Usulan soal pemulihan nama baik Gus Dur disampaikan Sekretaris Fraksi PKB Neng Eem Marhamah dalam rapat paripurna di Gedung MPR/DPR RI, Jakarta, Rabu (25/9/2024). Ia meminta Ketetapan (TAP) Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid dicabut.
“Memohon agar MPR Republik Indonesia mengeluarkan surat keputusan administratif terkait TAP Nomor II/MPR/2001 sudah tidak berlaku lagi sesuai dengan Pasal 6 TAP MPR Nomor I Tahun 2003 dalam rangka pemulihan nama baik Presiden Kiai Haji Abdurrahman Wahid,” kata Eem dalam rapat.
Eem meminta MPR RI mengeluarkan surat administrasi sebagai penegasan tentang pengembalian nama baik Gus Dur sebagai landasan dikeluarkannya rekomendasi gelar pahlawan nasional. Sebab, menurutnya, Gus Dur sudah banyak berjasa dan mengabdi untuk bangsa Indonesia.
“Jasa dan kontribusinya sangat besar dalam menginisiasi dan mengawal proses reformasi membangun demokrasi dan mengembangkan pluralisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.
MPR mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2021 terkait Presiden Keempat RI Abdurahman Wahid pada Rabu, 25 September 2024. Keputusan ini disampaikan Ketua MPR Bambang Soesatyo dalam sidang akhir masa jabatan MPR periode 2019-2024 di Gedung Nusantara MPR.
"Pimpinan MPR menegaskan TAP II/MPR 2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi," kata Bambang Soesatyo. TAP MPR Nomor II/MPR/2021 berisi tentang pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia. TAP MPR ini juga menegaskan bahwa Gus Dus telah melanggar haluan negara. Namun, terkini TAP MPR Nomor II/MPR/2021 tersebut dinyatakan sudah tidak berlaku.
Hal ini berdasarkan kesepakatan rapat gabungan MPR dengan pimpinan fraksi kelompok DPD pada tanggal 23 September yang lalu, pimpinan MPR menegaskan ketetapan MPR Nomor 2/MPR 2001, tentang pertanggung jawaban presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi.
Respons keluarga Gus Dur Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggelar Silaturahmi Kebangsaan Pimpinan MPR RI bersama keluarga Gus Dur di Nusantara V Gedung DPR/MPR/DPD, Jakarta, Ahad (29/9/2024).
Istri Gus Dur, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid beserta keempat anak Gus Dur turut hadir yaitu Alissa Qotrunnada Munawaroh Wahid, Yenny Wahid, Anita Hayatunnufus, dan Inayah Wulandari.
Dalam acara tersebut, Pimpinan MPR RI menyerahkan surat rekomendasi pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia, KH Abdurrahman Wahid kepada istri Gus Dur yaitu Sinta Nuriyah Wahid. Surat rekomendasi tersebut ditandatangani 10 pimpinan MPR RI.
Berdasarkan kesepakatan, pimpinan MPR RI sepakat mencabut TAP MPR Nomor II/MPR/2001 sebagaimana permohonan Fraksi PKB. Adapun keputusan tersebut memulihkan nama Gus Dur yang dituduh melakukan korupsi pada masa pemerintahannya.
"Menegaskan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2021 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid saat ini kedudukan hukumnya tidak berlaku lagi," tegasnya.
Keluarga Gus Dur, terutama istri Sinta Nuriyah Wahid, menyambut baik langkah ini sebagai rehabilitasi nama baik Gus Dur. Ia berharap langkah ini bukan sekadar basa-basi politik, melainkan upaya serius untuk melakukan rekonsiliasi nasional yang mendalam, seperti yang terjadi di Afrika Selatan dan Timor Leste.
"Selama ini, Tap MPR tersebut menjadi ganjalan besar bagi kami keluarga Gus Dur dan masyarakat Indonesia lainnya. TAP MPR tersebut telah menjadi keputusan yang seolah menempatkan Gus Dur sebagai seorang pelanggar konstitusi tanpa kami bisa melakukan banding," kata Sinta.
"Kami keluarga Gus Dur menyambut proses rekonsiliasi ini dengan catatan dilakukan tidak dengan setengah hati," tambahnya.
Ia menjelaskan, dengan pencabutan ini, segala upaya yang dialamatkan kepada Gus Dur tak terbukti. Terutama, menurut dia, terkait dengan tindakan korupsi. "Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi," ujar Sinta.
"Semua orang yang mengenal Gus Dur dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur. Sampai akhir hayatnya Gus Dur tidak pernah menumpuk harta benda," imbuhnya.
Nyai Sinta menegaskan pentingnya pelurusan sejarah bahwa Gus Dur tidak pernah melakukan tuduhan yang dialamatkan padanya. Menurutnya, banyak ahli hukum tata negara menyaksikan bahwa Gus Dur telah mengalami kudeta parlementer.
Sebuah kerancuan proses politik, mengingat Indonesia tidak menganut sistem demokrasi parlementer namun menganut sistem presidensial. Berbagai tuduhan terhadap Gus Dur melalui prosedur yang salah dan saling tabrak tidak pernah terbukti.
“Bagi kami yang paling menyakitkan adalah tuduhan seolah Gus Dur telah melakukan tindakan korupsi. Semua orang yang mengenal Gus Dur─dan saya rasa di ruangan ini banyak sekali orang yang pernah secara langsung berinteraksi dengan Gus Dur─bisa bersaksi tentang kesederhanaan Gus Dur,” kata Nyai Sinta.
Nyai Sinta menyebut kudeta terhadap Gus Dur merupakan peristiwa politik pertama ketika presiden yang terpilih secara demokratis dijatuhkan di tengah jalan. Pencabutan TAP MPR tersebut, menurutnya, dapat menjadi pengingat agar peristiwa serupa tidak terulang dan menjadi cermin bagi pendewasaan demokrasi
“Kami berharap bisa menjadi cermin paling jernih bagi pendewasaan demokrasi di Indonesia agar tidak dipermainkan oleh tangan-tangan kotor,” pintanya.
Ia mendorong agar momentum pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 dimanfaatkan untuk mendesakkan berlakunya demokrasi yang esensial di negara ini, bukan demokrasi prosedural yang rentan direkayasa.
“Tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dengan bebas melakukan rekayasa politik untuk menjatuhkan kekuasaan yang sah ataupun mengakali demokrasi untuk kepentingan-kepentingan diri dan kelompoknya semata. Apa yang terjadi pada Gus Dur, tidak boleh terulang lagi di negeri ini,” tegasnya.
Add new comment