Ahmad Inung
Direktur Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam, Kementerian Agama RI
Saya memiliki perkiraan waktu yang hampir presisi perjalanan dari rumah ke Bandara Juanda, Surabaya. Dalam situasi normal, waktu tempuh dari rumah ke bandara sekitar tiga puluh menit. Kalau check in sudah dilakukan secara online, turun dari mobil sampai ke ruang tunggu membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Jadi, kalau tidak ada niat untuk berlama-lama di resto bandara, saya biasanya akan berangkat satu atau satu setengah jam sebelum jadwal boarding. Kecuali jika sedang jam-jam macet, saya akan berangkat sekitar dua jam sebelum boarding. Tapi Ahad lalu, waktu perjalanan dari rumah ke bandara nyaris berantakan.
Untunglah maskapai yang biasanya delay itu betul-betul melakukan kebiasaannya. Sehingga, saya masih punya waktu untuk ngopi-rokok di resto ditambah bonus “bosan menunggu” di ruang tunggu. Ceritanya begini. Ketika mobil penjemput (layanan online) datang, si sopir yang masih tampak belia, terkesan kurang sat-set. Ketika dia tahu bahwa saya dan istri membawa dua travel bag, dia agak terkejut. Sedikit panik, dia buru-buru membuka bagasi dan mengatur barang-barang yang ada di bagasi agar ada ruang untuk dua travel bag kami. Aneh!
Biasanya bagasi taksi online tidak dipenuhi barang-barang si sopir. Akhirnya mobil berangkat membawa saya dan istri menuju bandara. Terasa sekali jalannya santai seperti sedang piknik menikmati keindahan alam pegunungan. Sang sopir membuka pembicaraan dengan bertanya apakah memang ada pesawat sore dari Surabaya ke Jakarta? Sekalipun terdengar aneh, saya menjawab, ‘ada’. Mobil terus berjalan dengan santai. Kami diam. Sang sopir membuka pembicaraan lagi. “Pak saya mau tanya, karena Bapak kan terlihat sudah dewasa. Boleh gak Pak?” Tanpa antusias, saya jawab, “boleh”. Dia bertanya, “Apa yang harus dilakukan seorang suami yang sedang digugat cerai oleh istri, ketika istri memberi keterangan di pengadilan yang sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan?” Saya diam sejenak. Saya mulai menaksir situasi.
Untuk meyakinkan taksiran saya, saya bertanya, “Apakah Mas sedang digugat cerai istri?” Seperti yang sudah saya perkirakan sebelumnya, dia menjawab “ya”. Saya memberi nasihat normatif, agar dia didampingi pengacara untuk mengurus perceraiannya. Dengan kegalauan yang tidak lagi bisa disembunyikan, dia bercerita dengan suara terbata-bata. Mungkin hampir menangis.
Beginilah kisahnya:
Dia adalah seorang suami dan ayah muda dari dua orang bocah. Sebelum menikah, dia dan istrinya berpacaran lebih dulu. Bukan dijodohkan paksa orang tua. Di awal pernikahan, dia bekerja sebagai tower engineer. Pekerjaan ini membuatnya harus sering meninggalkan rumah. Namun gajinya lebih dari cukup untuk sebuah keluarga muda, bahkan jika istrinya memutuskan untuk sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga. Saat istrinya hamil anak pertama, mertuanya meminta dia untuk resign dan mencari pekerjaan yang memungkinkan dia pulang setiap hari. Dia pun menurut. Namun, mencari pekerjaan tidak semudah yang dibayangkan.
Selama dua bulan dia menganggur. Kondisi ini membuat mertuanya memandangnya sebagai menantu tak berguna. Dia akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai buruh harian di pabrik. Pekerjaan yang sebetulnya sangat menyiksanya karena dia tidak memiliki kekuatan fisik untuk melakukannya. Dengan sisa-sisa uangnya, dia mencoba masuk dalam bisnis properti. Patungan dengan temannya. Tapi di dunia bisnis properti, jika tidak memiliki modal yang kuat, apa yang bisa diharapkan. Pasar sedang sepi. Ditambah dengan kesialan karena menjadi korban penipuan.
Rasanya, semua jalan telah buntu. Dengan mobil kreditan yang belum lunas, dia memutuskan untuk menjadi sopir taksi online. Tapi, situasi rumah tangganya semakin memburuk. Di depan mertuanya dia tetap dianggap menantu tak berharga. Begitu juga di depan istrinya yang memiliki pekerjaan kantoran dengan penghasilan yang cukup baik. Ekonomi keluarga sebetulnya stabil. Masalahnya adalah dia hanya seorang sopir online. Akhirnya, si istri menuntutnya bercerai dengan meminta seluruh harta, termasuk mobil, satu-satunya alat kerja yang tersisa. Istrinya merasa bahwa seluruh harta adalah hasil kerjanya.
Sang Sopir ini ingin membantah klaim istrinya, tapi tak bisa membuktikan. Karena bahkan sejak pacaran, semua hasil kerjanya diberikan kepada istrinya. Semua tabungan atas nama istrinya. Istrinya yang menyimpan dan mengelola uang keluarga. Setiap hari sebelum berangkat kerja, si sopir ini meminta uang ke istrinya sekedar sebagai uang saku. Dua bulan sebelum dia curhat ke saya dalam perjalanan mobil online yang sangat pelan menuju bandara ini, dia diusir dari rumahnya.
Dia membawa semua pakaiannya di bagasi mobilnya dan hidup di jalanan. Dia tidak bisa tidur ketika si istri memutuskan menggugat cerai dan meminta seluruh harta, termasuk mobilnya. Yang membuat dia sangat tertekan adalah dia tidak tahu harus mengadu ke siapa. Dia tidak mungkin pulang ke rumah ibunya dan mengadukan kesedihan hatinya. Mengapa? Karena dia laki-laki. Dia tidak tahu harus curhat kepada siapa yang mungkin bisa memberinya jalan keluar dari kemelut hidupnya. Bahkan, menangis pun dia malu. Mengapa? Karena dia seorang laki-laki.
***
Ah laki-laki. Kutukan apa yang sedang engkau tanggung? Tapi, begitulah nasib laki-laki dalam sistem sosial patriarkhi. Di dalam masyarakat patriarkhi, bukan hanya perempuan yang menderita, laki-laki juga menderita. Di dalam masyarakat patriarkhi, ketika laki-laki diwajibkan berperankan sebagai makhluk yang kuat, adalah sangat memalukan baginya untuk mengutarakan problem hidup yang memberatinya. Dalam struktur yang patriarkhis, ketika laki-laki diwajibkan berperan sebagai makhluk yang kuat dan tangisan adalah lambang kelemahan, dia tidak diperbolehkan untuk menangis.
Tangisan adalah tanda kelemahan jiwa. Itu tak layak bagi laki-laki. Di dalam masyarakat patriarkhi, tidak ada tempat bagi laki-laki untuk mengekspresikan masalah hidupnya. Tidak ada izin sosial bagi laki-laki untuk mengutarakan emosinya. Laki-laki diwajibkan memiliki pundak yang kuat untuk menyangga problemnya sendiri. Maaf, social care dalam masyarakat patriarkhi tidak diperuntukkan bagi laki-laki. Berada dalam masyarakat patriarki berarti berada dalam kultur yang didominasi laki-laki. Karena laki-laki dominan, maka tidak ada ruang bagi laki-laki untuk mengungkapkan kemungkinan bahwa dia bisa menjadi korban pelecehan. Karena itu, laki-laki akan menyembunyikan problemnya jika dia menjadi korban pelecehan. Di dalam masyarakat patriarkhi, laki-laki diwajibkan berperan untuk mencari nafkah.
Harga dirinya dilekatkan pada pekerjaan dan penghasilan. Sehebat apapun keterampilan domestik yang dimiliki laki-laki, dia tidak memiliki harga jika dia tidak bekerja di luar rumah dan mendapatkan penghasilan. Bahkan saat pacaran pun, ketika sama-sama menggantungkan uang kiriman orang tua, pacar laki-laki yang harus menanggung kebutuhan berpacaran. Jika tidak bisa, dia laki-laki yang tak berharga. Ini semua pada akhirnya melahirkan problem mental bagi laki-laki. Menyedihkannya, problem mental yang dihadapi laki-laki ini tidak dizinkan untuk dicurhatkan. Dalam masyarakat patriarkhi, menjadi laki-laki berarti menyimpan kesedihannya sendiri. Bahkan menitipkan kesedihan pada tetesan air mata pun tak diizinkan.
Ah, kutukan laki-laki!
(Disclaimer: kisah dalam tulisan ini belum tentu sesuai dengan faktanya karena hanya didengar dari perspektif laki-laki. Sekalipun demikian, kisah ini tetap digunakan untuk menggambarkan men’s suffering dalam sistem masyarakat patriarkhi).
Sumber: https://arina.id/perspektif/ar-lsBW6/kutukan-laki-laki
Add new comment