Perjanjian yang dibuat dengan tergesa-gesa, hasil yang nihil. Begitulah gambaran kerja sama pemanfaatan lahan parkir di Bandara Sultan Thaha Jambi antara Pemerintah Provinsi Jambi dan PT Angkasa Pura II (kini bernama Angkasa Pura Indonesia).
***
Berlarut-larutnya masalah pembagian keuntungan dari pengelolaan lahan parkir di Bandara Sultan Thaha Jambi oleh PT Angkasa Pura II (kini bernama Angkasa Pura Indonesia) rupanya berakar pada buruknya manajemen dan skema kerja sama sejak awal.
Sejak disepakati pada 2015 dan mulai dieksekusi pada 2018, Pemprov Jambi tak pernah mendapat sepeser pun bagi hasil keuntungan. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) tahun 2024 menegaskan bahwa ada kelemahan mendasar dalam perjanjian yang dibuat nyaris tanpa perhitungan matang. Baik Pemprov Jambi maupun Angkasa Pura Indonesia dianggap abai dalam menyusun kerangka kerja sama yang jelas.
Hal ini diakui Kasubid Retribusi Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Provinsi Jambi, Iskandar Muda. Kepada Jambi Link, Senin, 17 Januari 2025, di ruang kerjanya, Iskandar mengungkapkan kelemahan administratif dalam perjanjian sejak awal, menjadi faktor utama yang memperumit penyelesaian masalah ini.
Menurut Iskandar, dalam perjanjian kerja sama yang mulai dieksekusi sejak 2018, telah disepakati bahwa Angkasa Pura wajib membayar kontribusi tetap sebesar Rp119 juta per tahun kepada Pemprov Jambi. Pembayaran ini dilakukan secara lancar setiap tahun.
Namun, masalah muncul ketika masuk ke skema pembagian keuntungan. Hingga kini, Pemprov Jambi belum pernah menerima sepeser pun dari keuntungan yang dijanjikan dalam perjanjian tersebut.
"Masalahnya, Angkasa Pura tidak bisa mengeluarkan bagi hasil keuntungan hanya dari parkir saja. Manajemen keuangan mereka menggunakan skema arus kas yang menghitung pendapatan bandara secara keseluruhan, bukan secara spesifik dari parkir. Sehingga, mereka tidak bisa mengeluarkan uang yang didapat hanya dari parkir saja. Masalahnya di situ," jelas Iskandar.
Audit BPKP 2022 sudah menemukan masalah ini. Temuan BPK RI 2024 kembali menegaskannya. Namun, upaya penyelesaian tak kunjung menunjukkan hasil konkret.
Pemprov Jambi bukannya diam. November 2024, mereka kembali melayangkan surat ke Angkasa Pura Indonesia, meminta daftar pejabat yang akan membahas perubahan adendum kerja sama.
5 Februari 2025, surat lain dikirim. Kali ini, komunikasi lebih jauh dilakukan. Pertemuan berlangsung di Hotel Ananta, Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta, di mana Angkasa Pura akhirnya menyebutkan pejabat yang akan menangani perubahan perjanjian.
Tapi... apakah ini berarti Pemprov Jambi akan segera menerima haknya? Belum tentu. Hingga kini, tak ada kepastian kapan bagi hasil keuntungan itu akan terealisasi.
Ada potensi jalan panjang yang harus ditempuh. Revisi adendum kerja sama mungkin bisa menjadi solusi, tapi apakah Pemprov Jambi siap menegosiasikan ulang kesepakatan yang sejak awal tak berpihak pada kepentingannya sendiri?
Sejarah menunjukkan, urusan bagi hasil yang tersendat bukan perkara baru dalam pengelolaan aset daerah. Kini, tinggal menunggu apakah Pemprov Jambi akan tegas menuntut haknya atau kembali terjebak dalam ketidakjelasan administrasi.
Hasil Audit BPK RI 2024
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi, berdasarkan audit BPK RI 2024, hingga kini belum menerima sepeser pun keuntungan dari kerja sama pemanfaatan lahan dengan PT Angkasa Pura II (Persero), meskipun perjanjian telah berlangsung hampir satu dekade.
Kerja sama pemanfaatan tanah tersebut diatur dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) yang diperbarui dengan Adendum II pada 4 Desember 2018. Berdasarkan perjanjian tersebut, PT AP II berkewajiban membayar kontribusi tetap sebesar Rp119,8 juta per tahun kepada Pemprov Jambi atas pemanfaatan lahan seluas 79.867 meter persegi di Talang Bakung, Kota Jambi, termasuk lokasi eks Arena MTQ yang kini menjadi bagian dari perluasan Bandara Sultan Thaha.
Kontribusi tetap itu memang telah disetorkan secara rutin. Namun, yang jadi sorotan adalah bagian lain dari perjanjian, yakni pembagian keuntungan usaha. Seharusnya, Pemprov Jambi mendapatkan bagian dari laba bersih yang dihasilkan PT AP II dari pemanfaatan tanah tersebut. Tapi sejak perjanjian berjalan, keuntungan usaha yang dijanjikan tak pernah cair ke kas daerah.
Pembagian keuntungan usaha diatur dengan skema perhitungan berdasarkan investasi masing-masing pihak. Namun, sejak Berita Acara Operasional Bandara Sultan Thaha ditandatangani pada 19 Februari 2018, tak ada satu pun laporan yang menunjukkan adanya keuntungan yang dibagikan ke Pemprov Jambi.
Bahkan, hingga akhir 2023, Pemprov Jambi belum pernah mendapat satu rupiah pun dari bagi hasil yang seharusnya diterima setiap tahun.
Menurut laporan Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD), pihaknya telah meminta laporan keuangan PT AP II, tetapi data yang diterima masih terbatas. Pada 2018, Pemprov Jambi hanya memperoleh laporan laba rugi tahun 2016 dan 2017.
Hasilnya? Tahun 2016, PT AP II Sultan Thaha mencatat kerugian Rp10,2 miliar. Namun, pada 2017, laporan keuangan yang diaudit menunjukkan perusahaan berbalik untung dengan laba Rp21,2 miliar. Meski begitu, Pemprov Jambi tetap tidak menerima bagian dari keuntungan tersebut.
Sesuai dengan PKS, keuntungan usaha dihitung berdasarkan total pendapatan bandara di atas tanah yang diperjanjikan, dikurangi biaya-biaya. Namun, laporan keuangan yang diperlukan untuk mengaudit keuntungan dari tahun 2018 hingga 2023 tak pernah diserahkan oleh PT AP II.
BPKPD telah mengirim surat permintaan laporan keuangan audited untuk periode tersebut pada 16 Mei 2024. Tapi hingga pemeriksaan BPK RI berakhir, dokumen itu tak kunjung diterima. Tanpa laporan keuangan lengkap, perhitungan pembagian keuntungan pun tak bisa dilakukan.
Di sisi lain, Pemprov Jambi juga belum menghitung nilai investasi tanah dan bangunan yang dikerjasamakan. Data dari laporan keuangan 2023 menunjukkan investasi tanah seluas 79.867 meter persegi tercatat sebesar Rp1,59 miliar. Namun, berapa nilai investasi PT AP II untuk fasilitas dan bangunan di atas tanah itu masih belum jelas.
Pemprov Jambi telah membentuk tim evaluasi sejak Maret 2023 untuk menilai ulang kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dari kerja sama ini. Namun, pendataan bangunan yang diinvestasikan oleh PT AP II masih belum dikoordinasikan dengan perusahaan tersebut.
Di sisi lain, PT AP II berdalih bahwa sejak 2016 hingga 2023 mereka mengalami kerugian. Menurut Executive General Manager PT AP II Bandara Sultan Thaha Jambi, biaya depresiasi pembangunan bandara sangat tinggi, sementara pendapatan masih rendah.
Namun, berbeda dengan investasi tanah yang dilakukan Pemprov Jambi, yang nilainya terus meningkat seiring kenaikan NJOP, investasi PT AP II atas bangunan dan fasilitasnya justru tidak pernah diungkapkan secara jelas.(*)
Add new comment