Provinsi Jambi resmi pindah dari Kodam II Sriwijaya ke Kodam XX Tuanku Imam Bonjol bersama Sumbar. Simak sejarah, dampak keamanan, dan struktur baru TNI AD 2025 itu.
***
Perubahan besar terjadi pada struktur TNI Angkatan Darat tahun 2025. Markas Besar TNI membentuk enam Kodam (Komando Daerah Militer) baru di Indonesia, salah satunya Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi.
Dengan pembentukan Kodam ini, Provinsi Jambi resmi beralih dari yang semula berada di bawah Kodam II/Sriwijaya (bermarkas di Palembang) menjadi bagian Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol yang bermarkas di Padang, Sumatera Barat.
Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol akan dikukuhkan Minggu besok, dalam Upacara Militer pada 10 Agustus 2025. Pengukuhan akan dipimpin langsung Presiden Prabowo Subianto di Batujajar, Jawa Barat. Panglima TNI telah menunjuk Mayor Jenderal TNI Arief Gajah Mada sebagai Pangdam pertama Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol.
Mayjen Arief sebelumnya menjabat sebagai Aspers (Asisten Personel) KSAD. Penunjukannya tertuang dalam Surat Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/1033/VIII/2025.
Enam Kodam baru TNI AD yang dibentuk tahun 2025 beserta wilayahnya adalah sebagai berikut:
- Kodam XIX/Tuanku Tambusai – meliputi Provinsi Riau dan Kepulauan Riau
- Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol – meliputi Provinsi Sumatera Barat dan Jambi
- Kodam XXI/Radin Inten – meliputi Provinsi Lampung dan Bengkulu
- Kodam XXII/Tambun Bungai – meliputi Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan
- Kodam XXIII/Palaka Wira – meliputi Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat
- Kodam XXIV/Mandala Trikora – berpusat di Merauke, meliputi wilayah Papua Selatan
Dengan penambahan ini, jumlah Kodam di Sumatra meningkat drastis. Sebelumnya hanya ada tiga Kodam di Sumatera, yakni Kodam Iskandar Muda di Aceh, Kodam I/Bukit Barisan di Medan (mencakup Sumut, Sumbar, Riau, Kepri), dan Kodam II/Sriwijaya di Palembang (mencakup Sumsel, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung).
Kini, Sumatra akan memiliki enam Kodam, yakni Aceh (Kodam Iskandar Muda), Sumut (Kodam I/BB), Riau-Kepri (Kodam XIX Tambusai), Sumbar-Jambi (Kodam XX Imam Bonjol), Lampung-Bengkulu (Kodam XXI Radin Inten), serta Sumsel-Babel (Kodam II Sriwijaya yang tetap ada). Perubahan ini membawa implikasi administratif maupun strategis yang signifikan bagi Jambi dan wilayah Sumatra lainnya.
Reaksi di Jambi dan Sumbar
Pembentukan Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol yang menyatukan Sumatera Barat dan Jambi mendapat tanggapan positif dari para pejabat daerah dan tokoh masyarakat di kedua provinsi. Komandan Korem 032/Wirabraja Sumbar, Brigjen TNI Mahfud, menyambut baik keputusan ini seraya menyatakan bahwa persiapan pembentukan Kodam Imam Bonjol telah dilakukan sejak Juli 2025 setelah adanya Keputusan Presiden.
"Keputusan Bapak Presiden, di Sumatera Barat termasuk Provinsi Jambi dibentuk Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol," ujar Brigjen Mahfud mengonfirmasi kabar tersebut.
Pihak Korem Wirabraja di Padang bahkan telah menyiapkan kantor sementara sebagai Markas Kodam XX sambil menunggu pembangunan infrastruktur Markas Kodam yang permanen.
Nama "Tuanku Imam Bonjol" dipilih sebagai bentuk penghormatan kearifan lokal Minangkabau. Ini mengingat Tuanku Imam Bonjol adalah pahlawan nasional asal Ranah Minang. Hal ini disambut bangga oleh masyarakat Sumbar yang merasa semangat perjuangan lokal diakui dalam struktur TNI yang baru.
Dari sisi Jambi, keinginan memiliki Kodam tersendiri sebenarnya sudah lama muncul. Gubernur Jambi dan Forkopimda Jambi diketahui mendukung penuh wacana peningkatan status Korem 042/Garuda Putih menjadi Kodam sejak beberapa tahun terakhir.
Brigjen TNI Supriono (eks Danrem 042) pada 2023 menjelaskan bahwa Jambi “sangat siap untuk naik status menjadi Kodam”, dan dukungan telah diberikan oleh Gubernur, Kapolda, DPRD Provinsi, hingga Kajati Jambi.
Gubernur Jambi Al Haris pun menyambut baik dan mendukung langkah tersebut.
Kini dengan hadirnya Kodam Imam Bonjol, harapan tersebut terwujud walau Jambi bergabung bersama Sumbar. Pejabat daerah Jambi mengimbau jajarannya untuk segera menyesuaikan koordinasi di bawah komando Kodam baru. Mereka optimistis suara dan kebutuhan Jambi akan lebih terakomodasi, karena Pangdam Imam Bonjol dapat fokus mengurusi dua provinsi saja, tidak se luas cakupan Kodam Sriwijaya dulu.
Masyarakat Jambi umumnya menyambut kabar ini dengan positif dan rasa ingin tahu. Di media sosial, muncul pertanyaan tentang lokasi markas dan dampak perubahan ini. Markas Kodam XX dipastikan berada di Kota Padang, Sumbar.
Namun tentu Kodam akan memperkuat keberadaan militernya di Jambi melalui Korem 042/Gapu yang tetap ada. Sejumlah tokoh masyarakat Jambi berharap keberadaan Kodam baru meningkatkan rasa aman dan mendorong sinergi lintas daerah.
Mengingat Sumbar dan Jambi bertetangga, kerjasama pengamanan perbatasan, penanggulangan kebakaran hutan (karena kedua provinsi rawan karhutla), dan pengamanan jalur ekonomi bisa lebih terpadu. Tidak ada penolakan berarti terhadap perubahan ini, justru sebagian kalangan menilai TNI menunjukkan perhatian lebih ke Jambi dengan mengangkat status komandonya.
Sejarah Pembagian Wilayah Militer Jambi
Perubahan Jambi masuk ke Kodam Imam Bonjol ini merupakan bagian dari dinamika panjang struktur teritorial TNI di Indonesia. Secara historis, wilayah Jambi selalu terkait dengan komando militer regional di Sumatra.
Pada masa Hindia Belanda tidak dikenal istilah "Kodam". Wilayah Jambi berada di bawah administrasi militer Belanda sebagai bagian dari keresidenan Sumatra. Setelah perlawanan gigih Kesultanan Jambi di bawah Sultan Thaha Syaifuddin, Belanda berhasil menaklukkan Jambi pada 1904.
Keresidenan Jambi resmi dibentuk tahun 1906 menggantikan kekuasaan kesultanan, menandai integrasi Jambi ke dalam wilayah Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), struktur keresidenan ini dipertahankan dengan perubahan nama. Dan secara militer Jambi termasuk dalam pertahanan Sumatra di bawah komando Jepang.
Setelah Proklamasi 1945, wilayah Jambi sempat menjadi bagian dari Provinsi Sumatera (kemudian Sub-Provinsi Sumatera Tengah) secara administratif. Namun, dari sisi militer, sejak awal dibentuk Territorium di Sumatra yang terpisah antara utara, tengah, dan selatan.
TNI mendirikan Sub Komandemen Sumatera Selatan (SUBKOSS) pada 1 Januari 1946 yang membawahi empat sub-teritorium, Palembang, Jambi, Bengkulu, dan Lampung. Artinya, sejak 1946 wilayah Jambi sudah berada di bawah komando Sumatera Selatan (Palembang) dalam struktur Tentara Keamanan Rakyat.
Nama komando ini beberapa kali berubah. Sempat menjadi Divisi VIII/Garuda di tahun 1946, lalu kembali ke Subkomando Sumsel, dan akhirnya pada 29 Juli 1950 ditetapkan sebagai Territorial II/Sriwijaya oleh Kasad.
Territorium II/Sriwijaya inilah cikal bakal Kodam Sriwijaya, membawahi Sumatera Selatan dan daerah sekitarnya termasuk Jambi. Pada tahun-tahun 1950-an, TNI AD membentuk komando daerah seiring dengan pemekaran wilayah RI.
Provinsi Jambi sendiri baru terbentuk tahun 1957 (pisah dari Provinsi Sumatra Tengah). TNI pun menyesuaikan organisasi teritorialnya. Tahun 1959, dibentuk Korem 042/Garuda Putih khusus untuk Provinsi Jambi sebagai komando resor di bawah Kodam Sriwijaya.
Korem 042/GAPU diresmikan 10 November 1959 dengan wilayah meliputi Provinsi Jambi dan sekitarnya, menandakan TNI melihat pentingnya komando tersendiri di Jambi. Sementara itu, di Sumatra Barat pada era Demokrasi Terpimpin terjadi pergolakan PRRI (1958-1961).
Wilayah Sumbar-Riau sempat memiliki Kodam sendiri, yakni Kodam III/17 Agustus yang dibentuk setelah pemisahan dari Bukit Barisan tahun 1956. Namun, pergolakan PRRI akhirnya ditumpas oleh pemerintah pusat, dan restrukturisasi militer pun berlanjut.
Pada 1 Februari 1961, Territorium II/Sriwijaya resmi berganti nama menjadi Kodam IV/Sriwijaya. Di era Presiden Soekarno akhir (Orde Lama), berarti Jambi berada di bawah Kodam IV/Sriwijaya yang bermarkas di Palembang, sementara Sumbar-Riau di Kodam III/17 Agustus (bermarkas di Padang), Sumut-Aceh di Kodam I Bukit Barisan (Medan), dan Jakarta di Kodam V/Jaya, dll. Pembagian Kodam ini mengalami penyederhanaan ketika memasuki era berikutnya.
Pada masa Presiden Soeharto, TNI (waktu itu ABRI) melakukan reorganisasi besar tahun 1984-1985 untuk efisiensi komando. Jumlah Kodam dikurangi menjadi 10 pada tahun 1985 melalui restrukturisasi yang menggabungkan beberapa Kodam.
Khusus di Sumatra, terjadi perubahan penting, Kodam I/Iskandar Muda (Aceh), Kodam I/Bukit Barisan (Sumut), dan Kodam III/17 Agustus (Sumbar-Riau) dilebur menjadi satu Kodam Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan.
Sejak 1985 itu, Sumatra hanya memiliki dua Kodam. Yakni Kodam I/Bukit Barisan membawahi wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau (plus Kep. Riau). Dan Kodam II/Sriwijaya (nama barunya sejak 1985) membawahi Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, serta Bangka Belitung.
Perubahan ini berarti Kodam 17 Agustus di Padang dibubarkan. Sumbar dan Riau masuk ke Kodam Bukit Barisan, sedangkan Provinsi Jambi tetap berada di Kodam Sriwijaya seperti sebelumnya. Selama Orde Baru, struktur teritorial TNI menjangkau hingga tingkat desa melalui Babinsa, di mana Kodam berperan penting sebagai kepanjangan kekuasaan pusat di daerah.
Dalam kurun ini, Kodam II/Sriwijaya yang membawahi Jambi terlibat dalam berbagai operasi keamanan, misalnya penumpasan sisa-sisa PRRI di awal 1960-an. Dan penanganan insiden Talangsari di Lampung tahun 1989. Ini menunjukkan luasnya cakupan tugas Kodam di Sumatra bagian selatan.
Pasca tumbangnya Orde Baru, muncul tuntutan restrukturisasi TNI agar lebih profesional dan efisien. Beberapa Kodam yang dahulu dilebur mulai diaktifkan kembali secara selektif untuk mengatasi kebutuhan khusus wilayah.
Contohnya, pada 5 Februari 2002 Kodam Iskandar Muda di Aceh diresmikan kembali sebagai Kodam tersendiri, lepas dari Kodam Bukit Barisan, karena situasi konflik Aceh saat itu membutuhkan komando teritorial terpisah.
Namun, wilayah lain di Sumatra tetap mengikuti struktur lama hingga dua dekade berikutnya. Provinsi Jambi sepanjang era Reformasi (1998-2024) tetap berada di bawah naungan Kodam II/Sriwijaya bersama provinsi-provinsi Sumsel, Babel, Bengkulu, dan Lampung.
Kodam II/Sriwijaya bermarkas di Palembang dan membawahi Korem 042 Garuda Putih Jambi beserta kodim-kodim di seluruh kabupaten/kota Jambi. Selama periode ini, prajurit TNI di Jambi berfokus pada pembinaan teritorial, membantu pemda menangani kebakaran hutan/lahan (karhutla) dan tugas perbantuan lainnya, dengan komando akhir tetap melalui Pangdam Sriwijaya di Palembang.
Kini, di tahun 2025, sejarah berputar arah dengan lahirnya Kodam XX/Tuanku Imam Bonjol. Bagi Sumatera Barat, ini semacam revival setelah 40 tahun lamanya tidak memiliki Kodam sendiri di Padang sejak Kodam 17 Agustus dilebur 1985.
Bagi Provinsi Jambi, ini pertama kalinya masuk dalam komando militer yang tidak bermarkas di Palembang. Perpindahan Jambi ke Kodam Imam Bonjol menandai babak baru. Di mana hubungan militer Jambi lebih erat ke Sumbar, berbeda dari sejarah panjang sebelumnya selalu terhubung ke Sumsel.
Meski markas Kodam berada di Padang, Jambi dipastikan tetap mendapat atensi setara sebagai wilayah Kodam XX. Apalagi Pangdam Imam Bonjol hanya membawahi dua provinsi sehingga diharapkan lebih fokus.
Perubahan struktur TNI ini sekaligus menjawab aspirasi lama daerah dan mengikuti perkembangan geopolitik internal Indonesia. Jika pada masa lalu pembentukan maupun penghapusan Kodam dipengaruhi situasi keamanan (misal pergolakan daerah), maka pembentukan Kodam Imam Bonjol dan Kodam baru lainnya di 2025 lebih merupakan kebijakan proaktif untuk pemerataan kekuatan pertahanan.
Jambi kini memasuki era Kodam Tuanku Imam Bonjol dengan harapan peran TNI AD di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah semakin optimal dalam menjaga kedaulatan dan keamanan, selaras dengan kepentingan masyarakat Jambi maupun nasional.(*)
Add new comment