Mampukah Maulana-Diza Hidupkan Legenda Rawasari yang kini Mati?

WIB
IST

Oleh:

Muawwin MM**

Saya dan anda semua tentu masih ingat, bagaimana di tahun 90-an, Terminal Rawasari berdetak seperti jantung kota yang tak pernah tidur. Di sana, ekonomi rakyat berdenyut kencang, dari pagi buta hingga larut malam. Pedagang menggelar dagangan. Sopir angkot bersaing mengangkut penumpang. Dan warga kota menenun harinya dari percakapan-percakapan kecil di bangku terminal.

Kini, Rawasari lebih mirip fosil. Sebuah monumen urban yang membisu.

Saya menelusuri kawasan itu beberapa hari lalu, di sela berlangsungnya "Festival Tumpah Ruah 2025" yang digagas Pemerintah Kota Jambi di bawah kendali Wali Kota Dr. Maulana dan Wakil Wali Kota Diza. Dari kejauhan, musik terdengar meriah. Booth UMKM tertata, tenda dekoratif menjulang. Tapi, di sela-sela seremoni itu, saya menyusuri lorong terminal yang lengang. Ruko-ruko usang tertutup rapat. Toilet bau pesing. Tak ada transaksi. Tak ada denyut.

Padahal, revitalisasi terminal ini pernah menyedot anggaran lebih dari Rp15 miliar di era Wali Kota Jambi sebelumnya. Sayangnya, proyek itu, sebagaimana lazimnya proyek besar di banyak kota, gagal menjawab satu pertanyaan, untuk siapa terminal ini dibangun?

Saya mengapresiasi niat baik Wali Kota Maulana. Festival ini adalah penanda adanya kemauan politik untuk kembali menyentuh Rawasari. Ia menunjukkan kepemimpinan yang mulai menyadari pentingnya ruang-ruang publik lama yang ditinggalkan. Dalam beberapa bulan terakhir, langkah Wali Kota Maulana memang mulai diarahkan pada aspek pemulihan wajah kota—tak hanya melalui pembangunan fisik, tapi lewat pendekatan sosial-kultural.

Namun, penting juga untuk menggarisbawahi bahwa penghidupan kembali kawasan ini tak lepas dari peran Wakil Wali Kota Diza Aljosha. Ia adalah putra Hazrin Nurdin, konglomerat yang dikenal sebagai pemilik banyak ruko dan pusat perbelanjaan pertama di Kota Jambi. Kakek dan Ayahnya turut berjasa menghidupkan denyut ekonomi kawasan Rawasari di era kejayaannya dulu.

Kini, Diza seolah sedang menapak jejak itu. Ada upaya untuk tak sekadar menjabat, tapi merestorasi narasi kota yang pernah memberi makna besar bagi keluarganya dan ribuan warga Jambi lainnya.

Langkah ini patut diapresiasi. Karena tak semua pemimpin daerah memiliki sensitivitas historis dan kedekatan emosional dengan ruang kota yang mereka pimpin. Diza dan Maulana bukan hanya menggelar festival, tapi membuka kemungkinan politik ruang publik untuk dilihat ulang—dan itu, di tengah kebisingan politik praktis, adalah tanda niat baik yang layak diapresiasi.

Tapi...jika tujuan utamanya adalah membangkitkan kembali "legenda ekonomi rakyat" di terminal ini, maka satu festival—walau meriah—hanya akan jadi kosmetik. Sebuah "make up" untuk wajah kota yang sekarat.

Kita butuh kebijakan, bukan panggung.

Terminal adalah sistem sosial. Ia hidup karena jaringan transportasi publik yang terintegrasi, karena ada insentif bagi pedagang untuk kembali, karena ada jaminan keamanan dan kenyamanan, dan karena pemerintah kota benar-benar hadir membangun ekosistem—not just events.

Langkah pemerintah kota patut dibaca sebagai titik awal. Tapi, seperti benih yang memerlukan tanah, air, dan cahaya, festival hanya akan tumbuh jika ditopang ekosistem yang mendukung. Terminal adalah ruang transit sekaligus ruang hidup.

Apa yang keliru?

Dulu...Revitalisasi yang sempat diupayakan hanya bersifat fisik. Tak menyentuh aspek sosial dan ekonomi. Tak ada program inkubasi UMKM. Tak ada pembinaan pedagang lama. Tak ada insentif untuk menyewa ruko. Pemerintah lupa bahwa revitalisasi bukan hanya tentang cat baru, tapi tentang nyawa baru.

Lalu, pemerintah bergerak tanpa data. Tak ada kajian berapa banyak warga yang menggunakan terminal, seberapa besar potensi angkutan kota jika dibangkitkan. Sejak dulu, kota ini berjalan dengan intuisi, bukan informasi.

Kita bisa belajar dari Kota Surabaya. Balai Pemuda, yang sempat mati suri bertahun-tahun, dihidupkan kembali oleh Pemkot dengan pendekatan kolaboratif. Gedung tua itu kini menjadi pusat kegiatan budaya, literasi, dan komunitas. Pemkot tak hanya merenovasi gedungnya, tetapi membuat agenda rutin mingguan, membuka ruang inkubasi bagi seniman muda, serta memberikan insentif pajak untuk kegiatan ekonomi kreatif di sekitar kawasan.

Di Bandung, revitalisasi kawasan Braga dilakukan tak sekadar dengan penataan trotoar. Pemerintah Kota membuat peraturan zonasi kreatif, mengintegrasikan transportasi, dan menjadikan Braga sebagai "zona ekonomi tematik." Dampaknya bukan hanya pada arsitektur yang cantik, tetapi juga ekonomi lokal yang hidup kembali.

Kunci keduanya yakni kolaborasi, konsistensi, dan keberpihakan pada komunitas. Tampaknya, harapan itu mulai ada pada Maulana-Diza.

Alakulihal...Kita butuh lebih dari sekadar seremoni untuk membangkitkan legenda Terminal Rawasari. Kita butuh arah. Kita butuh keberanian untuk tak sekadar menggelar acara, tapi memulai perubahan. Festival boleh jadi pintu pembuka. Tapi, Maulana-Diza harus bersedia melangkah lebih jauh—masuk ke ruang-ruang pengambilan keputusan, menyusun strategi berbasis data, dan membangun ulang kepercayaan warga.

Terminal Rawasari adalah simbol. Jika pemerintah berhasil menghidupkannya kembali, bukan hanya ekonomi yang bangkit, tapi harapan akan kota yang benar-benar hidup. Mampukah Maulana-Diza?

**Penulis adalah jurnalis yang telah lebih dari 15 tahun meliput isu kota, kebijakan publik, dan keadilan sosial di Jambi.

Add new comment

Restricted HTML

  • Allowed HTML tags: <a href hreflang> <em> <strong> <cite> <blockquote cite> <code> <ul type> <ol start type> <li> <dl> <dt> <dd> <h2 id> <h3 id> <h4 id> <h5 id> <h6 id>
  • Lines and paragraphs break automatically.
  • Web page addresses and email addresses turn into links automatically.