Di sebuah dusun di Desa Jambi Tulo, Muaro Jambi, seorang bapak tua masih menyalakan obor bambu setiap malam Jumat. Bukan lilin, bukan genset, bukan PLN. Obor itu menyala dengan getah karet kering yang dikumpulkannya dari pohon-pohon di belakang rumah. Bau hangus dan pekatnya asap membawa kenangan masa kecil. Tapi siapa sangka—di tengah kesunyian tradisi itu, tersembunyi potensi energi masa depan: energi dari karet.
Ketika Indonesia bicara blue energy, green transition, dan carbon trading, warga Jambi telah lama menyimpan formula rahasia yang tak pernah diundang ke panggung konferensi nasional.
Penelitian oleh Pusat Penelitian Karet Indonesia menyebut bahwa biji karet mengandung 40–50% minyak nabati yang bisa diolah menjadi biodiesel melalui proses transesterifikasi. Hasilnya: bahan bakar yang setara dengan solar industri—lengkap dengan produk samping berupa gliserol bernilai tinggi. (Puslit Karet)
Di sisi lain, limbah daun karet dan ampas lateks bisa diolah menjadi briket biomassa yang tahan panas dan ekonomis. Sebuah proyek komunitas di Jambi menyebutnya “Rubble BricQ”—bahan bakar padat ramah lingkungan yang mampu menyala lebih lama dari arang. (UAI Journal)
“Ini bukan eksperimen baru. Kami hanya mewarisi, lalu merapikan,” kata Ari, relawan komunitas energi desa di Muaro Jambi.
Di saat negara sibuk memburu subsidi BBM dan mempromosikan mobil listrik impor, petani karet di Jambi menyimpan energi alternatif dalam timbunan biji, daun, dan getah yang selama ini dibuang atau dibakar. Sayangnya, tak ada investasi serius. Tak ada roadmap nasional untuk riset energi dari karet.
“Kami sudah ajukan proposal ke kementerian, tapi katanya belum masuk dalam skema prioritas EBT nasional,” ujar salah satu dosen pertanian dari Universitas Jambi yang ikut mengembangkan prototipe biodiesel karet.
Ironis. Jambi—yang menyumbang lebih dari 10% total produksi karet nasional—tak masuk dalam prioritas program konversi energi nasional. Padahal dari hulu ke hilir, potensi itu nyata: karet sebagai bahan bakar, pupuk, hingga bahan baku gliserin industri.
Data Pendukung: Energi di Balik Getah
Komponen | Potensi Energi (Per Ton) | Pemanfaatan |
---|---|---|
Biji Karet | ±400 liter minyak | Biodiesel, pelumas, sabun |
Getah Karet Kering | Nilai kalor 18–20 MJ/kg | Obor, pembakaran tradisional |
Daun Karet Kering | 3.000–4.000 kcal/kg | Briket biomassa |
Ampas Lateks | Biomassa fermentasi | Bioetanol, briket |
“Kami punya energi. Tapi siapa yang mau bantu kami uji lab, siapa yang mau bantu pasarkan?”
— Hasan, petani karet Sungai Bahar
“Kalau kami tunggu pusat, tak akan jadi-jadi. Kami jalan saja dulu. Yang penting bisa masak air,”
— Bu Murni, warga Desa Talang Bukit
“Karet kita disubsidi lewat pupuk, tapi hasilnya dibuang. Energinya disia-siakan. Ini kegagalan sistemik,”
— Pengamat energi dari Universitas Jambi
Di tengah kemewahan forum energi internasional, tak ada yang mengundang warga Jambi yang menyulut obor dari getah. Padahal mereka telah lama melakukannya—tanpa subsidi, tanpa jargon transisi hijau.
Energi dari karet adalah pelajaran: bahwa inovasi bukan soal teknologi tinggi, tapi soal keberanian melihat ulang apa yang sudah ada. Dan jika negara serius ingin mandiri energi, mungkin jawaban itu tak ada di pabrik raksasa, tapi di dapur kecil milik seorang ibu di Batanghari.(*)
Add new comment