Mereka berdiri di sana—berdampingan dalam balutan putih, senyum merekah. Siapa pun yang menatap lebih dalam, akan tahu, hari itu bukan sekadar seremoni. Itu adalah titik balik. Titik di mana sebuah perjalanan panjang, penuh luka demokrasi dan gugatan hukum, akhirnya tiba di panggung pengesahan.
Senin pagi, 26 Mei 2025, di bawah langit Jambi yang mendung, langkah kaki Dedy Putra dan Tri Wahyu Hidayat menyusuri karpet merah dari ruang peranginan menuju pendopo utama Rumah Dinas Gubernur Jambi. Di sisi mereka, istri tercinta menggenggam lengan penuh haru. Senyum semringah mereka terpahat tak hanya oleh kebahagiaan, tapi juga oleh rasa lega yang tak bisa dituliskan.
Inilah hari yang dinanti—bukan hanya oleh mereka berdua, tapi oleh ribuan rakyat Bungo yang menyaksikan pertarungan politik ini dari awal, dari kampanye, sengketa di Mahkamah Konstitusi, Pilkada ulang, hingga akhirnya... pengesahan. Hari ini, Dedy-Dayat resmi dilantik sebagai Bupati dan Wakil Bupati Bungo periode 2025–2030.
Tapi semua orang yang hadir tahu, ini baru permulaan.
Pagi itu, sebelum memasuki pendopo, Dedy-Dayat terlebih dahulu transit di ruang peranginan. Ruang kecil yang berada tepat di depan rumah dinas gubernur itu menjadi tempat menata napas, melipat kecemasan, dan mungkin, mengenang semua pertaruhan yang sudah dilalui.
Didampingi Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda Provinsi Jambi, Edi Kusmiran, keduanya kemudian melangkah perlahan menuju pendopo utama, menyusuri karpet merah. Suasana hening. Tapi hening yang tidak kosong. Sebab di setiap langkah, publik tahu bahwa kekuasaan ini dibangun dengan harga yang tidak murah, gugatan, pengadilan, dan kembali turun ke gelanggang pemilihan.
Setibanya di pendopo rumah dinas, Gubernur Jambi Al Haris menyambut langsung keduanya. Petikan Surat Keputusan dari Kementerian Dalam Negeri diserahkan tangan ke tangan, menjadi legitimasi resmi atas jabatan yang akan mereka emban lima tahun ke depan.
Lalu, di auditorium rumah dinas yang dipenuhi para pejabat tinggi—anggota DPR, DPD RI, bupati/wali kota, dan pimpinan Forkopimda—proses pelantikan dimulai. Sumpah jabatan dibacakan. Memori jabatan diserahterimakan.
Nama-nama besar tampak hadir: Edi Purwanto, Cek Endra, Zulfikar Ahmad, Elfisina, Sum Indra. Mereka bukan sekadar tamu undangan. Mereka adalah simbol-simbol politik yang ikut menandai posisi Dedy-Dayat dalam peta kekuasaan Provinsi Jambi.
Adapula Ketua DPRD Provinsi Jambi Hafiz Fattah dan Kapolda Irjen Krisno H. Siregar. Gubernur Al Haris tampil sederhana, tetapi isi pesannya jauh dari biasa. Ia tak mengucapkan selamat secara berlebihan. Ia memilih menegaskan tanggung jawab.
“Hari ini kalian dilantik. Tapi setiap hari kalian akan diuji. Bukan oleh saya, bukan oleh pusat. Tapi oleh rakyat kalian sendiri,” tegasnya.
Ia mengingatkan, jabatan ini bukan hadiah, melainkan amanah. Ia menekankan pentingnya kerja nyata, bukan hanya kerja seremoni.
“Jangan kecewakan rakyat yang sudah rela antri, berpanas-panasan, dan percaya pada kalian di dua kali pemilihan. Jangan cederai kepercayaan itu,” ucapnya, datar tapi dalam.

Ketika Kekalahan Tipis Menjadi Awal dari Perlawanan Panjang
Demokrasi tidak selalu tentang suara terbanyak. Kadang, ia tentang siapa yang paling kuat menunggu kebenaran ditemukan. Dan di Bungo, pada akhir 2024 hingga awal 2025, kebenaran itu datang... dengan tertatih.
Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bungo yang digelar 27 November 2024 awalnya terlihat sederhana. Hanya dua pasangan calon maju bertarung dalam kontestasi yang ketat, bahkan brutal dalam bisik-bisik warga. Di satu sisi, pasangan Dedy Putra – Tri Wahyu Hidayat (Paslon 01), di sisi lain pasangan Jumiwan Aguza – Maidani (Paslon 02).
Keduanya membawa kekuatan politik, sumber daya, dan basis pemilih masing-masing. Tapi publik tahu. Ini bukan sekadar kontestasi dua nama, ini adalah pertarungan dua cara pandang terhadap masa depan Bungo.
Hasil rekapitulasi awal mencatat Paslon 02 unggul. Mereka meraih 95.906 suara, hanya selisih 1.124 suara lebih banyak dari Paslon 01 yang mengantongi 94.782 suara.
Perbedaan yang tipis, tapi cukup untuk menetapkan pemenang. Setidaknya, itu yang diyakini banyak orang—sampai kemudian, laporan-laporan dari sejumlah TPS mulai mencuat.
Tak terima dengan hasil tersebut, kubu Dedy-Dayat menggugat ke Mahkamah Konstitusi. Dalam dokumen permohonan perkara bernomor 173/PHPU.BUP-XXIII/2025, mereka menuding adanya pelanggaran administratif serius, pemilih tanpa identitas resmi, dan bahkan kasus surat suara yang dicoblos ganda. Total 21 TPS disebut sebagai titik pelanggaran.
Pada 24 Februari 2025, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan Paslon 01. Dalam putusannya, MK menyatakan bahwa telah terjadi pelanggaran yang mempengaruhi hasil pemilu secara signifikan, dan memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 21 TPS.
Ini adalah kemenangan pertama Dedy-Dayat, bukan di bilik suara, tetapi di meja konstitusi. Tapi kemenangan ini belum mutlak. Yang ada hanya satu kata, kesempatan kedua.
PSU digelar pada 5 April 2025 di bawah pengawasan ketat Bawaslu, TNI-Polri, dan mata publik yang waspada. Tidak ada yang mau ini menjadi panggung kekacauan kedua.
Dan hasilnya... mengguncang.
Paslon 01 memperoleh 2.424 suara tambahan dari PSU. Total suara mereka melonjak menjadi 95.845 suara. Sementara Paslon 02—yang unggul sebelumnya—hanya menambah 4.074 suara, menjadikan totalnya 95.625 suara.
Selisihnya? Hanya 220 suara.
Tipis. Sangat tipis. Tapi dalam demokrasi, satu suara pun adalah penentu.
25 April 2025, Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Bungo menetapkan secara resmi Dedy Putra dan Tri Wahyu Hidayat sebagai pemenang Pilkada Bungo. Bagi mereka, ini adalah klimaks dari perjuangan panjang dan melelahkan. Tapi bagi masyarakat, ini adalah awal dari sebuah harapan baru—yang harus dibuktikan, bukan dirayakan berlarut-larut.
Profil Singkat Dedy-Dayat
Lahir pada 12 Desember 1972 di Sungai Arang, Kabupaten Bungo, Dedy Putra tumbuh di tengah kultur religius dan disiplin pesantren. Masa kecilnya ditempa di SD Negeri 127/II Sungai Arang, lalu menyambung pendidikan menengah di Pondok Pesantren Arriyadh Palembang, SMP Adhyaksa Kota Jambi, hingga Pondok Pesantren Wali Songo Ponorogo dan MAN 1 Yogyakarta.
Dunia pendidikan tinggi kemudian membawanya ke Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta (S1 Hukum), dan dilanjutkan ke Universitas Jayabaya Jakarta untuk jenjang Magister Kenotariatan.
Tapi pendidikan formal hanyalah fondasi. Arena politik adalah panggung sejatinya.
Dedy pertama kali terjun ke parlemen tahun 1999, tepat saat gelombang reformasi membuka ruang demokrasi di daerah. Kariernya meroket cepat—Ketua DPRD Kabupaten Bungo 2004–2009, lalu menjadi anggota DPRD Provinsi Jambi dari Dapil Bungo–Tebo pada 2009. Ia juga dikenal sebagai penggerak utama Partai Amanat Nasional (PAN) di wilayah Bungo, menjabat Ketua DPD PAN dan Wakil Ketua DPW PAN Provinsi Jambi.
Figur Dedy adalah representasi klasik dari politisi kader: lahir dari akar rumput, tumbuh melalui parlemen, dan kuat dalam jejaring partai. Tapi di balik itu, ia membawa satu kekuatan lain—kemampuan bertahan dan membaca arah angin politik.
Beda Dedy, beda pula Dayat. Tapi justru dari perbedaan itulah kekuatan pasangan ini muncul.
Tri Wahyu Hidayat, lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, 8 Oktober 1983, adalah figur yang mewakili kesahajaan dan suara masyarakat bawah. Pendidikan dasarnya ia tempuh di SD Negeri Bejen III, lalu melanjutkan ke SMP Negeri 4 Pelepat di Kuamang Kuning, Kabupaten Bungo. Ia menyelesaikan jenjang SMA lewat Paket C di Kabupaten Kediri, sebuah pilihan yang mencerminkan kegigihan dan perjuangan personal.
Kini, ia dikenal luas sebagai mubalig dan pendidik, memimpin Pondok Pesantren Miftahul Huda di Kuamang Kuning—pondok yang ia kelola tidak hanya sebagai institusi pendidikan, tetapi juga sebagai ruang sosial bagi santri miskin dan anak-anak yatim.
Aktif di dunia organisasi keagamaan, Dayat menjabat Wakil Ketua PCNU Bungo dan Sekretaris Dewan Syura DPC PKB Kabupaten Bungo. Di mata publik, ia bukan politisi profesional, tapi seorang tokoh moral. Dan dalam kontestasi Pilkada yang semakin pragmatis, kehadirannya memberi warna: harapan akan kepemimpinan yang masih berakar pada nilai dan akhlak.(*)
Add new comment